Dulu, di era Bung Karno, slogannya: politik adalah panglima. Sementara sejak Orde Baru (Orba) hingga sekarang, slogannya berganti menjadi: Investasi adalah panglima.
Sejak resmi berkuasa Oktober 2014 lalu, pemerintahan Jokowi-JK gencar mengajak investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tidak hanya di forum-forum internasional, tetapi juga di setiap pertemuan dengan pemimpin negara lain.
Kerja Jokowi tidak sia-sia. Arus investasi masuk Indonesia pun menderas. Laporan World Investment Report 2015 menyebutkan, penanaman modal asing (PMA) di Indonesia tumbuh 20 persen. Angka itu menempatkan pertumbuhan PMA di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.
Memang, sejak beberapa dekade terakhir, PMA terus menjadi lokomotif perekonomian Indonesia. Sebagai misal, pada triwulan ke-II tahun 2015, realisasi PMA sebesar Rp 92,2 triliun (68,2 persen), sedangkan penanaman modal dalam negeri (PMDN) hanya Rp 42,9 triliun (31,8 persen).
Namun, ibarat pepatah “ada gula ada semut”, investor asing datang menyemut karena difasilitasi banyak sekali “kebijakan gula-gula”. Ini juga yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Sebagai misal, sejak beberapa bulan lalu, pemerintahan yang mengusung panji-panji Trisakti ini mengobral insentif pajak untuk investor, seperti tax allowance (keringanan atau pengurangan pajak bagi investor dalam masa tertentu) dan tax holiday (pembebasan membayar pajak bagi investor dalam masa tertentu).
Tidak cukup dengan itu, dengan menggunakan dalih krisis ekonomi, Jokowi-JK meluncurkan paket deregulasi. Pemerintahan Jokowi mengklaim, setidaknya ada sekitar 2.700 aturan di Indonesia yang menghambat kelancaran aktivitas ekonomi. Dan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) Jilid I, yang diluncurkan pada minggu kedua September lalu, akan menyasar 134 aturan untuk dideregulasi.
Paket deregulasi yang ditabuh oleh Jokowi itu punya misi besar: menghilangkan semua aturan hukum/birokrasi yang merintangi kebebasan dan kepentingan investasi. Pertama, pemerintah mempersingkat dan mempermudah perizinan usaha. Sebagai misal, seperti diungkapkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), hanya dengan bermodalkan izin prinsip investasi, investor dapat masuk dan memulai konstruksi pabrik tanpa harus mengurus izin lokasi dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Nantinya, izin lokasi dan Amdal diurus oleh pengelola kawasan industri. Untuk memastikan bahwa investor telah mengikuti standar Amdal dan lokasi, investor hanya perlu menandatangani komitmen aspek Amdal dan lokasi; tidak perlu mengurus dokumen lagi. Bayangkan, aspek kepentingan ekologis dikesampingkan demi kepentingan investor.
Kedua, paket deregulasi juga memberi jaminan fasilitas untuk kenyamanan investasi, seperti deregulasi semua aturan yang menyulitkan ketersedian lahan, pengangkutan barang/logistik, pendirian bangunan, impor bahan baku, perizinan ekspor, upah buruh, dan lain-lain. Pendek kata, semua kebutuhan investor untuk memulai usahanya akan dibantu oleh pemerintah.
Ketiga, memberi kepastian hukum bagi investor, termasuk kepastian soal keberlangsungan investasi mereka. Sebagai misal, pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77/2014 tentang Usaha Pertambangan Minerba. Aturan baru nanti akan memberi kelonggaran waktu, yakni paling cepat 10 tahun dan paling lambat 2 tahun, bagi proses pengajuan perpanjangan IUP, IUPK, KK, dan PKP2PB. Aturan baru ini sangat menguntungkan raksasa tambang, seperti Freeport, Newmont, dan PT. Vale Indonesia.
Dan satu hal lagi yang paling penting: Jaminan stabilitas politik dan keamanan. Senin (21/9) lalu, di sebuah seminar yang diselenggarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan membuat peringatan keras: “ada yang bikin gaduh, saya libas seperti di Papua.”
Menteri Luhut menimba ilmu dari rezim Orba. Menurut dia, ketenangan dan keamanan adalah kunci mengembalikan kondisi ekonomi. “Itu saya pikir yang disampaikan pada Orde Baru oleh Pak Harto dulu sangat benar, salah satu pilar dari negara itu adalah ekonomi dan keamanan,” ujar Luhut di acara serah terima jabatan Menkopolhukam, Kamis (13/8).
Itu memang ironis. Di satu sisi, banyak yang menganggap pemerintahan Jokowi sebagai antitesa rezim Orba. Tetapi, pada kenyataannya, pengabdian dan pendekatan ekonomi-politik pemerintahan yang memakai stempel Trisakti ini tetap mewarisi Orba: menjadikan investasi sebagai panglima. Tugas negara hanya sebagai pelayan ‘good bussiness climate’.
Bagi kami, menjadikan PMA sebagai lokomotif perekonomin nasional tidaklah tepat. Secara prinsip, itu memunggungi cita-cita Trisakti, yakni ekonomi berdikari. Juga patut diingat, kapital tidak punya nasionalitas. Satu-satunya yang menuntun mereka adalah logika asasinya: menumpuk laba. Dalam keadaan tertentu, karena dipandu oleh logika laba tadi, investor kapan saja bisa memindahkan kapital dan usahanya dari suatu negara ke negara yang menjanjikan lebih banyak keuntungan.
Hari-hari ini kita menyaksikan berbagai dampak yang dihasilkan oleh liberalisasi investasi tersebut: 1) makin dominannya penguasaan kapital asing terhadap sumber daya dan aset strategis nasional kita; 2) pemodal asing memegang ‘tampuk produksi’ sejumlah sektor produksi yang strategis dan menguasai hajat hidup rakyat banyak; 3) keuntungan dari aktivitas ekonomi sebagian besar mengalir keluar melalui kantong perusahaan asing; 4) meningkatnya konflik perebutan sumber daya antara kapital versus rakyat, seperti dalam kasus konflik agraria yang marak akhir-akhir ini; 5) menurunnya potensi pendapatan negara akibat kebijakan pengurangan atau penghapusan pajak bagi korporasi; 6) merosotnya kesejahteraan kaum buruh karena kebijakan politik upah murah dan liberalisasi pasar tenaga kerja (sistim kerja kontrak dan outsourcing) untuk menarik investasi; 7) meningkatnya penggunaan aparatus kekerasan negara untuk meredam berbagai gejolak dan protes yang mengganggu investasi; dan 8) menciptakan celah bagi berkembang-biaknya praktik korupsi akibat politik yang hanya melayani kepentingan bisnis.
Kami tidak anti modal asing. Hanya saja, seperti digariskan para pendiri bangsa kita, bahwa modal asing boleh masuk asalkan: pertama, tunduk dibawah politik perekonomian kita, yaitu perekonomian yang berorientasi pada kemakmuran rakyat dan keadilan sosial; kedua, hanya diperbolehkan di lapangan usaha yang tidak menguasai hajat hidup rakyat banyak; dan ketiga, tidak mengorbankan kepentingan rakyat dan lingkungan.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/ketika-investasi-jadi-panglima/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar