Minggu, 10 Mei 2015

Olga Syahputra dan Industri Televisi

Kehidupan dan kematian Olga adalah keuntungan bagi industri televisi.

Olga Syahputra meninggal akhir Maret lalu. Kematiannya “dirayakan” televisi dengan hingar-bingar. Pemakamannya disesaki ribuan orang dan disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Berbagai tayangan yang pernah menampilkan Olga pun ditayangkan kembali, bahkan setelah peringatan 40 hari kematiannya beberapa hari lalu.

Dari awal karier sampai akhir kehidupannya, kita bisa melihat bagaimana komodifikasi Olga oleh industri televisi tercipta di antara tegangan televisi sebagai institusi bisnis dan institusi sosial. Pada satu sisi Olga menjadi potret “kesuksesan” seorang pekerja industri televisi yang memulai karier dari bawah, merintis karier, dan meninggal ketika berada di puncak karier. Pada sisi lain, kehidupannya (bahkan setelah meninggal) menjelaskan proses akumulasi keuntungan ala industri televisi.

Komodifikasi tayangan televisi merupakan proses mengubah nilai guna sebuah tayangan (yang berakhir dengan konsumsi audiens) menjadi nilai tukar (yang membuat tayangan-tayangan tersebut laku dijual untuk mendatangkan keuntungan). Dari Olga, bisa dilihat tiga jenis komodifikasi seperti dijelaskan Vincent Mosco: komodifikasi konten, komodifikasi audiens, dan komodifikasi pekerja (labours commodification).

Proses komodifikasi konten dan pekerja bisa dilihat melalui format tayangan sekaligus pendangkalan pesan di dalamnya. Naiknya karier Olga dalam panggung hiburan televisi berbarengan dengan meledaknya tayangan-tayangan variety show sekitar 3-4 tahun belakangan, seperti “Pesbukers”, “Dahsyat”, “Inbox”, “YKS”, dan sebagainya. Tayangan-tayangan ini biasanya merupakan perpaduan antara komedi, musik, dan kuis dengan menghadirkan banyak artis serta penonton di studio.

Olga, bersama beberapa artis lainnya, mengisi tayangan-tayangan lintas stasiun televisi tersebut. Olga misalnya, dalam satu hari bisa menjadi presenter di “Pesbukers”, “Dahsyat”, dan “YKS” sekaligus. Dari sisi produksi, tayangan-tayangan ini berbiaya murah karena stasiun televisi tidak perlu susah-susah memproduksi sendiri dan cukup mengandalkan improvisasi dan kreativitas seorang selebritas. Dengan begitu, stasiun televisi bisa mendapatkan keuntungan dari iklan yang lebih banyak.

Ironisnya, karena satu selebritis bisa tampil di beberapa tayangan di lain stasiun televisi, hampir tidak ada yang membedakan konten tayangan tersebut satu sama lain. Pada titik ini proses eksploitasi terhadap selebritas juga terjadi karena mereka dituntut untuk tampil secara langsung terus-menerus. Hal lain, humor atau komedi yang dibawa dalam tayangan-tayangan tersebut pun konsekuensinya memiliki kecenderungan seragam.

Dari tayangan-tayangan tersebut, humor slapstick dengan lelucon-lelucon sarkastik yang tidak sensitif menjadi demikian dominan. Tayangan-tayangan tersebut dipenuhi dengan tawa, baik dari sang pengisi acara maupun penonton di studio, tetapi bagi yang menyaksikan di layar kaca, bisa jadi tawa tersebut tidak muncul karena ada komedi atau kelucuan yang dihadirkan. (lihat tulisan Konstruksi Tawa di Layar Kaca)

Hal ini merupakan komodifikasi audiens. Meledaknya tayangan variety show tersebut juga menghadirkan penonton bayaran dalam jumlah yang lebih banyak dibanding yang pernah ada sebelumnya. Mereka kerap disebut sebagai “alay” (lihat tulisan Alay di Balik Layar) Pada titik ini, penonton bayaran yang dihadirkan berperan menjadi dua hal sekaligus: mereka menjadi audiens yang mengkonsumsi hiburan, sekaligus menjadi bagian dari pertunjukan yang ada.

Mereka menjadi bagian penting dalam tayangan-tayangan tersebut. Misalnya saja menjadi objek risak (bully) para selebritas yang, biasanya, menyasar kondisi fisik. Hampir di setiap tayangan kita bisa melihat Olga merisak penonton-penonton bayaran tersebut. Tanpa kehadiran para penonton ini, bisa jadi tidak akan ada tawa dalam tayangan-tayangan komedi yang sebenarnya tidak lucu.

Kuasa Industri

Tidak bisa dipungkiri, sebelum jatuh sakit dan dirawat di Singapura sejak tahun 2014, Olga termasuk selebritas yang laris-manis. Ia tercatat pernah membintangi sekurangnya 11 film, 7 sinetron, dan 29 tayangan televisi, baik sebagai presenter, maupun bintang tamu. Ia pernah disebut sebagai selebritas dengan gaji termahal.

Faktor Olga sebagai pengerek keuntungan bagi stasiun televisi tidak hanya dilakukan ketika ia masih hidup. Sampai kematiannya, Olga tetap menjadi alat pengeruk keuntungan bagi industri televisi. Ketika sudah meninggal pun ia masih membawa profit. Produk hiburan yang menampilkan Olga, baik itu variety show, sinetron, sampai lagu-lagu yang pernah ia nyanyikan, ditayangkan ulang.

Berita-berita pasca kematian Olga juga mengandung nada memprihatinkan karena menunjukkan bentuk eksploitasi atas kematiannya. Dalam industri media di Indonesia, rasa-rasanya eksploitasi semacam ini menjadi rumus utama setiap ada tokoh publik atau selebritas yang meninggal.

Perhatikan misalnya berita-berita yang mengglorifikasi Olga seperti “40 hari kematian makam Olga masih tetap harum” atau “Santer Kabar Makam Olga Bercahaya, Benarkah?” Berita-berita yang tidak relevan dengan isu-isu publik kecuali hanya menjual sensasi.

Seperti disebutkan di atas, Olga adalah potret pekerja yang membangun karier dari bawah. Ia merangkak dari seorang penonton yang mengagumi selebritas sampai menjadi selebritis itu sendiri.

Di sepanjang kariernya, Olga adalah selebritas yang penuh kontroversi. Berkali-kali Olga melakukan pelecehan melalui guyonan sarkastik yang tidak peka. Ia misalnya, pernah melakukan guyonan yang melecehkan sesama selebritas, pengemis, dokter, agama Islam dan Hindu, dan bahkan korban pemerkosaan. Karena sikapnya itu, Olga sering mendapat kritik, dari cuitan media sosial hingga pelaporan ke polisi oleh organisasi massa seperti FPI.

Pelecehan demi pelecehan yang dilakukan oleh Olga memang memicu respon Komisi Penyiaran Indonesia yang memberikan sanksi, dari teguran sampai penghentian sementara tayangan di mana Olga melakukan kesalahan. Namun, sesering sanksi yang diberikan oleh KPI, sesering itu pula sanksi itu dilanggar lagi. Dari catatan saya, setidaknya sudah lebih dari 10 kali ia ditegur KPI sejak tahun 2008-2014. Jauh lebih banyak dibanding selebritas lain.

Dari situ sebenarnya yang bisa dilihat adalah betapa kuasa industri televisi begitu besar bahkan membuat Komisi Penyiaran Indonesia seperti tidak berdaya. Sanksi demi sanksi tidak berdampak apa-apa dan memungkinkan untuk dilanggar lagi. Padahal, jika kita berbicara dunia penyiaran, peran KPI sangat penting untuk melindungi kedaulatan frekuensi publik. Problem utamanya memang bersumber pada kewenangan KPI yang terbatas dan regulasi P3SPS yang kurang komprehensif.

Kematian Olga bisa jadi merupakan kehilangan besar bagi industri televisi. Namun bisa juga sebaliknya, karena dalam sebuah industri, kematian adalah statistik—kematian diukur berdasarkan sebesar apa untung atau rugi yang ia datangkan. Isak tangis hanya sementara, hanya sejauh mendatangkan rating. Akan ada orang-orang baru yang mengisi peran yang ditinggalkan. Akan muncul orang-orang baru yang menghasilkan akumulasi keuntungan.

Tepat pada titik ini, kehidupan dan kematian Olga membawa pelajaran berharga. Salah satunya, memperkuat kewenangan KPI serta melakukan revisi atas P3SPS adalah ide yang mendesak untuk segera dilakukan. Dengan ini, KPI bisa memiliki gigi yang lebih tajam ketika berhadapan dengan industri media. Tentu kita berharap frekuensi publik tidak dieksploitasi melalui selebritis dan tayangan yang mengabaikan tanggungjawab publiknya. []

Wisnu Prasetya Utomo
Alumnus Komunikasi UGM. Saat ini sibuk sebagai peneliti media di Remotivi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...