Kejanggalan di muka kian menguat ketika kita melihat bahwa banyak cerita dalam video games yang sebetulnya mengandung warna Kiri, kalaupun tak bisa dikatakan Marxis. Saya tak pernah lupa ketika pertama kali memainkan Final Fantasy 7 (1997) sewaktu masih duduk di bangku SD, tahun 1997 lalu. Game PlayStation itu mengisahkan perjuangan sekelompok eko-teroris dalam menghancurkan perusahaan raksasa yang menghisap kekuatan bumi dan membikin melarat rakyat banyak. Sang tokoh utama adalah tentara bayaran yang mulanya tak ambil pusing dengan ideologi gerakan perlawanan itu; asalkan dia dibayar, perang melawan siapapun tidak masalah buat dia. Seiring berjalannya cerita, sang tokoh utama dibuat sadar bahwa semuanya terkena dampak ekploitasi perusahaan itu. Orang-orang dari masa lalunya, kampung halamannya, kekasihnya—semua nyatanya menjadi korban dari rezim yang membuahkan kengerian di mana-mana. Sang tokoh utama—dan akhirnya juga kita sebagai pemain game—diantarkan pada kesimpulan bahwa tak ada pilihan lain selain melawan.
Game lain yang memuat unsur-unsur Kiri semacam itu banyak jumlahnya. Contoh yang paling ekstrim adalah games yang secara eksplisit menyajikan latar gerakan komunis seperti misalnya Revolution Under Siege (2010). Ini adalah game strategi dengan latar zaman Revolusi Bolshevik dan Teror Putih. Dalam game ini sang pemain dapat mengendalikan Trotsky dan Tentara Merah. Tugas kita sebagai pemain adalah mengatur strategi untuk memerangi Tentara Putihnya Anton Denikin dengan peta peperangan yang membentang dari Polandia hingga Samudra Pasifik. (Teman-teman yang suka baca Trotsky mungkin akan suka juga main game ini).
Contoh lain adalah Republic: The Revolution (2003). Dalam game ini kita menjadi pemimpin gerakan bawah tanah yang tengah mempersiapkan revolusi. Muatan ideologis revolusi itu tergantung dari pilihan kita; apakah kita hendak memperjuangkan nilai-nilai komunis atau liberal-libertarian, semuanya tergantung pilihan public policy yang kita tentukan. Yang menarik dalam game ini adalah detail persiapan revolusi: mulai dari memobilisasi massa, merencanakan insureksi, mengatur lobi intra-parlementer, menyuap anggota DPR, membunuh politisi yang bawel, semuanya bisa dilakukan dalam game ini guna mewujudkan Revolusi kita tercinta. Latar komunisme tidak membuat beragam games jenis ini kehilangan kejenakaannya. Ada juga game komunis dagelan seperti misalnya Stalin vs Martians (2009) yang mengisahkan perlawanan Soviet di bawah kepemimpinan Stalin menghadang invasi alien dari planet Mars.
Video Game kerap dilihat sebagai produk budaya pop yang eksklusif dan hanya dimainkan segelintir orang di dunia. Namun pendapat ini keliru. Justru sebaliknya, video game memiliki tingkat persebaran yang tinggi. Kita dapat membandingkannya dengan karya sastra. Sejak diluncurkan pada tahun 1997, Final Fantasy 7 hingga tahun 2010 telah terjual sekitar 10-11 juta kopi—sama besarnya dengan jumlah penjualan Divina Commedia Dante Aleghieri di sepanjang abad ke-20. Game PC yang sangat populer seperti Grand Theft Auto V bahkan lebih gila lagi. Game ini mengisahkan tentang pemuda pengangguran yang berkeliaran di Amerika Serikat, di mana sang pemain bebas memukuli atau menembaki orang-orang yang lewat di pinggir jalan. Sejak diluncurkan tahun 2013, Grand Theft Auto V terjual hingga 32 juta kopi. Angka ini melebihi jumlah penjualan One Hundred Years of Solitude yang dirilis Marquez di tahun 1967 (yang hingga kini terjual 30 juta kopi). Selain itu, besar kemungkinan bahwa jumlah pemain yang menikmati games itu jauh melampaui angka tersebut. Sebabnya karena berbagai games semacam itu dapat diunduh gratis bajakannya di Piratebay atau Kickass Torrent. Jadi dengan adanya sejumlah edisi bajakan yang beredar, angka penjualan itu belum seutuhnya memotret jumlah peredaran aktual games tersebut. Tak pelak lagi, sebagai medium penyebaran gagasan, ada indikasi bahwa video games lebih berpengaruh ketimbang kesusastraan bagi kebudayaan kontemporer. Karenanya, tugas kritik kebudayaan Marxis masa kini juga mesti menjawab tantangan itu dengan meluangkan perhatiannya untuk membahas seluk-beluk ideologi di balik video game. Jika zaman Marx hidup kritik ideologi lazimnya dipersepsi sebagai kritik sastra, kini kritik ideologi mesti bertransformasi juga menjadi kritik video game.
Namun orang dapat saja menukas bahwa ideologi adalah sesuatu yang dapat dibawa mati, sementara video game, sebagaimana permainan pada umumnya, adalah pengisi waktu senggang belaka. Artinya, orang bisa rela mati memperjuangkan ideologi, tetapi tidak rela mati demi sekadar game. Pandangan semacam ini mengabaikan salah satu kekhasan video game kontemporer, yakni dimensi partisipatorisnya. Dalam jenis game yang disebut MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-Playing Game), dimensi itu amatlah kuat terasa. MMORPG adalah rumpun game yang berbasis internet di mana sang pemain dapat menciptakan avatar-nya sendiri (jenis kelamin, potongan rambut, bentuk muka, dsb) dan bertualang meningkatkan kemampuan (level) sang avatar dalam suatu dunia dengan latar tertentu (fantasy, medieval, steampunk, post-apocalyptic, dsb) yang terhubung dengan jutaan pemain lain. Dalam dunia itu, para pemain dapat membangun persekutuan (guild), menikah dengan avatar lain serta berjualan benda-benda yang ditemukan di sana (dan dapat ditransaksikan secara offline dalam rupiah). Saya mengalami era ketika MMORPG pertama kali diperkenalkan di Indonesia lewat game berjudul Nexia (atau Nexus dalam server internasionalnya) di tahun 1999. Game semacam ini sangat adiktif karena jarak antara identitas pemain di dunia nyata dan maya diretas dengan mengizinkan sang pemain menciptakan sendiri avatar-nya dan juga karena dalam game seperti itu tidak ada ending sama sekali sebab jalan cerita nyaris tidak ada. Artinya, cerita dalam MMORPG terbentuk dari interaksi dan dialog antarpemain di dunia maya dan karenanya tidak mungkin repetitif. Ragnarok Online adalah contoh lain MMORPG yang sukses besar di Indonesia.
Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pemain game online di Indonesia mencakup sekitar 15 juta orang. Enam juta dari antaranya adalah pemain yang militan; artinya, orang yang setiap hari bermain game online. Militansi bermain MMORPG ini disebabkan oleh identifikasi antara diri aktual dan avatar maya. ‘Kadar ideologis’ para pemain militan itu terbukti lewat berbagai berita tentang para pemuda yang meninggal di warnet. Ada yang karena 36 jam bermain non-stop, ada yang karena berminggu-minggu hidup di warnet dengan makan mie instan seduhan, ada juga yang terkena serangan jantung akibat faktor-faktor kelelahan dan komplikasi lainnya. Jadi video game, seperti juga ideologi, buat generasi masa kini adalah sesuatu yang juga bisa dibawa mati. Dengan demikian, jelas juga bahwa muatan ideologis dalam games itu juga amat mudah dibatinkan oleh para pemainnya.
Apabila hendak disimpulkan secara umum, corak kesadaran yang berkembang dalam berbagai narasi video games adalah kecenderungan berpikir abstrak. Apa yang dimaksud ‘kecenderungan berpikir abstrak’ adalah cara berpikir yang menempatkan duduk perkaranya secara alegoris dan menyediakan solusi-solusi yang tak kurang alegorisnya. Misalnya, alih-alih mempersoalkan ketimpangan sosial akibat sistem distribusi ekonomi yang eksploitatif, video games kerapkali mengabstraksikan ketimpangan sosial itu menjadi perkara kuasi-mistik tentang perebutan artifak purba dengan kekuatan yang mampu mengubah nasib. Final Fantasy 7 adalah ilustrasi dari kecenderungan seperti ini. Contoh lainnya, alih-alih mempersoalkan penderitaan kelompok orang dalam struktur sosial yang spesifik, video games cenderung mengabstrasikan persoalan itu menjadi perkara Kemanusiaan versus Kedurjanaan Radikal. Corak semacam ini paling nampak dalam genre RPG (Role-Playing Game) yang cenderung plot-driven. Mulai dari game RPG pertama seperti Akalabeth: World of Doom dari tahun 1979 sampai dengan The Elder Scrolls V: Skyrim (2011), banyak perkara sosial yang diakarkan secara alegoris pada peran entitas-entitas mitis seperti naga raksasa, penyihir tengik, ataupun politisi jahat. Karenanya, solusi terhadap persoalan-persoalan itupun cenderung dikembalikan pada aras mitis: membunuh sang penyihir tengik atau politisi durjana, dan dunia pun damai seperti sedia kala. Imajinasi heroik dibangun dari situ. Heroisme selalu lahir dari abstraksi yang tak kenal daratan. Entah terhadap penyihir tengik ataupun terhadap demokrasi borjuis.***
22 April 2014
Sumber: Indoprogress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar