Begitu selesai dibangun, Daendels menerbitkan berbagai peraturan penggunaan jalan Anyer-Panarukan. Kenapa harus berujung di Panarukan?
SETELAH Jalan Anyer-Panarukan selesai, Daendels mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan pengaturan dan pengelolaan jalan raya ini. Peraturan pertama dikeluarkan pada 12 Desember 1809 berisi aturan umum pemanfaatan jalan raya, pengaturan pos surat dan pengelolaannya, penginapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta pos, komisaris pos, dinas pos dan jalan. Peraturan kedua keluar pada 16 Mei 1810 tentang penyempurnaan jalan pos dan pengaturan tenaga pengangkut pos beserta gerobaknya. Peraturan ketiga tanggal 21 November 1810 tentang penggunaan pedati atau kereta kerbau, baik untuk pengangkutan barang milik pemerintah maupun swasta dari Jakarta, Priangan, Cirebon, sampai Surabaya.
Kendati tujuan awalnya terutama untuk kepentingan ekonomi, Jalan Anyer-Panarukan kemudian dikenal sebagai Jalan Raya Pos. Daendels mengumumkan pembentukan Dinas Pos pada 3 Agustus 1808, peraturannya telah disusun pada 18 Juli 1808. Dinas Pos berada di bawah Komisaris Urusan Jalan Raya dan Pos yang dipimpin oleh Van Breeuchem dengan gaji 5.000 ringgit per tahun. Tugasnya mengkoordinasikan pelayanan komunikasi dalam bentuk pengiriman paket pos dan bertanggungjawab atas perbaikan dan perawatan jalan dan fasilitas yang berkaitan dengan pos.
Para prefek (jabatan setingkat residen) juga bertanggungjawab atas pelayanan pos dinas dan individu di daerah masing-masing. Para prefek mengangkat petugas administratif dibantu petugas pribumi dengan gaji lima ringgit per bulan, menyediakan kuda-kuda untuk mengangkut pos, dan berkoordinasi dengan militer setempat untuk menyediakan pengawalan bagi pengiriman paket yang penting atau bila melewati daerah yang rawan.
Dinas Pos dibagi ke dalam empat distrik sekaligus sebagai kantor pos besar: Banten, Batavia, Semarang dan Surabaya. Kantor pos besar tersebut menampung paket dan surat dari sekitar 47 kantor pos lokal. Pengiriman dari dan ke kantor pos besar berlangsung setiap dua kali seminggu yaitu Sabtu dan Selasa –sumber lain menyebut Sabtu dan Kamis.
“Di setiap beberapa paal ada pesanggrahan atau pondokan untuk mengganti kuda dan beristirahat dan itu menjadi tanggungan para bupati untuk merawat pesanggrahan-pesanggrahan itu,” kata Djoko Marihandono, sejarawan Universitas Indonesia yang menulis disertasi tentang Daendels.
Di setiap pesanggrahan disediakan antara 8 sampai 16 kandang kuda disertai pondokan untuk istirahat petugas pembawa gerobak dan penumpangnya. Dari Bogor sampai Surabaya juga didirikan sekitar 12 penginapan dengan setidaknya 6-8 kamar dan sebuah gudang barang dan tempat kereta. Para petugas pos memakai seragam dengan jas biru atau merah dan celana yang mengenakan selempang putih dengan tanda pos di tangan kirinya. Untuk menghindari salah jalan, disediakan seorang penunjuk jalan.
Selain paket dan surat umum, baik pribadi atau dinas, ada juga pesan yang sifatnya rahasia. Petugas yang membawa pesan rahasia ini harus bertanggungjawab bila perlu diperintahkan untuk mempertaruhkan nyawanya. Oleh karena itu, setiap karung pos dimasukkan ke dalam peti yang kuncinya disimpan di setiap kantor pos. Kepala pos diizinkan membuka peti itu tetapi dilarang keras membuka paketnya.
Yang menarik, menurut Djoko, pesan rahasia itu juga ada yang berupa lisan (messagerie). “Pesannya dibisikkan kepada si kurir dan kurir ini dijaga ketat selama perjalanan sampai tujuan. Ketika kurir ini lewat, semua harus minggir, dan kalau menghalangi bisa ditembak langsung oleh pengawalnya,” kata Djoko.
Lantas kenapa jalan yang dibangun oleh Daendels itu harus berujung di Panarukan? Ketika berkunjung ke Surabaya pada awal Agustus 1808, Daendels melihat bahwa jalan dari Surabaya perlu diperpanjang ke timur. Tujuannya bahwa wilayah Ujung Timur (Oosthoek) merupakan daerah yang potensial bagi produk tanaman tropis selain kopi, seperti gula dan nila. Di samping itu ada kemungkinan perairan di sekitar selat Madura memberikan peluang bagi pendaratan pasukan Inggris. Untuk itu, dia memerintahkan F. Rothenbuhler, pemegang kuasa (gesaghebber) Ujung Timur sebagai penanggungjawab pembangunan jalan Surabaya sampai Ujung Timur yang dimulai pada September 1808.
Titik akhir jalan di Ujung Timur terletak di Panarukan, dan tidak dibangun hingga Banyuwangi. Pertimbangannya Banyuwangi dianggap tidak memiliki potensi sebagai pelabuhan ekspor. Sedangkan Panarukan dipilih karena dekat daerah lumbung gula di Besuki dan dengan tanah-tanah partikelir yang menghasilkan produk-produk tropis penting.
Baca selengkapnya di Majalah Historia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar