Kita punya pasangan dwitunggal abadi yang kelakuannya macam langit dan bumi. Pertama, Sukarno yang selalu tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak dan flamboyan minta ampun. Kedua, Mohammad Hatta yang jarang senyum, sekalinya senyum tidak kelihatan gigi (sunah nabi), serta fobia perempuan.
Soal fobia perempuan ini, Sukarno sampai khusus membuatkan parodi tentang Hatta yang bisa kita temui dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia.
Alkisah, suatu hari Hatta lagi naik mobil dengan seorang sopir dan cewek cantik. Di jalan yang sepi, tahu-tahu ban mobil pecah. Si sopir lalu pergi cari bantuan. Tinggallah Hatta berduaan sama cewek cantik itu.
Jika posisi Hatta ditukar dengan Sukarno, ketika si sopir kembali, keduanya pasti sudah menikah. Tapi kali ini tokoh kita adalah Sang Bapak Koperasi. Maka yang terjadi adalah: saat si sopir kembali, dua-duanya tengah tidur di jok. Satu di paling ujung sana, satu di paling ujung sini. Pokoknya sejauh-jauhnya.
Parodi Sukarno adalah kisah fiktif, namun bukan berarti Hatta tak lucu lagi. Cobalah buka buku Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, yang berisi kumpulan kenangan sahabat, rekan, dan keluarga Hatta. Saya menobatkan kisah-kisah tentang Hatta di dalamnya sebagai kisah tokoh bangsa paling kocak yang pernah saya baca. Musababnya, bapak satu ini tak pernah berpretensi lucu maupun melucu, dan karena itulah ia lucu.
Kelucuan itu saya temukan dalam, salah satunya, kisah Des Alwi, anak angkat Hatta. Ketika Des masuk ke sekolah menengah, ia dipanggil dari Banda Neira untuk bersekolah di Jakarta. Des mengenang, Hatta adalah bapak yang sangat ketat memantau prestasi belajar anaknya di sekolah. Ia paling tidak toleran dengan nilai buruk.
Suatu kali Des mendapat nilai merah di raport. Apa respons Hatta? Saking kesalnya, dia menyuruh Des pulang saja ke Banda Neira… dengan berenang.
Hatta memang dikenal sebagai orang yang zakelijk, luar biasa disiplin, dan pecinta buku kelas berat. Soal buku-buku itu pula yang sering menjadi cerita parodi tentang Hatta yang paling kerap diulang. Apa lagi kalau bukan soal 16 peti buku koleksinya yang ia bawa dari Belanda, lalu ke Jakarta, diangkut lagi ke Boven Digul ketika dibuang ke sana, masih tak luput dibawa ketika dipindah-buangkan ke Banda Neira, kembali lagi ke Jakarta, dan kemudian ke Bangka. 16 peti! Jangan berani ceramahi Hatta soal travel light alias berpergian enteng, wahai para backpacker!
Saking banyaknya, ketika baru tiba di Digul, teman sesama buangan, Moh. Bondan namanya, sampai tak tahan berseru: Anda ke sini dibuang apa mau buka toko buku?
Buku-buku itu pula yang bikin Hatta sampai bertengkar dengan Sjahrir, cs-nya sejak di Belanda sampai ke Neira.
Ceritanya, sewaktu akan kembali ke Jakarta, Sjahrir ingin mereka membawa serta anak-anak angkat mereka, adik-beradik Des Alwi yang jumahnya enam orang. Tapi pesawat mereka rupanya tidak kuat membawa setengah lusin anak dan 16 peti buku. Harus pilih salah satu untuk ditinggalkan. Sjahrir kekeuh bawa anak, Hatta sendiri bisa ditebak: tentu saja pilih buku yang sudah melanglang 2/3 luas dunia itu. Walau akhirnya Hatta mengalah, syaratnya sialan juga: Des Alwi tidak jadi diajak agar bisa menjaga buku-buku itu sampai semuanya tuntas dikirim ke Jakarta.
Masih soal buku. Ketika Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, ia sekeluarga boyongan dari rumah dinas ke rumah pribadi. Di rumah baru, Munthalib, si sopir keluarga, yang kebagian tugas menyusun buku ke rak-rak baru. Setelah selesai, Hatta memeriksa dan menemukan ada buku yang diletakkan berdiri tapi terbalik. Segera saja ia menyindir Munthalib: Lib, orang berjalan itu tidak dengan kepala di bawah.
Di lain kesempatan, seorang keponakan Hatta mengaku pernah melipat halaman buku yang ia pinjam dari Hatta. Begitu tahu, apa yang Hatta lakukan? Meminta dibelikan buku baru yang sama.
Beralih ke kisah selain buku. Kala masih di Neira, pulau dengan pantainya yang indah, suatu hari Sjahrir dan Hatta mengajak anak-anak angkat mereka berenang ke pantai. Keduanya memang tinggal serumah. Sjahrir yang enerjik dan suka bersenang-senang segera saja mencebur dengan hanya bercelana ketika sampai di pantai. Sementara, kenang Des Alwi, Oom Hatta masuk ke air dengan berbaju lengkap dan bersepatu. Mengutip Cinta, orang tua satu ini memang “sakit jiwak!”.
Mungkin dua kata itu juga yang ada di benak ibunda Hatta ketika tahu apa mas kawin yang disiapkan anak lelaki semata wayangnya itu menjelang menikah. Sebuah momen yang mungkin ibunya kira bakal tak pernah terjadi. Hatta memang menikah tua, di usia 43 tahun, setelah dicomblangkan Sukarno dengan Rahmi (perempuan yang menurut Muhidin M. Dahlan, tipenya Sukarno banget). Mas kawinnya adalah sebuah buku pengantar filsafat barat yang ia susun sendiri, berjudul Alam Pikiran Yunani. (Wahai para jomblo sedunia, tetap tabah, terus mencari, dan mulailah mencari mas kawin.)
Begitu tahu mas kawinnya sebuah buku, ibunda Hatta langsung meledak amarahnya. Tapi kemudian tak bisa berbuat apa-apa.
Hal-hal lucu tentang Hatta bukanlah sesuatu yang disengaja, melainkan datang dari kekikukannya ketika menghadapi hal-hal yang tidak biasa ia hadapi. Sheldon Cooper di serial Big Bang Theory mungkin adalah Hatta versi modern. Serba salah tingkah karena sifat dasarnya yang begitu lurus dan teratur.
Dua kisah berikut akan menjadi pamungkas tulisan ini. Pertama, ketika Rahmi melahirkan putri pertama mereka, Si Bapak Baru yang kikuk itu datang ke rumah sakit menjenguk istrinya. Mari menebak, apa yang ia bawakan?
Baju? Selendang? Pakaian bayi? Bunga? Cokelat?
Oh, bukan, Saudara-saudara. Dia bawa sandwich!
Kedua, suatu kali, sebagai wakil presiden, Hatta akan berpergian dengan pesawat. Bersama rombongan, datanglah ia ke Bandara Halim Perdanakusuma untuk menunggu pesawat yang dijadwalkan datang pukul, katakanlah, sembilan tepat. Malangnya, pesawat itu datang lebih cepat 15 menit. Iya, malang. Malang bagi pilotnya. Sebab, Hatta yang dikenal sangat tepat waktu (yang ternyata berarti “jangan terlalu awal, jangan terlalu telat”), begitu dilapori bahwa pesawat sudah datang mendului jadwal, segera memberi instruksi: silakan putar-putar dulu di udara sampai pukul sembilan tepat, baru kemudian turun.
Demikianlah kelakuan Mohammad Hatta, sang proklamator yang saking dicintainya, ketika wafat pemakamannya dihadiri ribuan orang, dan dibuatkan lagu khusus yang sendu sekali oleh Iwan Fals. Sila putuskan masing-masing, kelakuan Hatta pantas ditiru atau tidak.
Merdeka!
Sumber: Mojok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar