Jika kita membaca buku-buku Faisal Basri yang terbit pasca-Reformasi, mulai dari “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia” (2002), hingga bukunya yang terakhir, “Lanskap Ekonomi Indonesia” (2009), ia cukup konsisten mengemukakan ideal bahwa solusi untuk mengatasi persoalan tata kelola BUMN adalah privatisasi. Hanya sebuah buku lamanya, “Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI” (1995), yang juga jadi rujukan dalam banyak kelas Perekonomian Indonesia, yang belum banyak menyinggung soal BUMN.
Meski dalam sejumlah uraiannya ia menyinggung pandangan bahwa BUMN merupakan instrumen negara untuk melakukan campur tangan dalam perekonomian, dan bahwa kinerja BUMN mestinya tidak hanya dilihat dari kacamata untung-rugi, namun kesimpulan akhirnya mengenai posisi BUMN dalam perekonomian seringkali melompat sangat jauh dari pandangan-pandangan tadi.
Dari tiga peran yang bisa dimainkan negara dalam perekonomian, yaitu sebagai (1) planner, (2) player, dan (3) regulator, maka peran ideal negara menurut Faisal hanyalah sebagai regulator saja.
Tidak heran, meskipun dia misalnya menulis bahwa sebagian BUMN menanggung tugas sebagai PSO (public service obligation), namun dia juga menulis bahwa BUMN yang memiliki ROA (return on assets, rasio pendapatan terhadap total aset) hanya dua persen, sebaiknya dijual saja.
Melompat dari soal tata kelola ke soal privatisasi sebenarnya adalah sebuah “jumping conclusion”, dan bahkan “mutasi logika”.
Itu hampir tak ada bedanya dengan keprihatinan Menteri Susi Pudjiastuti yang prihatin terhadap penambangan pasir di pulau-pulau yang berbatasan dengan Singapura, dan berpikir untuk menyewakan saja pulau-pulau tadi ke Negeri Singa daripada harus tenggelam karena dikeruk. Itu adalah konklusi melompat yang menggelikan.
Kenapa solusinya bukan moratorium izin penambangan pasir, dengan mencabut izin lama dan menghentikan penerbitan izin baru?! Idem dito, melarikan problem tata kelola BUMN ke isu penjualan sebagai solusi, juga adalah lompatan logika yang menggelikan.
Saya juga agak mengernyitkan dahi ketika membaca kembali buku “Catatan Satu Dekade Krisis: Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia” (2009), dimana Faisal menulis bahwa salah satu sebab kebangkrutan ekonomi Indonesia pada 1960-an adalah program nasionalisasi yang dilakukan Soekarno. Proyek nasionalisasi itu, sebutnya, telah membuat jumlah perusahaan negara menjadi bengkak sehingga membebani APBN. Untunglah gelombang nasionalisasi keempat, yang rencananya menyasar perusahaan minyak asing, seperti Caltex, bisa diganjal oleh Angkatan Darat. Bahkan, personil militer melakukan penjagaan langsung di perusahaan-perusahaan asing tadi. Terus terang nada paparan itu membuat saya tercenung.
Agenda nasionalisasi yang sedang dikerjakan Soekarno, di atas kertas memang akan direspon oleh “capital flight” oleh para investor asing, dimana dalam jangka pendek akan menghasilkan kontraksi ekonomi yang keras. Namun menganggap nasionalisasi sebagai sebuah kesalahan hanya karena akibat jangka pendeknya tentu saja adalah penilaian yang gegabah. Itu tak ada bedanya dengan menganggap bahwa makan itu buruk karena hanya akan mengakibatkan kita (maaf) buang air besar.
Tapi saya tidak heran dengan posisinya ketika membicarakan itu, karena di bagian lain, ketika dia membahas nasionalisasi sektor pertambangan dan migas yang dilakukan Putin, Chávez dan Morales, dia juga menuliskannya dengan nada yang minor.
Meskipun di bagian lain uraiannya Faisal menulis bahwa Pertamina seringkali dicurangi oleh perusahaan operator, dan bahwa penguasaan hulu migas kita terlalu kecil, namun konklusi-konklusinya sama sekali tidak koheren dengan fakta-fakta vital tadi. Ia menulis uraian panjang lebar bahwa klaim ketergantungan kita terhadap perusahaan minyak asing hanyalah misinterpretasi. Sebab, dalam kenyataannya, meskipun blok-blok migas mayoritas dikuasai oleh perusahaan asing, namun kepemilikan blok-blok tadi tetap ada di negara. Itu adalah argumen yang pernah dikemukakan oleh Rizal Mallarangeng ketika membela Exxon Mobil dalam pengelolaan Blok Cepu, dan juga Gita Wirjawan ketika menyebut bahwa jangan sampai nasionalisme ekonomi menghambat pertumbuhan ekonomi.
Lompatan-lompatan logis, atau inkoherensi semacam itu, kental sekali mewarnai tulisan Faisal mengenai peran negara (c.q. BUMN) dalam perekonomian.
Di atas kertas, penjualan saham BUMN kepada publik memang tidak otomatis berarti privatisasi. Namun, dalam struktur perekonomian dimana sektor swasta hanya dikendalikan oleh sekelompok kecil pengusaha, bahkan didominasi oleh modal asing, setiap gagasan penjualan saham perusahaan negara memang perlu dianggap ganjil. Dalam struktur yang demikian, penjualan saham BUMN bukan hanya bisa berimplikasi pada “privatisasi”, melainkan juga pada “asing-isasi”.
Tanpa memperhatikan struktur perekonomian domestik terlebih dahulu, penjualan perusahaan negara bisa berakibat pengalihan monopoli dari negara kepada swasta. Pengalihan ini tentunya berbahaya, karena perilaku mengeruk keuntungan dari swasta bisa lebih kejam daripada negara. Kita tahu, satu-satunya kontrol yang efektif terhadap kegagalan pasar (market failure) seringkali hanyalah krisis dan depresi ekonomi. Sementara, kita memiliki banyak sekali instrumen untuk mengontrol negara. Ini membuat kepemilikan oleh negara bagi sektor-sektor strategis lebih aman daripada kepemilikan oleh swasta.
Selain itu, BUMN merupakan instrumen penting bagi negara dalam mengatur perekonomian. BUMN ibaratnya adalah “hardware”, sementara fungsi regulator adalah “software”-nya. Secanggih apapun software yang dirancang oleh negara, jika ia tidak memiliki perangkat keras, tak akan bisa bekerja dan menghasilkan output.
Lagi pula, BUMN merupakan sumber pendapatan negara. Memperbaiki tata kelola BUMN sebenarnya lebih menguntungkan, karena berimplikasi memperbaiki sumber pendapatan negara. Bahkan, ada yang menyebut bahwa BUMN adalah “last resort” bagi pemerintah.
Ironisnya, dan ini juga disinggung oleh Faisal, dari berbagai privatisasi BUMN yang pernah kita lakukan, sumbangannya bagi pendapatan negara sebenarnya tidak signifikan. Ini adalah senyata-nyatanya ironi. Sebab, privatisasi BUMN umumnya memang bukan dilakukan pada BUMN-BUMN yang membebani keuangan negara, alias merugi, melainkan dilakukan pada BUMN-BUMN yang paling menguntungkan. Indosat, yang diprivatisasi dua belas tahun silam, adalah contohnya.
Kenapa justru BUMN yang paling menguntungkan yang diprivatisasi?! Argumen bodohnya selalu saja adalah: jika bukan BUMN menguntungkan yang kita jual, tidak akan ada yang mau beli.
Tentu saja argumen ini ganjil. Sebab, jika menguntungkan, lalu kenapa harus dijual?! Keganjilan ini sudah cukup menjelaskan siapa yang sesungguhnya diuntungkan dan dirugikan dari proses penjualan BUMN-BUMN kita.
Dari delapan BUMN di bidang pertambangan dan energi, saat ini empat di antaranya sudah jadi perusahaan terbuka yang sebagian sahamnya (sebagian kecil atau besar) telah dimiliki oleh swasta. Di antara delapan perusahaan itu, dan di antara semua BUMN kita yang jumlahnya saat ini masih 140-an, Pertamina adalah BUMN yang paling menguntungkan.
Tentu saja Pertamina tidak baik-baik saja. Selama ini ada banyak kepentingan yang telah mengerdilkan perusahaan negara ini dari bawah meja. Namun, menjadikan semua masalah itu sebagai alasan untuk melepas kepemilikan perusahaan ini kepada swasta, baik sebagian kecil maupun sebagian besar, melalui skema penjualan saham, pada dasarnya hanyalah bentuk “legalisasi penjarahan” terhadap aset negara paling menguntungkan tersebut.
Dan persis di isu privatisasi Pertamina itu kita memang pantas mengkhawatirkan posisi Faisal Basri di Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Bukan atas dasar buruk sangka. Melainkan atas dasar rekam jejak pemikirannya sendiri.
Tarli Nugroho
Peneliti pada Mubyarto Institute Yogyakarta.
Sumber: Berisik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar