Kamis, 28 Mei 2015

Temanmu Mungkin Bertopeng, Kawan

Sebuah Analisis Awal Atas Tayangan "Uya Emang Kuya"

Pernahkah Anda menonton tayangan satu ini? Tayangan yang sebelumnya merupakan program mingguan ini, kini diputar setiap senin-jumat di SCTV pukul 15.00 WIB selama 1 jam. Jika belum, sekarang Anda punya banyak kesempatan untuk menontonnya.

Di episode awal kemunculannya, Uya Emang Kuya (UEK) merupakan tayangan realitas (reality show) yang mendemonstrasikan kemampuan si pembawa acara (Uya) dalam bermain trik sulap. Walau tidak sepenuhnya sama, model awal tayangan ini mirip dengan tayangan Cinta Juga Kuya (CJK). Bedanya, UEK menyelipkan sesi hipnotis pada bagian akhir tayangannya, sedang pada CJK hipnotis semacam itu tidak ada.

Saya tidak tahu pasti, sejak kapan muatan pada tayangan UEK ini berubah. Kini, seperti yang kita lihat, tayangan tersebut sepenuhnya diisi oleh atraksi hipnotis.

Sekilas Tayangan “Uya Emang Kuya”

Setelah menyaksikan dua-tiga episode, tidak sulit bagi kita untuk menemukan pola-pola berulang pada tayangan tersebut. Awal tayangan ini memperlihatkan bagaimana Uya dan kru berjalan di pusat keramaian untuk mencari korban yang akan dihipnotis. Sesaat kemudian, mereka menghentikan langkah dan mengajak berdialog salah seorang di antara keramaian (rata-rata orang yang tengah duduk berdua atau bertiga). Selanjutnya, dari dialog singkat tersebut berkembang menjadi sebuah tawaran kesediaan untuk dihipnotis. Apabila tercapai kesepakatan, Uya akan mengajak para korban ke tempat yang telah diatur oleh para krunya. Di tempat itulah inti tayangan ini dimulai.

“Tidurlah kamu setelah melihat nyala api” atau “tidurlah setelah melihat gerakan bandul hipnotis ini” . Demikian mantra ajaib yang keluar dari mulut Uya. Tak lama kemudian si korban tertidur lelap di bawah kuasa hipnotis. Dalam keadaan tidur tersebut, si korban siap menjawab berbagai macam pertanyaan yang diajukan oleh Uya. Walau begitu, bukan sembarang pertanyaan dapat dijawab. Sedari awal, Uya telah mengingatkan untuk tidak perlu menjawab apabila si korban merasa pertanyaan itu tidak menguntungkan baginya.

Pertanyaan yang diajukan dapat bermacam-macam. Mulai dari kepentingan si korban datang ke lokasi kejadian; dengan siapa; apa kesibukan sehari-harinya; bagaimana suasana hatinya; pandangan si korban terhadap pacar atau temannya; sampai pada pertanyaan, apakah ia mempunyai affair dengan seseorang. Tapi entahlah, sejauh pengamatan saya, tidak pernah ada pertanyaan yang tidak dijawab oleh si korban. Saya juga tidak tahu pasti, apakah memang berbagai pertanyaan itu wajar sehingga si korban mau menjawabnya, atau, seseorang yang tengah dihipnotis itu tidak mempunyai kesadaran untuk menolak setiap pertanyaan. Namun yang jelas, adegan hipnotis Uya dengan si korban berkembang menjadi tontonan mendadak. Orang-orang berkerumun untuk menyaksikannya. Dan, para korban tersebut juga menjadi aktor dan aktris dadakan yang tengah bermain drama. Drama kehidupan pribadinya.

Dalam tulisan ini, saya berusaha mendudukan tayangan UEK secara proporsional, baik dari sisi positif atau pun sisi negatif. Dengan harapan, tulisan sederhana ini dapat menjadi kritik yang adil. Sekaligus menjadi titik tolak diskusi kita mengenai tayangan ini lebih lanjut.

Membangun Komunikasi yang Sehat

Sigmund Freud, bapak ilmu psikologi modern, percaya bahwa ada ketegangan yang terjadi terus-menerus antara manusia dan lingkungannya. Lingkungan ini bisa kita artikan sebagai fakta-fakta sosial, baik tertulis maupun tidak. Yang terpenting bagi Freud, ketegangan itu bersumber dari konflik antara ego, superego (harapan moral ataupun etika) dengan id (hasrat diri sendiri). Semakin kita berusaha membuang jauh-jauh ketegangan itu, maka ketegangan itu akan semakin mencari cara untuk mengaktualisasikan diri. Baik dalam ruang kesadaran atau ruang bawah sadar kita.

Kebiasaan kita sehari-hari yang memendam penilaian positif dan negatif terhadap sesama, boleh juga kita artikan sebagai ketegangan semacam itu. Seringkali seorang teman, pacar, suami, atau istri membuat kita merasa kesal, marah, cemburu, atau perasaan tidak nyaman lainnya. Namun, harus diakui, tidak selalu kita dapat mengungkapkan perasaan semacam itu secara langsung. Sebab, mengungkapkan perasaan semacam itu, salah-salah, justru akan memicu ketegangan yang baru. Ketegangan yang semula hanya ada dalam pikiran kita, dapat berkembang menjadi ketegangan secara fisik.

Sebagian dari kita lebih memilih untuk diam. Tidak jarang konsekuensi dari pilihan ‘diam’ itu muncul dalam cara dan konteks yang lain. Contohnya seperti omong-omong di belakang, rerasan, dendam, curiga, dan sebagainya. Itu semua adalah contoh mekanisme pelepasan ketegangan yang kita rasakan. Namun perlu digarisbawahi, bahwa contoh pemecahan yang demikian tidaklah bijak dan sehat. Yang bijak dan sehat adalah, bagaimana kita mampu mengkomunikasikan ketegangan dengan orang-orang di sekeliling kita tersebut dengan baik. Ya, pesannya adalah, bangunlah komunikasi yang baik agar ketegangan tersebut tidak menjadi konflik internal dan eksternal bagi diri kita. Pesan semacam itu yang ditawarkan dalam UEK.

Tentu saja, semua korbannya memiliki penilaian dan pemaknaan terhadap orang-orang dekatnya. Dan Uya datang untuk mengorek-ngorek itu semua dari korban yang ia hipnotis. Katakanlah korban A memendam perasaan bahwa pacar atau temannya adalah seorang yang genit, manja, materialistis, tidak jujur, sombong, pelit, dan seabrek penilaian miring lainnya. Walhasil, setelah diusut lebih dalam, ternyata si A mengambil jalan pintas sebagai mekanisme pelepasan ketegangannya. Misalnya, ia berselingkuh atau mengumbar penilaian buruk itu kepada orang lain.

Pengakuan akan jalan pintas atau pelepasan ketegangan yang diakui oleh si A tadi kemudian menjadi ketegangan baru secara fisik antara si A dan orang sekelilingnya. Kini akhirnya teman atau pacar si A mengetahuinya. Mendengar pengakuan semacam itu, tentu saja teman atau pacar si A tidak dapat menerima. Ia marah di lokasi tersebut, persis di hadapan orang-orang yang tengah menonton mereka.

Sayangnya, ini bukan akhir dari cerita mengenai si A yang bersalah. Tak lama kemudian, si B (pacar atau teman si A) diberi kesempatan untuk dihipnotis juga dan menyampaikan penilaiannya terhadap si A. Setelah dikorek-korek oleh Uya, ternyata si B pun tidak lebih baik dari si A. Bahkan kadang lebih buruk. Di sini kita kembali lagi pada pokok soal yang sama. Ini karena si B pun tidak berusaha membangun komunikasi yang baik, sehingga secara tidak sadar si B memendam penilaian miring dan mengambil jalan pintas sebagai solusinya. Ternyata, mereka sama-sama memakai topeng.

Pelajaran positif yang bisa kita ambil dari tayangan UEK ini agaknya ‘sedikit sejajar’ dengan apa yang ditawarkan oleh Freud (tentu saja dengan sedikit menyederhanakan pemikirannya). Tidak ada gunanya menekan atau berusaha membuang jauh-jauh ketegangan yang muncul pada diri kita sendiri. Yang baik dan sehat adalah membiarkannya keluar. Namun tentu saja, bukan dengan cara yang justru akan memperparah ketegangan itu sendiri. Setidak-tidaknya, bagaimana ketegangan itu dapat hilang sementara hubungan dengan orang di sekeliling kita dapat berjalan baik.

Ini pelajaran yang seringkali kita dengar, sekaligus seringkali kita abaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian nilai positif yang ada pada tayangan ini. Namun, apakah hal seperti ini masih bernilai etis ketika masuk ke dalam televisi, sebuah media yang dapat dilihat semua orang di Indonesia? Apakah penyampaian pikiran atau perasaan pribadi seperti itu bermanfaat bagi orang lain dan layak untuk dikonsumsi publik? Ini memang soal lain lagi.

Antara Memaknai dan Menilai

Manusia pada dasarnya adalah mahluk penafsir. Segala tindakan manusia itu berisikan penilaian dan pemaknaan terhadap sesuatu. Inilah proses awal di mana manusia mengembangkan perangkat-perangkat simbol yang digunakan untuk berkomunikasi dan beradaptasi guna mempertahankan jenisnya. Kurang lebih ini yang dimaksud oleh Cassirer dengan Animal Symbolicum.

Namun, penilaian dan pemaknaan itu bukanlah sesuatu yang selesai. Artinya, penilaian dan pemaknaan itu merupakan proses yang terus-menerus di sepanjang kehidupan manusia, baik itu makna individual ataupun makna kolektif. Bagi saya, sebuah botol minuman kemasan tidak lebih bernilai daripada sebatang rokok. Namun, jangan memaksakan cara menilai itu kepada seorang pemulung, misalnya. Sebab, botol minuman kemasan itu dapat ia tukar dengan uang sekian rupiah, dan dengan itu ia dapat melanjutkan kehidupan sehari-harinya. Jangan pula berharap untuk memaksakan kedua pilihan tersebut kepada seseorang yang bukan pemulung dan bukan perokok, karena kedua benda itu mungin tidak memiliki makna dan nilai bagi dirinya pribadi. Dan lebih dari itu, saya tidak pernah tahu apakah suatu saat nanti saya dihadapkan pada pilihan bahwa sebuah botol itu menjadi lebih bernilai dibanding sebatang rokok. Di sini kita tengah membicarakan makna dan nilai pribadi yang bukan merupakan sesuatu yang final atau selesai. Kita selalu dan akan terus memberikan nilai dan makna dalam berbagai situasi.

Setiap hari, sadar atau tidak, saya pun menilai dan memaknai tindakan teman, pacar, istri, orang-tua, guru, petugas kereta Prameks (Prambanan Ekspress, kereta Jogja-Solo), penjual sate, dan berbagai orang yang ada di sekeliling saya. Tentu saja, penilaian itu tidak harus selalu positif atau selalu negatif. Dan memang tidak harus selalu demikian, keduanya boleh bercampur. Maka, selain menilai, kita juga punya pilihan untuk memaknai. Misalnya, bahwa manusia itu bukan mahluk yang sempurna bagi orang lain. Maka, apabila ada sisi positif tentu ada sisi negatifnya. Di sini izinkan saya memberikan pemisahan antara memaknai dan menilai.

Bagi saya, nilai adalah sifat relatif akan sesuatu yang diposisikan saling berlawanan. Atau, boleh kita katakan bahwa sebuah penilaian ada dalam kerangka oposisi biner. Baik-buruk, kaya-miskin, tinggi-rendah, berat-ringan, jauh-dekat, mahal-murah, dan lain-lainnya. Tidak pernah ada nilai akan sesuatu yang bersifat abu-abu, sebab apabila kita berada di posisi abu-abu, kita telah atau sedang memaknai sesuatu di luar kerangka oposisi biner. Mana tindakan yang benar? Keduanya adalah keniscayaan. Manusia membutuhkan pemaknaan, sekaligus membutuhkan perangkat nilai.

Dengan demikian, hubungan antara saya dan orang-orang di sekitar saya, tidak harus selalu berdasarkan penilaian. Namun, saya juga memaknai. Kita juga menerima orang-orang dekat kita sebagaimana ia ada. Artinya – di luar kerangka nilai-menilai – dia tetap teman saya, dia tetap kekasih saya, dia tetap guru saya, betapapun buruknya dia bagi saya.

Maka, apabila kekasih atau teman saya bertanya, “Hei, apa kamu juga bertopeng seperti orang-orang yang dihipnotis Uya Kuya itu?,” saya akan menjawab, “Uya Kuya hanya melihat hubungan antarmanusia berdasarkan nilai semata. Yang sesungguhnya, hubungan antara manusia tidaklah sepesimistis itu.”

“Tapi dari semua episode, apakah UEK memperlihatkan bahwa kenyataannya orang-orang itu memakai topeng?”

“Hmmm, kalau soal itu, harus kita cek, apakah tayangan UEK itu riil atau dibuat-buat.”

“Tapi, tapi mereka memakai materai 6000 di dalam acaranya. Itu tanda asli dan disetujui oleh si korban?”

“Ya, mungkin dengan materai 6000 rupiah Uya merasa boleh menghindari tugasnya untuk memberikan tontonan yang lebih baik pada orang banyak.”

“Hah, sungguh Uya Kuya membuat aku selalu curiga melihat orang.”

---

* Keterangan Acara diambil pada tayangan Uya Emang Kuya edisi Senin, 11 Juli 2011

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...