Nama kota itu Marinaleda di Spanyol. Selama lebih dari 30 tahun, kota ini menyebut dirinya sendiri “utopianya kedamaian”. Tidak ada polisi di kota ini, dan karena itu, kota ini dapat menghemat uang hasil pajak sampai 350 ribu dolar tiap tahun.
Saban beberapa minggu sekali, relawan masyarakat membersihkan jalan dan melakukan kerja bakti lainnya tanpa diperintah siapa pun. Banyak orang yang menyebut kota ini “sosialis” atau “komunis” tanpa mereka sendiri mengklaim demikian. Kota ini membuktikan bahwa tanpa harus menyebut diri “sosialis” maupun “komunis”, tingkat kesukarelawanan masyarakat bisa tinggi. Tanpa harus dibatasi dengan jargon atau diperintahkan peraturan.
Sekilas, kota ini sama saja dengan kota-kota lain di sekitarnya. Marilaneda terletak di bagian Spanyol yang termiskin, di sisi paling selatan Provinsi Andalusia. Saat krisis ekonomi 2008 menghantam dunia, provinsi ini adalah wilayah Spanyol yang paling terdampak oleh program penghematan nasional. PHK besar-besaran terjadi. Krisis membuat angka kemiskinan dan pengangguran di Marinaleda mencapai 37%. 55% penganggurannya adalah orang berusia muda. Angka yang tinggi, tapi sebenarnya lebih rendah daripada rerata kota-kota sekitarnya.
Namun, jangan terjebak dengan angka. Bukan itu intinya. Yang perlu diperhatikan justru di kota ini, dengan kemiskinan yang demikian merajalela, kriminalitas nyaris nol. Tidak ada polisi di sini karena tidak dibutuhkan.
Sebuah wilayah tanpa polisi terdengar janggal, tapi tidak lagi kalau kita menjenguk sejarah. Polisi adalah sesuatu yang baru. Kepolisian Metropolitan London di Scotland Yard, misalnya, baru ada tahun 1829, didirikan oleh Sir Robert Peel. Idenya sendiri diutarakan Peel pada 1812. Kepolisian di Amerika Serikat baru muncul beberapa waktu kemudian.
Wali kotanya memimpin serbuan ke supermarket
Ketika terjadi krisis ekonomi pada 2008, Marinaleda mendadak terkenal karena aksi wali kotanya, Juan Manuel Sánchez Gordillo, yang dijuluki “Robin Hood Spanyol”. Gordillo mengorganisir dan memimpin serangkaian “serangan” ke supermarket-supermarket pada Agustus 2012 sebagai bentuk aksi protes. Mereka mengambil kebutuhan pokok dari supermarket, seperti minyak, beras, dan kacang, memuatnya dalam troli, kemudian membawanya ke bank makanan setempat agar dibagikan kepada orang miskin. Membuat kota ini disebut antikapitalis.Gordillo yang seorang demokrat dan telah menjadi wali kota sejak 1979 menyebut tindakan tersebut bukan pencurian, melainkan pembangkangan lewat cara nonkekerasan.
“Ada banyak keluarga yang tidak bisa makan,” ia beralasan. “Di abad ke-21, itu hal yang memalukan. Makanan itu hak, bukan sesuatu yang kamu dapatkan lewat untung-untungan.”
Ia adalah orang dengan kekebalan politik terhadap penuntutan. Atau dengan kata lain, Gordillo tak bisa dimejahijaukan.
Ia marah kepada supermarket-supermarket yang malah membuang-buang makanan sementara jutaan orang kelaparan. Ia juga menyalahkan supermarket besar yang mematikan petani-petani kecil. “Satu produk dijual kepada konsumen 704% lebih mahal daripada yang dibayar ke petani,” tunjuknya.
Tidak tampak seperti politisi kebanyakan, wajah Gordillo dihiasi jambang abu-abu lebat yang mengingatkan kepada Fidel Castro. Ia nyaris selalu memakai syal Palestina. Perawakannya kurus dan tampak lelah.
Krisis membuat 690 ribu rumah di Provinsi Andalusia kosong karena disita bank. Namun hal itu tidak ditemukan di Marinaleda karena Gordillo punya solusinya: siapa pun bisa membangun rumah. Pemerintah kota menyediakan bahan bangunan, pekerja, dan memberi lahan seluas 192 meter persegi. Sebagai pembayaran, tiap keluarga hanya perlu membayar 15 euro per bulan selama seumur hidup, serta tidak boleh memperjualbelikan rumah sebagai milik pribadi.[]
Sumber: Literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar