Jumat, 13 November 2015

Rasisme di Media

Atribusi ras dalam berita kadang dilihat sebagai hal yang lumrah. Namun, tanpa kehati-hatian, pengungkapan identitas ras justru bisa meningkatkan ketegangan sosial.

Majalah Tempo edisi 31 Agustus 2015 mengangkat laporan utama mengenai kedatangan ribuan buruh dari China, seiring dengan berbagai proyek pembangunan di Indonesia. Dengan judul headlineSelamat Datang Buruh Cina”, banyak pihak menuding hal tersebut sebagai bentuk rasisme Tempo terhadap kelompok etnis Cina.

Perkara rasisme di media ini sebenarnya bukan hal baru. Pada akhir dekade 1980an, profesor Universitas Amsterdam Teun van Dijk pernah membuat penelitian tentang pemberitaan media yang bertendensi rasis. Dalam Racism and the Press (1991), Van Dijk menganalisis 2.755 tajuk utama dari koran Inggris dan 1.500 dari koran Belanda sepanjang 1 Agustus 1985 hingga 31 Januari 1986.

Riset analisis wacana yang dilakukan Van Dijk tersebut menemukan bahwa sebagian besar media di Inggris menunjukkan diskriminasi rasial dalam pemberitaannya. Kelompok minoritas dan berbagai organisasi yang membelanya dilekatkan dengan berbagai tindakan negatif, seperti aksi-aksi kriminal dan kerusuhan. Dari sebagian besar berita, kelompok-kelompok ini kerap ditambahi predikat “to attack”, “to fire”, “to protest against”, dan “to criticize”. Mereka menjadi pelaku dan korbannya adalah warga kulit putih, pegawai pemerintah, atau orang biasa yang merupakan bagian dari kelompok mayoritas.

Dari berita-berita yang diteliti, juga terlihat standar ganda sebuah media. Atlet berprestasi dari kelompok minoritas berkulit hitam misalnya, kerap dideskripsikan sebagai “British” atau “English”. Namun, jika kelompok minoritas tersebut berbuat kriminal, atribut kewarganegaraan Inggris mereka hilang. Media menggantinya dengan atribut etnisitas, seperti “black west indian”, “afro-carribeans”, atau “asians”.

Hal serupa juga terjadi di media-media di Belanda. Kelompok minoritas, terutama imigran atau pengungsi dari Suriname, Turki, dan Maroko, diasosiasikan dengan stereotipe “pembuat masalah”, “pelaku tindakan kriminal”, dan “tukang protes”. Sepanjang periode 1985-1986, koran-koran Belanda kerap kali menyoroti insiden antara individu atau pengusaha yang melakukan diskriminasi terhadap anggota kelompok minoritas. Ironisnya, berita-berita tersebut juga menonjolkan pernyataan tokoh politik, terutama dari sayap kanan, yang mengabaikan dan menganggap tidak ada perlakuan diskriminatif.

Selain insiden, berita-berita yang menjadi tajuk utama biasanya menyangkut isu-isu publik, seperti persoalan pekerjaan, perumahan, keamananan, kesejahteraan, dan tradisi. Kelompok imigran dan minoritas sering diberi predikat bahwa kehadiran mereka adalah “ancaman nyata terhadap keselamatan penduduk asli” dan membuat “penduduk asli tidak merasa sedang berada di kampung halamannya sendiri”.

Menurut van Dijk, rasisme di media bisa mewujud dari bagaimana sebuah isu dibingkai serta dari pemilihan kata atau istilah. Inilah bahaya dari berita yang bertendensi rasis. Ia bisa membuat publik terpengaruh dan menjadikan berita sebagai legitimasi untuk melakukan aksi-aksi kekerasan. Dalam rentang waktu berita yang diteliti, ketegangan rasial di Inggris dan Belanda memang sedang meningkat.

Belajar dari pengalaman tersebut, media memang harus hati-hati dalam mengangkat isu yang berkaitan dengan etnis dan kelompok minoritas. Alih-alih memberi informasi yang berguna, ia justru bisa menjadi bahan bakar yang menyulut api kebencian dan kekerasan yang mengendap di masyarakat. (REMOTIVI/Wisnu Prasetya Utomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...