Demokrasi dan partai politik seperti dua sisi mata uang. Keduanya tak terpisahkan. Dalam demokrasi modern, partai politik adalah pilar yang mengakomodasi minat dan kepentingan warga negara untuk terlibat dalam tata kenegaraan. Demokrasi yang stabil membutuhkan partai politik yang matang. Matang dalam arti memiliki sistem kelembagaan yang solid serta berbasis ideologi yang menjadi dasar partai mengambil keputusan kolektif.
Atas dasar premis itu, ada yang perlu kita cermati dalam kisruh yang terjadi antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan Partai Gerindra. Sejak Ahok memutuskan mengundurkan diri dari partai yang mendukungnya menjadi calon wakil gubernur itu, segera seluruh perhatian media tertuju pada sosok politikus muda yang dianggap membawa nilai kebaruan dalam politik Indonesia ini.
Berbagai wawancara dan liputan tentang konflik antara Ahok dan petinggi Partai Gerindra mewarnai berita-berita media massa, baik cetak maupun elektronik. Tidak ketinggalan media sosial ramai dengan kicauan para pendukung Ahok.
“Ahok is the only good thing by far for Gerindra,” begitu lontaran salah satu penggemar berat Ahok. Nyaris semua komentar atas keputusan meninggalkan Partai Gerindra mendukung keberanian Ahok untuk mengambil jalan berbeda dari partai yang telah berjasa membawanya menjadi orang nomor satu di Jakarta itu.
Mengapa Ahok begitu populer? Alasannya sederhana. Di mata sebagian besar publik, Ahok adalah sosok politikus yang didambakan. Ia muncul seakan mata air di padang pasir politik yang begitu gersang. Tak hanya karena Ahok adalah pejabat yang relatif bersih dari skandal korupsi dan berhasil menunjukkan kinerja yang benar-benar diharapkan oleh warga Jakarta. Tetapi juga karena nyali Ahok dalam menghadapi kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kebijakannya dalam mengelola Jakarta. Tidak ada hari tanpa berita tentang Ahok. Setiap komentarnya menjadi headlines. Setiap tindakannya menjadi aspirasi banyak orang. Dengan kata lain, Ahok adalah fenomena.
Namun, ada yang perlu dicermati pada fenomena Ahok. Sama seperti fenomena Jokowi, fenomena Ahok adalah wujud dari proses individualisasi dalam politik Indonesia masa kini. Individualisasi ditandai dengan menguatnya peran individu dalam politik publik. Alih-alih politik dilihat sebagai proses interaksi secara kolektif, politik yang terindividualisasi memberikan panggung yang lebih besar pada individu-individu sebagai aktor utama dalam kontestasi kekuasaan dan kebijakan publik.
“Tidak penting partainya, yang penting orangnya.” Begitu kira-kira lontaran awam yang menjadi indikasi proses individualisasi ini. Dalam demokrasi liberal, di mana politik tidak berbeda dari pasar, terjadi kompetisi dalam perebutan kekuasaan melalui dukungan publik. Namun, ketika individualisasi terjadi, kompetisi itu bergeser tidak antara lembaga/partai politik, tetapi antara individu sebagai bagian dari kelompok elite politik.
Mengapa politik Indonesia mengalami proses individualisasi? Jawaban pertama terkait dengan sistem kepemiluan. Di dalam pemilihan anggota legislatif, misalnya, sosok calon anggota legislatif muncul sebagai pilihan mengalahkan pilihan partai yang mengusung. Begitu juga dengan pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden secara langsung. Publik kurang peduli pada partai yang ada di balik sang calon, tetapi lebih pada sosok sang kandidat.
Proses individualisasi politik menjadi semakin kuat ketika partai politik gagal menunjukkan kinerja positif untuk publik. Alih-alih memenuhi harapan dan kepentingan publik, partai-partai politik lebih sibuk berkongkalikong demi kepentingan elite-elite partai.
Gejala individualisasi atau yang sebenarnya bisa disebut depolitisasi mempercepat penurunan kepercayaan publik terhadap partai politik. Konsekuensinya tidak kecil, karena rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik akan berkorelasi terhadap rendahnya tingkat partisipasi politik. Ketika tingkat partisipasi politik makin rendah, kian mudah pula demokrasi dibajak oleh kekuatan-kekuatan antidemokrasi melalui partai politik.
Karena itu, keputusan Ahok meninggalkan Partai Gerindra sangat disayangkan. Partai itu justru membutuhkan sosok seperti Ahok untuk menjadikannya sebagai partai modern yang berbasis meritokrasi. Akan jauh lebih baik jika Ahok tetap di Partai Gerindra dan menjadi pendorong perubahan dari dalam.
Pada akhirnya, kecenderungan Ahok untuk menjadi “kutu loncat” tidak akan punya efek signifikan bagi perbaikan kelembagaan partai politik untuk jangka panjang dan masa depan demokrasi Indonesia.
Sulfikar Amir
Dosen sosiologi di Nanyang Technological University
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar