Perkembangan teknologi informasi membawa ancaman baru terhadap jurnalis dan kebebasan pers.
Suatu subuh di awal Januari 2014, editor Ars Technica Nathan Mattise terbangun. Telepon genggamnya terus berbunyi karena dibanjiri oleh pesan singkat dan panggilan tak terjawab. Selama 14 jam setelahnya, ia terus menerima surat elektronik dan panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Rumahnya dikirimi makanan cepat saji Chick-Fil-A seharga 287 dolar, serta 50 eksemplar Al-Quran. Apa yang terjadi?
Nathan telah menjadi korban doxxing, aniaya atau ancaman terhadap individu akibat publikasi informasi privat seperti alamat rumah dan nomor telepon genggam. Informasi privat tersebut dapat didapatkan melalui catatan publik—seperti kartu tanda penduduk—atau dengan meretas akun surel dan media sosial milik korban. Doxxing dapat dilakukan dengan membanjiri kanal komunikasi korban secara terus-menerus sampai tidak dapat digunakan, atau mengirimkan surat kaleng berisi ancaman hingga gambar-gambar menyeramkan ke alamat surel korban. Selain itu, contoh lainnya bisa berupa kiriman makanan dan barang-barang ke alamat korban yang harus dibayar oleh korban sendiri.
Meski doxxing dapat terjadi kepada siapa saja, kasus-kasus yang menimpa jurnalis umumnya disebabkan oleh karya jurnalistik buatan sang jurnalis yang dianggap menyinggung individu atau kelompok tertentu. Wartawan Jezebel Anna Merlan menjadi korban doxxing setelah mengkritik tindakan anggota sebuah forum internet bernama 4chan yang melakukan trolling pada sebuah jajak pendapat majalah Times. Anggota forum tersebut secara terkoordinir memilih kata “feminis” sebagai kata yang seharusnya dihilangkan dalam kosakata bahasa Inggris.
Kejadian serupa juga terjadi kepada mantan jurnalis Washington Post Brian Krebs. Rumahnya didatangi sekelompok regu SWAT karena seseorang menelepon polisi dengan laporan palsu bahwa terdapat situasi berbahaya di kediamannya. Hal tersebut terjadi setelah ia menulis artikel tentang sebuah situs yang menjual nomor social security serta laporan tagihan kredit yang dapat disalahgunakan.
Kasus-kasus doxxing semacam ini sulit ditangani oleh polisi. Ancaman melalui telepon atau pemesanan barang yang akan dikirimkan ke rumah korban sulit dilacak karena dilakukan melalui telepon umum, atau dari luar negeri. Tanpa kepastian mengenai lokasi fisik para pengancam, polisi tidak dapat menindaklanjuti aduan korban. Dalam menangani kasus doxxing, redaksi sebuah media memliki peran yang besar untuk melindungi wartawan-wartawan mereka. Vox Media memberi wartawan yang menjadi korban doxxing waktu cuti dan mempertemukannya dengan terapis untuk mengatasi tekanan yang ia hadapi. Surat elektronik wartawan yang dikirimi ancaman dialihkan untuk beberapa waktu.
Beberapa media juga membuat kanal sebagai wadah wartawan-wartawan yang menjadi korban untuk membantu dan menguatkan satu sama lain. Menurut Mattise, redaksi media juga perlu mengambil tindakan preventif dengan bersikap peka terhadap isu-isu sensitif dengan memastikan tidak ada publikasi yang dapat menyinggung kelompok tertentu. Upaya preventif lain dapat berupa membekali wartawan baru dengan informasi tentang cara-cara untuk melindungi identitas mereka, seperti bagaimana cara menyembunyikan alamat IP, bagaimana cara mengelola kata sandi, dan bagaimana cara menghilangkan informasi dari situs-situs yang mengumpulkan data pribadi.
Pada dasarnya, doxxing adalah sebuah bentuk ancaman terhadap kebebasan pers untuk bersuara. Perlindungan terhadap jurnalis masih menjadi catatan besar di Indonesia. Pada awal 2015, sebuah paket berisi rangkaian bom palsu dengan surat ancaman ditemukan di kantor Kompas TV Makassar. Pada 28 Agustus 2015, kantor redaksi Detik.com diserbu massa yang sebelumnya berunjuk rasa di depan rumah gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama karena merasa tersinggung oleh sebuah pemberitaan. Seiring dengan berkembangnya teknologi, modus ancaman terhadap jurnalis pun akan semakin canggih pula. Jika tidak berhati-hati, jurnalis bisa menjadi korban. (REMOTIVI/Eduard Lazarus Tjiadarma)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar