Rabu, 02 September 2015

Sisi Lain Perjalanan Wallace

Sochaczewski bukan hanya menulis soal Wallace tapi juga menelusuri jejaknya di Kepulauan Nusantara.

DI usia 25 tahun, Alfred Russel Wallace yang berasal dari keluarga miskin di Inggris memilih meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti dorongan hati untuk berkelana memuaskan hobi mengoleksi spesimen serangga, burung, dan binatang lainnya. Terinsipirasi Vestiges of the Natural History of Creation karya Robert Chamber, dia menyusuri sungai Amazon dan Rio Negro selama empat tahun.

“Saya mulai merasa tak puas hanya dengan koleksi setempat; hanya sedikit yang bisa dipelajari darinya,” tulis Wallace kepada sahabatnya yang juga seorang naturalis amatir, Henry Walter Bates, pada 1847.

Dalam perjalanan pulang ke Inggris, kapal yang mengangkut Wallace terbakar dan karam. Lenyaplah semua koleksi spesimen dan tulisan yang dikumpulkannya.

Wallace tak jera. Dia kemudian melintasi 22.400 kilometer wilayah Kepulauan Nusantara (kini Indonesia, Malaysia, dan Singapura) selama delapan tahun. Dari perjalanan ini dia membawa 125.660 spesimen fauna (termasuk sejumlah spesies baru) dan menetapkan garis imajiner yang membagi keberagaman hayati wilayah timur dan barat Indonesia (termasuk pengelompokan ras berdasarkan lempeng bumi). Yang tak kalah penting, di kediamannya di Ternate pada 1858, Wallace menyimpulkan kunci teori evolusi melalui seleksi alam dalam artikel ilmiah berjudul On the Tendencies of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type: “Hanya individu superior yang akan bertahan,” tulisnya.

Paul Spencer Sochaczewski, seorang penulis dan penggiat lingkungan hidup yang lama bekerja di Asia Tenggara, menyatukan berbagai tema intim dalam kehidupan Wallace (termasuk tulisan-tulisannya) dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadinya menelusuri jejak Wallace di berbagai lokasi di Indonesia, Malaysia, dan Singapura masa kini.

“Saya berada di Sarawak pada 1855 ketika bertemu seorang anak laki-laki Melayu bernama Ali dan mempekerjakannya sebagai pembantu pribadi, sekaligus menolong saya belajar bahasa Melayu… Ali adalah seorang yang fokus, rapi-bersih, dan pandai memasak,” tutur Wallace dalam otobiografinya My Life: A Record of Events and Opinions (1908).

Ali mengatur perjalanan rombongan Wallace ke berbagai pelosok dan menemani berburu mengoleksi spesimen. Setelah tujuh tahun menjadi asisten Wallace, mereka berpisah di Singapura. Kemudian apa yang terjadi?

Sochaczewski mencari jejak Ali. Di Malaysia dan Singapura, tak seorang pun tahu siapa Ali. Ternate menjadi kemungkinan terbesar. Dalam My Life, Wallace menyebutkan bahwa “Ketika kami bermukim di Ternate, Ali menikah, namun istrinya tinggal bersama keluarganya sehingga tak ada yang berubah. dia terus mengiringi perjalanan saya hingga ke Singapura untuk kembali ke Inggris.”

Keyakinan Sochaczewski diperkuat oleh keterangan naturalis Amerika Thomas Barbour yang mengunjungi Ternate pada 1907. Barbour bertemu dengan lelaki Melayu lanjut usia yang memperkenalkan diri sebagai Ali Wallace. Dia mengambil foto Ali dan mengirimnya ke Wallace, yang membalas surat itu dengan nada gembira. Sayang, surat tersebut hilang dari tangan Barbour dan Wallace tak pernah menyurati Ali secara langsung.

Sochaczewski bercerita tentang Ali kepada pejabat setempat atau tetua desa, berharap ada yang mengingatnya. Dia juga mengusulkan proyek penulisan tentang pencarian Ali hingga menyebarluaskan pencarian Ali sebagai bagian dari promosi wisata dan kebanggaan daerah. Semua orang menyambutnya namun tak ada yang bergerak.

“Apakah ini cara Indonesia melakukan penolakan terhadap perubahan, atau minimnya keingintahuan intelektual, atau sebuah keengganan menyambut ‘ide asing’? Saya tak tahu,” tulis Sochaczewski, yang dalam rasa frustasi memutuskan berkeliling kampung membawa foto Ali bersama seorang teman yang lancar berkomunikasi dengan dialek setempat.

Sochaczewski juga membahas mistisisme yang ditemui Wallace hampir di berbagai pelosok Asia. Meski bukan orang yang religius, Wallace memiliki minat terhadap dunia supranatural dan mempelajari hipnotisme pada 1844.

Meski tak banyak menulis tentang kejadian aneh selama perjalanannya dalam Malay Archipelago, Wallace memilih tak mengkritik atau menganggapnya sebagai ketidakbenaran secara ilmiah. Keyakinan Wallace akan keberadaan roh dia kemukakan dalam publikasi Light (No 806, 1896) dengan tajuk Miracles and Modern Spiritualism: “Tak ada yang lebih alamiah dari keinginan roh untuk menyampaikan pesan kepada teman-teman yang ditinggalkan, bahwa kematian bukanlah sebuah akhir, dan bahwa mereka masih hidup dan bahagia…”

Hal yang sama dialami Sochaczewski. Dalam sebuah pertemuan dengan Sultan Hamengkubuwono IX, Sochaczewski menyampaikan rasa skeptisnya ketika Sultan bercerita tentang Nyi Roro Kidul dan pertalian erat dengan kesultanan.

“Cerita tersebut berlawanan dengan pola Barat, Kartesian, dan otak kiri, yang menjadi cara saya melihat dunia,” ujar Sochaczewski.

Mendengar responsnya, Sultan meminta Sochaczewski tak menanyakan pertanyaan Barat untuk konteks Jawa. “Pilihan anda adalah mempercayai keyakinan ini atau tidak. Menganalisisnya terlalu dalam seringkali tak membawa manfaat,” jelas Sultan.

Dengan gaya lugas, satir, dan rasa keprihatinan yang tulus, Sochaczewski mengajak pembaca menyelami passion dan kontradiksi dalam diri Wallace –dan akhirnya dalam diri setiap kita dalam berelasi dengan alam dan sesama. Dengan opini dan komentarnya yang unik, Sochaczewski menarik benang merah antara apa yang dialaminya dengan pengalaman Wallace. Dalam refleksinya, Sochaczewski menulis: “Seberapa sering kita betul-betul sendiri?” Bagi Wallace, berkelana jauh dalam kesendirian akhirnya menjadi sebuah pilihan yang menarik untuk dia jalani.

“Sebetulnya, Swiss dan Amazon bagi saya kini terasa tak nyata –seperti keberadaan masa lalu atau mimpi yang lampau. Kini Melayu dan Papua, kumbang dan burung, menguasai pikiran saya, diiringi dan kalkulasi keuangan dan harapan akan masa depan yang bahagia di Inggris, di mana saya mungkin hidup sendiri dan terasing, kecuali dengan beberapa teman pilihan. Mungkin engkau tak mampu membayangkan bagaimana saya mencintai kesendirian ini,” tulis Wallace kepada sahabatnya, George Silk, dalam My Life.

Inordinate Fondness for Beetles bukanlah sebuah narasi standar biografi atau kisah perjalanan Wallace yang disusun secara kronologis berdasarkan penemuan spesies-spesies baru di berbagai tempat. Lewat gabungan gaya penulisan biografi/travelogue/refleksi-diri/komentator, Sochaczewski mengajak pembaca melihat sisi lain dari perjalanan Wallace dan memahami kemajuan (atau stagnasi, bahkan kemunduran) kondisi keberagaman hayati, kepercayaan, dan kemanusiaan pada abad ke-21.

Sumber: Historia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...