SALAH satu tokoh sejarah di Indonesia yang memutuskan untuk tidak menikah adalah Tan Malaka. Kenapa dia memilih untuk hidup melajang dan tak membangun keluarga sebagaimana banyak pemimpin republik lainnya?
Ada sebuah kisah yang berkembang tentang kenapa lelaki bernama Ibrahim itu memilih untuk tak menikah. Ketika masa remaja, Ibrahim jatuh cinta pada Syarifah Nawawi, gadis cantik kawan satu kelas semasa sekolah di Kweekschool, Bukittinggi. Namun cintanya kandas saat Ibrahim dihadapkan pada dua pilihan: menolak dinobatkan sebagai datuk atau menikah dengan gadis pilihan orangtuanya. Ibrahim pilih yang pertama.
Tak lama setelah penobatan, Ibrahim yang telah bergelar Datuk Tan Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda. Berpisah dengan Syarifah Nawawi, pujaan hatinya. Lama tak berhubungan dengan Tan Malaka karena jarak, Syarifah dilamar oleh Bupati Cianjur RAA Wiranatakusumah yang telah beristri dua. Perkawinan mereka berakhir pada perceraian. Wiranatakusumah kawin lagi, lantas menceraikan Syarifah.
Joesoef Isak, mantan pemimpin redaksi koran Merdeka dan editor penerbit Hasta Mitra pernah mengisahkan sebuah anekdot tentang kandasnya hubungan cinta Tan Malaka itu. Kata Joesoef dalam sebuah wawancara pada 2008 lampau, kegagalan percintaannya itu jadi alasan kenapa Tan memilih untuk jadi komunis.
“Tan Malaka mendengar Syarifah dikawin Wiranatakusumah, lantas diceraikan begitu saja. Tan jadi dendam pada kaum feodal dan kemudian jadi komunis. Ini cerita yang beredar di kalangan masyarakat Bukittinggi,” ujar Joesoef Isak.
Sejak gagal menikahi Syarifah, Tan memang hidup sendiri. Ada beberapa perempuan yang pernah singgah di hatinya namun tak pernah berakhir di pelaminan. Ketika di Belanda, Tan sempat berpacaran dengan seorang gadis Belanda, Fenny Struijvenberg. Menurut penulis biografi Tan Malaka sejarawan Harry Poeze, Fenny sempat dekat dengan Tan Malaka namun tak pernah jelas seperti apa hubungan mereka.
Tan sendiri tak pernah menceritakan kisah kasihnya dengan noni Belanda itu di dalam memoarnya Dari Penjara ke Penjara. Dia memang mengisahkan sempat menjalin hubungan dengan beberapa perempuan di negara di mana dia tinggal. Semasa tinggal di Manila, Filipina pada 1927, di bawah nama samaran Elias Fuentes, Tan sempat jatuh cinta pada seorang perempuan. Kabarnya perempuan itu anak seorang petinggi universitas di sana.
Hubungan mereka terputus karena Tan ditangkap intelijen Amerika, diadili di Pengadilan Manila dan divonis deportasi keluar dari Filipina. Tan kembali ke Tiongkok, menuju Shanghai di mana dia tinggal di sebuah desa kecil selama kurang lebih tiga tahun, sampai 1932, dalam keadaan sakit dan tak punya uang. Kabarnya seorang perempuan Tiongkok merawatnya ketika itu. Tak disebutkan bagaimana hubungan mereka.
Dalam keadaan sulit, Tan mengontak Alimin yang saat itu berada di Shanghai sebagai perwakilan Komintern di Asia. Kepada Alimin Tan menyatakan siap mendapat tugas dari Komintern. Alimin menugaskan Tan untuk pergi ke Burma (Myanmar). Namun ketika tiba di Hongkong dalam perjalanan menuju Burma, Tan ditangkap agen rahasia Inggris dan ditahan selama dua bulan. Keluar dari penahanan, Tan menuju Amoy (Xiamen).
Tan yang menggunakan nama samaran Ong Soong Lee itu menurut Harry Poeze mendapatkan perlindungan di Tiongkok Selatan. “Ia tiba di Amoy, dan di sana berhasil mendirikan Foreign Languages School (Sekolah Bahasa-Bahasa Asing),” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946.
Saat menetap di Xiamen itulah Tan bertemu seorang gadis Amoy berusia 17 tahun berinisial “AP”. Gadis tersebut kerap menyambangi Tan Malaka untuk belajar bahasa Inggris. Tan juga jadi tempat curahan hati gadis yang tak pernah disebutkan nama lengkapnya di dalam memoar Tan Malaka.
Tan keluar dari Amoy pada 1937, meninggalkan kisahnya dengan gadis Amoy berinisial “AP” tadi. Dia menuju Malaya, kemudian menetap di Singapura. Di wilayah jajahan Inggris itu Tan menggunakan nama Hasan Gozali dan bekerja sebagai guru pada sebuah sekolah. Tak jelas apakah dia kembali menjalin hubungan cinta di sana.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Tan melihat ada kesempatan untuk pulang. Setelah menyusuri beberapa kota di Sumatera, akhirnya Tan tiba di Jakarta di mana dia hidup secara rahasia selama Jepang berkuasa. Baru pada 1945, Tan menampakkan diri terang-terangan. Mengunjungi beberapa kawan lamanya, salah satunya Ahmad Soebardjo.
Di rumah Soebardjolah Tan terpikat pada Paramita Abdurrachman, keponakan Soebardjo. Jalinan asmara mereka cukup serius sehingga banyak orang mengira mereka telah bertunangan. Namun kegiatan politik Tan Malaka jauh lebih menyita perhatiannya ketimbang berpacaran.
Paramita jadi perempuan terakhir yang mengisi kisah hidup Tan Malaka sebelum akhirnya lelaki yang didapuk sebagai “bapak republik” itu tewas di ujung senapan tentara Indonesia pada 21 Februari 1949. Akhir tragis Tan Malaka menggenapi kisahnya sebagai “jomblo revolusioner” dalam sejarah di Indonesia.
Sumber: Historia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar