Senin, 01 Juni 2015

Krisis Politik

APAKAH politik itu? Bagaimana politik dipahami? Mengajukan pertanyaan ini terasa berlebihan ketika sebagian besar dari kita telanjur terbiasa dengan pemahaman atau praktik yang kurang lebih standar dan mapan tentang politik, tanpa merasa perlu untuk meninjaunya kembali. Ketika bicara tentang politik, yang ada dibenak kita kurang-lebih: bagaimana pergulatan partai politik, politisi, DPR, pemerintah dalam proses pemenangan pemilu, legislasi undang-undang, perebutan jabatan-jabatan strategis, serta penguasaan sumber daya publik.

Politik telanjur dipahami dalam kategori penguasaan, pengendalian, dan pertarungan kepentingan. Politik identik dengan tindakan instrumentalistik menggunakan perangkat kekuasaan (undang-undang, mekanisme regulasi, prosedur birokrasi) guna mengejar kepentingan pribadi atau kelompok.

Dalam konteks hubungan antara negara dan warganya, politik lazim dipahami sebagai otoritasi maksimal negara untuk mengatur kehidupan masyarakat, termasuk memonopoli penggunaan perangkat kekerasan dan pemaksaan. Negara dan aparatnya dianggap mempunyai hak untuk memaksakan norma dan kewajiban apa pun kepada warganya.

Politik dalam arti demikian tidak hanya dianggap lazim dan bukan merupakan penyimpangan hakikat, namun juga mempunyai pendasaran filosofis. Banyak filsuf sejak lama merumuskan hakikat politik dalam pengertian seperi itu. Max Weber, misalnya, merumuskan politik sebagai metode untuk menguasai dan mengontrol orang lain. Politik sebagai keterampilan memutuskan sesuatu untuk orang lain, memerintah mereka, dan menjalankan kekuasaan atas mereka. Merujuk pada kedudukan negara, Weber menjelaskan kekuasaan sebagai kemampuan untuk melaksanakan kemauan sendiri, meski mengalami perlawanan dari sana-sini tak peduli apapun dasar dari kemampuan itu.

Pada aras yang sama, Carl Schmitt mengidentikkan politik dengan konflik, pertikaian, dan krisis. Lebih tegasnya, politik adalah distingsi antara kawan dan lawan. Jika antinomi kawan-lawan lenyap, maka raib pula esensi politik; suatu kondisi yang menetralisasi sama sekali kemungkinan perang, konflik, dan pertikaian. Menurut Schmitt, kondisi yang sama sekali harmonis adalah situasi yang tanpa politik. Politik menuntut sebuah antitesis di mana manusia dapat digerakkan untuk secara ekstrem mengorbankan hidup, diperintah untuk menumpahkan darah dan membunuh manusia lain.

Schmitt senantiasa mengaitkan politik dengan konflik atau krisis. Upaya untuk mewujudkan tatanan sosial—yang dipahami sebagai tujuan politik—selalu bermula dari situasi krisis. Dalam momentum krisis itu, Schmitt membayangkan muncul individu-individu “pilihan” yang mampu menegaskan eksistensi diri dalam situasi kaos serta mengambil keuntungan dari situasi darurat.

Politik sebagaimana didedahkan Weber dan Schmitt kurang-lebih adalah realitas Indonesia hari ini dengan wajah politik suram, kotor, dan sarat kedurjanaan. Politik yang diperagakan terutama sebagai seni untuk menguasai orang lain, strategi untuk memenangkan konflik, serta sarana untuk memperkaya diri dengan tipu-muslihat. Pertanyaannya, apakah hati kita masih terusik melihat segala kedurjanaan dalam politik itu? Ataukah jangan-jangan kita menganggapnya sebagai kewajaran semata?

Pada titik inilah Hannah Arendt berbicara tentang krisis politik. Krisis itu tidak terjadi ketika politik pecah-belah mewarnai partai politik, atau ketika Koalisi Merah Putih bertarung tanpa jeda dengan Koalisi Indonesia Hebat. Krisis itu ada pada diri setiap warga negara. Ketika kita melihat kedurjanaan yang dipraktikkan para pemimpin: korupsi, kolusi, nepotisme, kebohongan publik sebagai keniscayaan, bahkan privilege, alih-alih meratapinya sebagai kejahatan yang mesti dikutuk.

Krisis politik terjadi ketika masyarakat kehilangan kemampuan untuk berpikir dan mempertanyakan, sehingga pada akhirnya mati-rasa terhadap keadaan politik yang telah sedemikian bengkok. Inilah yang disebut Arendt sebagai masyarakat yang mengalami kegersangan hidup (the desert of live). Masyarakat yang kehilangan kemampuan untuk menginderai ketidakberesan di sekitarnya, dan akhirnya larut dalam ketidakberesan itu tanpa rasa risi. Masyarakat seperti ini hanya akan membuat para politisi kian leluasa memperagakan perilaku durjana tanpa hambatan berarti.

Kulminasi dari krisis itu adalah ketika kita sungguh-sungguh lupa akan politik yang autentik. Politik sebagai ruang “kebersamaan dalam keberagaman” di mana setiap individu menanggalkan kepentingan partikularitas-egoistiknya untuk kemudian bertindak untuk dan atas nama orang lain. Politik pada hakikatnya adalah sebuah ikhtiar terus-menerus untuk membebaskan individu dan masyarakat dari segala belenggu, baik penguasaan sosial, ekonomi, religius, maupun kultural. Bahwa politik tidak mungkin dijelaskan di luar konteks pembebasan individu dan solidaritas politis antar-warga.

Disadari atau tidak, kita semakin jarang membahas dan memikirkan politik dalam pengertian yang luhur itu. Dalam perspektif Arendtian, inilah tanda-tanda krisis politik. ***

Sumber: Prisma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...