Selasa, 25 Agustus 2015

Mempertanyakan Peran Pemantau Media

Reformasi 1998 memberi kita kebebasan pers. Tapi, untuk siapakah kebebasan pers?

Seorang kawan datang bercerita dan mengeluh. Katanya, koran langganannya beberapa bulan ini semakin memuakkan. Berita-berita yang ditampilkan koran terbesar di republik ini kerap memojokkan buruh dan petani, serta lebih berpihak pada pengusaha. Sang kawan menambahkan, berita-berita macam itu hanya akan membawa kita semakin jauh dari berbagai problem sosial hari ini.

Lain waktu, beberapa kawan menuliskan caci-makinya tentang televisi di media sosial. Ada yang jengah melihat para politisi cum pemilik media yang narsis. Ada juga yang menganggap tayangan televisi sebagai bentuk pembodohan dan tidak mendidik. Televisi dituduh merusak moralitas generasi penerus bangsa. Karena itu beberapa orang membuat petisi online menuntut tayangan-tayangan tersebut dihentikan.

Kritik atas praktik media sebenarnya bukan merupakan hal yang aneh. Kritik-otokritik adalah salah satu tanda bahwa demokrasi sedang berjalan. Namun, ketika berbagai kritik yang terus menerus muncul tidak mampu membawa kita ke mana-mana, kita ditunjukkan satu hal: kebebasan pers telah membuka lebar kotak pandora yang membawa berbagai penyakit.

Simak rentetan “penyakit” berikut: konglomerasi media, penyalahgunaan frekuensi publik untuk kepentingan pemilik media, tayangan-tayangan minim kualitas, sampai eksploitasi yang dilakukan terhadap jurnalis. Kotak pandora yang terbuka semakin lebar juga menegaskan bahwa kebebasan pers yang dinikmati sekian tahun ini berjalan tidak sebagaimana mestinya. Kebebasan pers tidak menjadi sarana untuk mencerahkan publik.

Ia hanya dipahami sekadar hadiah yang diberikan kepada media dan wartawan untuk membombardir masyarakat dengan berita-berita yang mereka sajikan. Reproduksi informasi tentu memiliki tujuan untuk melanggengkan hegemoni ekonomi-politik para pemilik media. Padahal, kebebasan pers bukan sekadar persoalan kebebasan media melakukan peliputan dan menyiarkan sebuah berita. Kebebasan pers juga merupakan kondisi yang menjamin publik memiliki hak untuk mendapatkan informasi maupun pengetahuan yang dibutuhkan, serta menyatakan gagasan-gagasannya. Kondisi itu secara ideal bisa tercipta ketika media mampu memunculkan ruang publik, dengan mengalirkan arus informasi secara sehat.

Nah, ketika media justru melakukan monopoli informasi atau semakin latah menampilkan berita-berita yang tidak penting dan relevan, publik memiliki kekuatan untuk menekan media dalam memunculkan ruang tersebut. Salah satu caranya, melalui mekanisme kerja-kerja pemantauan atau pengawasan media (media watch). Sebagaimana pernah dikatakan Ashadi Siregar, lembaga pemantau media berfungsi secara sosiologis dalam masyarakat.

Lembaga pemantau media (LPM) sebagai manifestasi kegelisahan publik ada untuk melihat media, serta segenap tingkah laku jurnalistiknya secara kritis. Keberadaannya penting untuk mengukur praktik jurnalistik—baik itu objektivitas berita maupun berbagai kepentingan di balik pemilik modal—yang dilakukan oleh media. Tidak mengherankan jika di beberapa negara seperti Swedia, Irlandia, Inggris, juga Amerika Serikat, keberadaan seperti ini begitu dihargai.

Di Amerika Serikat misalnya, keberadaan LPM yang tumbuh subur tidak sekadar memantau penyimpangan praktik jurnalistik sebuah media. Lebih dari itu, ia menjadi bentuk kontra wacana terhadap ideologi tertentu. Misalnya saja Media Research Center (MRC). Nama lembaganya terdengar netral, tapi MRC dengan jelas mengatakan bahwa mereka merupakan lembaga milik kaum konservatif, untuk memantau sekaligus menetralisir bias sayap kiri yang muncul dalam berita di media-media nasional tertentu.

Pemahaman terkait keberadaan LPM ini barangkali terasa tidak populer bagi para pemilik media maupun jurnalis. Padahal, jika mau melihat lebih jauh, kritik yang substantif terhadap media akan menjadi vitamin yang menambah mutu jurnalisme itu sendiri. Pada era awal reformasi misalnya, gagasan mengenai keberadaan LPM akan dianggap menjadi sebuah ide yang aneh.

Setiap ide untuk memantau atau mengawasi pers di era demokratis kerap dituding sebagai bentuk menghidupkan kembali semangat otoritarianisme ala Orde Baru. Media telah menjadi tiran baru. Tak terlalu mengherankan ketika publik pernah “menghukum” media yang nakal dengan amuk. Publik melakukan “pemantauan” dengan caranya sendiri.

Di tangan rezim reformasi, kita menyaksikan betapa masyarakat kerap melakukan tindak kekerasaan terhadap media yang dirasa tidak berimbang dalam memberitakan sebuah berita. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap media tentu saja tidak bisa dibenarkan. Tetapi, sebagian amuk tersebut dilatarbelakangi kesalahan media yang tidak lengkap menyajikan berita atau bersikap terlalu tendensius.

Tentu bukan seperti ini kebebasan pers yang kita idealkan. Sayangnya, kondisi semacam itu toh masih gagal menumbuhkan LPM yang mampu bertahan lama untuk mengimbangi arus informasi pemberitaan media yang semakin kencang dan cenderung destruktif. Riset yang dilakukan Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dalam buku Model-Model Gerakan Literasi Media dan Pemantauan Media di Indonesia (2013) bisa menjadi gambaran awal.

Jika dibaca dari riset tersebut, arah gerak LPM terbagi menjadi dua. Pertama, gerak vertikal. LPM yang bergerak secara vertikal biasanya ditandai dengan dua hal: pemantauan terhadap konten-konten berita dan advokasi regulasi; dan kebijakan publik yang berkaitan dengan media. Mereka menganalisis media dan memberikan standar penilaian atas konten-konten tersebut.

Inilah yang dilakukan oleh Yayasan Kajian Informasi, Pendidikan, dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS), Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI), Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Lembaga Konsumen Media (LKM), juga Remotivi. Masing-masing memiliki fokus yang berbeda dengan memantau televisi, media cetak, maupun regulasi yang ada.

Kedua, gerak horizontal. Pemberdayaan masyarakat sebagai basis awal untuk melakukan literasi media menjadi perhatian. Tujuannya, menjadi masyarakat kritis dan mampu menganalisis pesan-pesan yang muncul di media. Dengan begitu masyarakat bisa menjadi khalayak aktif dalam merespon banjir informasi yang ada media. Lembaga pemantau yang bergerak secara horizontal ini memiliki sasaran dan target yang beragam.

Masyarakat Peduli Media (MPM), misalnya, menyasar ibu-ibu rumah tangga sebagai ujung tombak literasi media. Rumah Sinema melakukan kegiatan literasi media dengan berfokus pada pelajar di tingkat sekolah menengah. Early Childhood Care and Development-Resource Centre (ECCD-RC) memberikan perhatian pada anak-anak usia dini dan dasar. Sementara Centre for Lead (CFL) menjadikan pondok pesantren sebagai basis gerakan literasi media.

Namun, sepertinya ada beberapa problem mendasar yang dialami oleh beberapa LPM di atas, yakni kegagalan membawa pengaruh signifikan dalam skala yang luas. Pengaruh hanya muncul dalam lingkup kecil, terbatas pada kelompok atau komunitas tertentu. LPM terjebak pada gerakan yang sifatnya parsial dan minim menjalin kerjasama dengan elemen-elemen pemantau media yang lain. Konsekuensinya, kerja-kerja advokasi maupun literasi yang sudah dilakukan sulit diimplementasikan di tempat lain.

Sebagai contoh kita bisa lihat pengalaman Remotivi yang fokus pada pemantauan televisi. Banyak kajian dan kritik atas tayangan-tayangan televisi yang dihasilkan Remotivi, dari isu perempuan sampai aktivitas filantropi yang dilakukan televisi. Beberapa kajian dilakukan bersama organisasi dan lembaga lain. Beberapa kali, aliansi juga dibuat ketika melakukan proses advokasi problem tertentu.

Salah satunya, ketika Remotivi menggalang petisi online menuntut kinerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) beberapa waktu lalu. Dalam konteks advokasi, aliansi tentu menjadi hal penting untuk menaikkan daya tawar dalam berhadapan dengan industri televisi. Sayangnya, penyebaran beberapa kajian yang dilakukan masih sangat minim dan gagal menjangkau publik yang lebih luas. Usaha untuk menjangkau mahasiswa dengan mengadakan diskusi di kampus pun tidak berjalan dengan efektif.

Padahal kerja-kerja pemantauan media juga berkaitan dengan bagaimana menyebarkan hasil pemantauan tersebut sehingga masyarakat bisa merasakan manfaatnya. Problem semacam itu, jika dibaca lebih luas, tidak hanya menghinggapi Remotivi, melainkan juga lembaga pemantau media lain.

Maka, secara umum, problem LPM itu bisa diekstraksikan sebagai berikut:

Pertama, keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki–baik dari segi jumlah maupun kualitas dan pengalaman. Kebanyakan LPM terdiri dari orang-orang yang berada di luar industri media. Tentu saja, masukan-masukan yang muncul kemungkinan besar tidak akan diindahkan oleh para pelaku industri media.

Kritik maupun masukan dari luar industri media akan dengan mudah dianggap penuh bias dan kepentingan tertentu. Kritik yang didengar biasanya hadir dari mereka yang memang pernah punya pengalaman dalam industri media. Padahal, inipun problematis. Kritik seorang jurnalis senior yang aktif di sebuah LPM, misalnya, bisa jadi akan penuh dengan berbagai pemakluman terkait bopeng-bopeng media.

Kedua, ketergantungan terhadap lembaga donor. Saya kira sudah merupakan rahasia umum, bahwa lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Indonesia kerap kesusahan menjalankan berbagai program jika tidak ada dukungan dari lembaga donor, khususnya secara finansial. Ketika dukungan ini tidak ada, tentu saja program-program pemantauan yang ada tidak bisa dikerjakan.

Demikian juga yang dihadapi oleh LPM. Ketergantungan terhadap lembaga donor, jika tidak disikapi dengan serius, bisa jadi justru akan mematikan LPM itu sendiri. Apalagi jika kita lihat lebih jauh, kecenderungan donor terkait media di Indonesia pasca 1998, banyak memberikan perhatian pada kebebasan pers, tetapi tidak pada bagaimana memantau dan mengawasi media.

Ketiga, minimnya publikasi riset-riset yang dilakukan mengenai pemantauan media. Diseminasi hasil riset adalah proses yang sangat penting setelah riset itu sendiri. Melalui penyebaran hasil riset tersebut, publik bisa mengetahui apa yang salah dengan berita-berita di media tertentu atau tayangan-tayangan di televisi. Mengandalkan media tentu akan terasa sia-sia karena mereka lah yang sedang menjadi objek kritik.

Minimnya kreativitas untuk melakukan publikasi berimbas pada langkah LPM yang berjalan sendiri-sendiri. Mereka seperti tidak terhubung satu sama lain. Dalam menghadapi industri media yang semakin menggurita, kerja kolektif mestinya menjadi sebuah kebutuhan.

Keempat, LPM tidak banyak melibatkan publik. Padahal, tujuan memantau dan mengawasi media pada dasarnya adalah agar publik bisa lebih berdaya dalam menerima terpaan arus informasi. Hasil-hasil pemantauan media menjadi bekal bagi masyarakat untuk mengakses media secara kritis. Bahkan lebih jauh juga membentuk gerakan advokasi terkait isi media yang dianggap merugikan publik. Artinya, kerja-kerja yang lebih partisipatif dengan melibatkan masyarakat sangat diperlukan.

Berbagai kelemahan yang mengemuka tersebut bisa jadi muncul karena usia kebebasan pers kita yang masih menginjak remaja. Artinya, gerakan pemantau media atau literasi media masih mencari-cari bentuknya yang ideal. Yang pasti, kehadirannya terasa penting ketika publik terkepung oleh banjir informasi yang tidak relevan.

Demokrasi membutuhkan posisi yang setara antara media dan masyarakat. Posisi yang setara mengandaikan bahwa publik tidak sekadar mendapatkan informasi tetapi juga mampu membacanya secara kritis. []

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...