ADA YANG bilang kalau istilah ‘kelas sosial’ itu identik dengan Marxis. Kalau tidak ada konsep kelas, tidak ada yang namanya Marxisme. Memang sih, kalau ditilik-tilik, konsep kelas itu ibarat priyayi di dalam analisis sosialnya Marxis. Siapa saja yang sanggup melihat bekerjanya logika kelas di dalam setiap hal, bahkan meski cuma sekelebat, dijamin dia itu Marxis tulen. Sebaliknya, kalau omongannya sama sekali tak mengungkat-ungkit soal kelas, kita mesti pertanyakan kadar Marxisme di dalam darahnya. Menyebut-nyebut soal kelas sama dengan menyebut-nyebut soal posisi. Posisi apa? Tentu saja posisi dalam peperangan kelas. Dan karena Marxisme bertalian darah dengan perlawanan anti-penindasan kelas, kata kuncinya, yakni kelas, menjadi tak hanya keren, tapi juga heroik. Semakin sering dipakai, semakin Marxis omongan kita. Ia menjadi semacam batas bawah yang wajib ditampilkan apabila seseorang hendak ditasbihkan sebagai Marxis yang kaffah. Tapi sebetulnya apa sih kelas sosial itu?
Sabtu, 19 September 2015
Jumat, 18 September 2015
Meledakkan Sejarah Petasan
Sempat menjadi bagian penting dalam berbagai tradisi dan perayaan, petasan kian teredam.
Kamis, 17 September 2015
Riazanov
LENIN wafat pada 1924. Tampuk pimpinan Republik Sosialis Uni Soviet digantikan Stalin. Satu per satu lembaga yang didirikan sepanjang kekuasaan Lenin diperiksanya. Pada tahun 1927, Stalin sempat berkunjung ke kantor Lembaga Marx-Engels yang didirikan pada 1921. Di ruang direktur, Stalin melihat panjangan potret-potretnya Marx, Engels, dan Lenin. Sambil berkernyit Stalin lantas bertanya pada si direktur yang kebetulan ada di situ: “Di mana potretku?” Si direktur membalas: “Marx dan Engels itu guru-guruku. Lenin itu kawanku. Siapa Anda buat saya?” Buat orang kebanyakan kala itu jelas ini sebuah pertanyaan balik yang kurang ajar dan bisa menghantar penanyanya ke regu penembak.
Rabu, 16 September 2015
Muhammad Al-Fayyadl: “Pada Level Aksiologis, Islam dan Marxisme menjadi Sangat Kompatibel”
AGAMA adalah candu masyarakat, demikian ujar Marx. Kosakata yang dipotong dari naskah A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right ini menjadi legitimasi bagi banyak pihak untuk menyatakan bahwa Marxisme bertentangan sama sekali dengan agama, khususnya Islam. Di Era Orde Baru, ketidaksepahaman terhadap agama menjadi salah satu alasan moral diberangusnya Marxisme dari Tanah Air. Sampai sekarang, potongan kalimat tersebut terus direproduksi tanpa dikritisi dan dibaca konteksnya secara menyeluruh.
Label:
Indoprogress,
Muhammad Al-Fayyadl,
Rio Apinino
Selasa, 15 September 2015
Meninjau Kembali Hukum Menonton Konser Musik
Melalui tulisan ini saya hendak mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali keinginan untuk menonton konser musik. Sejak awal tulisan, saya perlu menyampaikan bahwa saya nanti akan beragumen bahwa apa yang disebut sebagai konser musik dan sebagainya saat ini seharusnya bisa ditinjau kembali mengingat kepentingan masyarakat luas.
Senin, 14 September 2015
Marxisme dan Video Game
VIDEO Game bagi anak muda masa kini mirip seperti kesusastraan bagi anak muda di di zaman Renaisans. Video Game adalah bentuk termaju dari budaya pop masa kini. Namun anehnya, berbeda dari film, musik dan komik, bentuk budaya pop kontemporer ini jarang diutak-utik oleh para pengkaji budaya pop. Padahal video game bisa dikatakan merupakan bentuk budaya pop yang paling mampu memproduksi dan mereproduksi budaya dan ideologi dalam benak para penikmatnya. Mengapa demikian? Karena berbeda dari film, musik atau komik yang menempatkan para penikmatnya dalam posisi pemirsa yang pasif mengikuti cerita, video game memposisikan para penikmatnya sebagai subjek cerita yang melalui pilihan-pilihannya membentuk hasil akhirnya sendiri. Kalau pada film, musik dan komik, ruang keaktifan pemirsa hanya terbatas pada interpretasi, pada video game ruang partisipasi aktif itu tak hanya tersedia pada aras penafsiran, tetapi juga pada keseluruhan proses permainan itu sendiri. Misalnya, apabila multiple endings dalam film terwujud secara metaforis sebagai hasil dari tafsiran penonton, multiple endings dalam video game terwujud secara harfiah sebagai akibat dari perbuatan sang pemain game sebagai si tokoh utama cerita. Dimensi partisipasi aktif inilah yang menyebabkan video game memiliki kekuatan yang lebih besar untuk memproduksi dan mereproduksi ideologi melampaui bentuk-bentuk budaya pop lainnya. Itulah sebabnya, aneh bila para pengkaji budaya pop yang menggunakan perspektif Marxis tak pernah membuat studi khusus tentang video game. Ada berjubel kajian Marxis tentang film atau musik dan beberapa tentang komik, tetapi tidak ada satupun tentang video game—apalagi di Indonesia.
Minggu, 13 September 2015
Kisah Asmara Tan Malaka, Antara Petualangan dan Revolusi
SALAH satu tokoh sejarah di Indonesia yang memutuskan untuk tidak menikah adalah Tan Malaka. Kenapa dia memilih untuk hidup melajang dan tak membangun keluarga sebagaimana banyak pemimpin republik lainnya?
Sabtu, 12 September 2015
Sepuluh Fakta Tentang VOC yang Belum Banyak Diketahui Orang
Sebagai kompeni dagang, VOC memiliki kewenangan yang menyerupai negara. Inilah sepuluh hal tentang simbol imperialisme Belanda di Nusantara itu.
Label:
Annisa Mardiani,
Hendri F. Isnaeni,
Historia
Jumat, 11 September 2015
Drama Bubat dan Panas-Dingin Hubungan Majapahit-Sunda
Saling silang pendapat para ahli menyoal Perang Bubat. Lokasi kejadiannya pun masih diliputi misteri.
Kamis, 10 September 2015
Perang Bubat dalam Memori Orang Sunda
Benarkah ini jadi penyebab tak ada jalan Majapahit dan jalan Gadjah Mada di Bandung?
Langganan:
Postingan (Atom)