Siang yang panas pada 15 September 2015. Saya mengangkat tangan sebagai kode pada seorang lelaki berbadan gempal ketika memasuki sebuah simpang jalan di Kota Gorontalo. Lelaki itu bernama Dandhy Dwi Laksono. Di belakangnya, pria gondrong sebahu menyusul. Dia adalah Suparta Arz.
Keduanya yang menunggangi motor bebek modifikasi itu, kemudian mendekati saya dan Geril Dwira, wartawan Kompas TV. Kami menjemput mereka di perbatasan antara kota dan kabupaten Gorontalo. Lalu bersegera mengajak untuk istirahat ke kantor AJI, di jalan durian, di pinggiran kota.
Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz sedang melakukan ekspedisi yang diberi nama Indonesia Biru. Keduanya baru saja meninggalkan daerah-daerah di Sulawesi bagian selatan, tengah, menuju ke utara, dan singgah ke bagian utara sedikit di Gorontalo. Sebelumnya, ban motor keduanya sudah berhasil mencium jalan-jalan beraspal, berbatu, berbecek di sebagian Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Bali, dan juga Jawa. Menurut mereka, perjalanan ini adalah mendokumentasikan dan mempublikasi bagaimana konsep Ekonomi Biru diterapkan masyarakat Indonesia yang berbasis kearifan lokal.
Latar belakang keduanya adalah wartawan lepas. Sebelumnya Dandhy pernah bekerja sebagai video journalist di SCTV, RCTI, dan Acehkita. Sedang Ucok, panggilan akrab Suparta, bekerja sebagai photo journalist di Agence France-Presse (AFP), Acehkita, serta harian Aceh.
Bermula pada 1 Januari 2015. Dandhy dan Ucok, meninggalkan Jakarta, ibukota sekaligus pusat pemerintahan Negara ini, kemudian melakukan perjalanan berkeliling ke berbagai wilayah di kepulauan Indonesia, yang oleh Alfred Wallace disebut The Malay Archipelago. Mereka menargetkan perjalanannya selesai pada 31 Desember 2015 mendatang, dengan jarak tempuh kurang lebih 10.000 kilometer.
Namun, baru sampai di Gorontalo, sebelum menginjakan kaki mereka ke Kalimantan dan Sumatera, Dandhy menulis pada statusnya di facebook:
“10.000 kilometer dalam rute ekspedisi ini ternyata jatuh di Gorontalo, siang tadi. Jarak ini setara mondar-mandir pulau Jawa sekitar delapan kali.”
Pada malam hari, motor keduanya lalu dibawa ke bengkel untuk di check up.
Sejak bertolak dari Jakarta, hingga melintasi sebagian pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Papua, Maluku, serta Sulawesi, yang menghabiskan waktu delapan bulan, Dandhy dan Ucok sudah menghasilkan karya enam film dokumenter; Baduy, Samin Vs Semen, 70 Tahun Merdeka, Kala Benoa, Lewa di Lembata, The MahuzeS.
Sembari melakukan perjalanan, hasil karya mereka itu dibahas dalam ruang-ruang diskusi diberbagai tempat di Indonesia.
Kini dengan hanya menyisakan beberapa bulan saja, keduanya harus segera menjajaki pulau di Kalimantan dan Sumatera, untuk kemudian kembali ke tanah Jawa. Dalam setiap tanah yang mereka pijak, tidak hanya terdokumentasi lewat drone dan kamera DSLR atau kamera Go Pro, melainkan juga bisa dinikmati via catatan-catatatan di facebook dengan akun: “Ekspedisi Indonesia Biru”.
Saat pertama kali meluncur menjejaki wilayah Indonesia, mereka menyebut bahwa makna “biru” dalam ekspedisi ini bukanlah merujuk pada ihwal kemaritiman, dimana tiga perempat wilayah Indonesia adalah lautan. Namun, kata mereka, makna biru adalah konsep tentang kehidupan sosial yang berkeadilan secara ekonomi, arif dalam budaya, dan lestari bagi lingkungan.
“Konsep yang barangkali, dapat menjawab berbagai persoalan, dimana kebijakan publik, kekuatan modal, dan perubahan sosial memiliki dampak yang tidak selalu menyenangkan semua orang,” begitu kalimat yang ditulis pada akun facebook Ekspedisi Indonesia Biru.
Selain bertajuk ekspedisi Indonesia Biru, Dandhy dan Ucok menyebut perjalanan mereka adalah “Bacpack Journalism”, karena semua peralatan dan perlengkapan dibawa dengan dua motor bebek bermesin 125 CC keluaran tahun 2003 dan 2005, tanpa tim pendukung atau kru.
Dandhy dan Ucok berkeliling Indonesia tidak hanya sekadar gagah-gagahan, macam acara-acara petualang di layar tv lokal Jakarta yang bersiaran nasional itu, lalu membandingkan segala sesuatu yang mereka temui dengan Jakarta; seolah-olah yang beradab adalah Jakarta, dan tidak beradab adalah daerah yang mereka jejaki.
Tentu mereka akan mendapati banyak pelajaran dari perjalanan ini; belajar dari orang-orang biasa dengan berbagai macam warna, merekam langsung kenyataan-kenyataan yang berjejer sepanjang pulau, serta melihat bagaimana absennya Negara dibanyak entitas dan wilayah tertentu.
Fakta-fakta yang mereka temui ini dapat dinikmati dari enam buah karya dokumenter yang telah dilahirkan sepanjang perjalanan.
Saya juga sangat berharap, kedua Backpack Journalism ini akan mengungkap,-seperti halnya karya dokumenter mereka lainnya,-tentang; apa dan bagaimana rasanya berindonesia itu, yang bercerita mengenai ide dan gagasan keindonesian yang jauh rel dari kereta. Atau berharap mereka “merevisi” kembali tentang semboyan bahwa “nenek moyangku seorang pelaut,” yang telah menjadi semacam ideologi bagi pemuja “My Trip My Adventure”, namun mengabaikan mitologi bahwa masyarakat kita memiliki kosmologi dan ritus dari dan ke pegunungan.
Secara geografis Indonesia memang memiliki tiga perempat lautan. Tentu saja ini sangat luas. Tapi, stop sudah melihat Indonesia hanya pada satu daerah geografis tertentu atau pada satu kelompok tertentu. Ini sama saja mengerdilkan apa yang disebut Indonesia itu sendiri, dan menihilkan peran-peran dari kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami wilayahnya.
Betul memang Indonesia itu adalah Negara yang unik. Tapi selain unik, Indonesia juga Negara yang aneh. Jumlah pulaunya kini 13.466 dengan luas 1.904.569 km2. Dengan panjang seperti yang terdengar pada lagu “Dari Sabang sampai Merauke”, yang oleh banyak orang dibilang mirip perjalanan naik haji. Bisa dibayangkan bagaimana panjangnya Indonesia itu, kan?
Anehnya lagi, luas dan panjangnya yang dihuni oleh banyak entitas itu diurus oleh satu wilayah bernama Jakarta. Lebih aneh lagi, ya itu dia, membandingkan semua wilayanya dengan Jakarta. Jika sudah begitu, kehadiran orang yang datang dari Jakarta ke tempat yang terekslusi, akan dianggap sebuah kehormatan besar. Karena mereka dianggap dikunjungi oleh orang pusat, orang nasional.
Selain aneh, Indonesia itu rumit. Barangkali serumit perdebatan George Earl dan James Logan, tentang mau dinamakan apa nama wilayah,-yang panjangnya juga mirip dari Inggris sampai Turki,-dan oleh alumni Berlin University, Adolf Bastian, dipopulerkan menjadi Indonesia hari ini.
Seperti pendahulunya Farid Gaban dan Ahmad Yunus dalam ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, Dandhy dan Ucok adalah dua orang wartawan yang keluar dari arus utama tatanan sosial kewartawanan yang mapan di Jakarta; meninggalkan zona nyaman, serta rela turun berkubang lumpur yang tidak sekadar mengukur jalan berkeliling Indonesia, namun merasakan bagaimana nasibnya berindonesia hari ini.
Perjalanan keduanya kini tersisa tiga bulan lagi. Sementara posisi mereka masih berada di Gorontalo, kemudian menuju Palu, lalu menyeberang ke pulau seberang; Kalimantan dan Sumatera sedang menunggu.
Sebenarnya waktu satu tahun tidaklah cukup merekam semua tempat dengan luas seperti Indonesia ini. Jika ditambah durasi perjalanan, maka umur hanya akan terkuras di jalan.
Karena menjelajahi Indonesia tak semudah mengucapkan lirik dari Sabang sampai Merauke. Dan saya yakin, Dandhy dan Ucok sadar akan hal itu.
Atau jangan-jangan, hanya mereka yang memiliki gen nenek moyang seorang backpacker-lah yang bisa melakukannya.
Christopel Paino
Jurnalis. Suka jalan-jalan, apalagi jalan-jalan gratis.
Sumber: DeGorontalo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar