“Adalah…perlu untuk mengingat kembali satu aksiom dari materialisme historis: bahwa perjuangan antarkelas di dunia ini pada akhirnya diselesaikan di ranah politis – bukannya ekonomi atau kebudayaan – dari masyarakat.” (Sejarawan Marxis Perry Anderson (1974) dalam Lineages of the Absolutist State, hal. 11).
MOMEN yang mendebarkan itu akhirnya selesai sudah. Setelah berbulan-bulan menunggu sembari harap-harap cemas, rakyat Yunani berhasil mengekspresikan kedaulatannya. Perundingan pemerintahan Kiri-radikal SYRIZA yang dipimpin oleh duo Alexis Tsipras dan Yanis Varoufakis sebagai Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Yunani dengan pihak Troika – Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), Uni Eropa (European Union, EU), dan Bank Sentral Eropa (European Central Bank, ECB) – yang berlangsung secara alot dan tegang itu akhirnya membuahkan hasil. Melalui referendum ekonomi yang berlangsung 5 Juli kemarin – sebuah upaya inovatif dan radikal untuk memperluas partisipasi demokratik massa di luar isu-isu politik tradisional – sekitar 61% rakyat Yunani yang menyuarakan pendapatnya dalam referendum tersebut mengatakan OXI alias TIDAK kepada paket talangan ekonomi (bailout) yang mengedepankan kebijakan pengetatan (austerity) neoliberal ala Troika.
Kemenangan ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa bukan hanya bagi rakyat Yunani tetapi bagi seluruh rakyat pekerja dan gerakan-gerakan progresif di berbagai belahan dunia yang lain. Pencapaian ini menjadi penting karena ini menandakan kembalinya gelombang perlawanan kepada kapitalisme-neoliberal dengan berbagai moda ekspansi dan tatanan ekonomi-politiknya yang semakin ekspansif dewasa ini. Pencapaian ini juga memiliki dampak dan implikasi yang signifikan bagi masa depan politik rakyat pekerja di berbagai tempat lain. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari dan memahami secara baik bagaimana gerakan rakyat pekerja di Yunani yang menemukan artikulasinya melalui SYRIZA dapat membangun perlawanan mereka dan menerapkan agenda-agenda mereka secara cukup sukses dalam ranah kebijakan publik.
Sejarah politik di Yunani merupakan sejarah yang penuh pergolakan. Di masa-masa ‘turbulensi politik’ Yunani, yang kira-kira berlangsung menjelang Perang Dunia ke-II sampai dengan demokratisasi di tahun 1970an. Pertentangan di antara kubu Kiri dan Kanan yang ditambah dengan iklim politik internasional yang ekstrim berupa nuansa konfliktual dalam konteks anti-Fasisme dan Perang Dingin semakin mempertajam polarisasi politik di dalam negeri. Selama bertahun-tahun, kelompok-kelompok sayap Kanan mendominasi politik dan kebijakan publik di Yunani, sampai dengan liberalisasi politik di tengah dekade 1970an dan merebaknya kembali gerakan massa setelahnya. Alhasil, agenda-agenda dan organ-organ politik Kiri – mulai dari Kiri-reformis sampai dengan Kiri-radikal – mulai kembali mendapat panggung dalam politik Yunani.
Sampai kemudian Yunani bergabung dalam Uni Eropa (EU). Sebagaimana negara-negara anggota EU lain, Yunani harus ‘menyerahkan’ sebagian ranah kedaulatannya kepada institusi-institusi EU. Beberapa institusi tersebut dapat dikatakan cukup demokratik dalam artian mereka mengakomodir partisipasi massa dalam penyusunan lembaganya dan penerapan kebijakan produk lembaga atau institusi tersebut – seperti misalnya Parlemen EU. Tetapi tidak sedikit juga institusi-institusi EU yang cenderung ‘teknokratis’ dalam artiannya yang pejoratif, yang melihat politik, ekonomi, dan perkara kebijakan publik sebagai persoalan teknis semata dan akibatnya cenderung skeptis terhadap partisipasi dan kemampuan massa rakyat dan mencoba membatasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Almarhum Peter Mair (2015) dalam karya anumertanya, Ruling the Void: The Hollowing of Western Democracy, mencatat bagaimana kecenderungan ‘teknis’ tersebut semakin mencabut politik dan kebijakan publik dari ranah rakyat menjadi ranah elit, lebih tepatnya sekelompok elit yang menjadi ‘kelas politik profesional’ yang memiliki berbagai kewenangan yang ekstensif dalam banyak hal di tengah-tengah kurangnya kontrol dan partisipasi publik terhadapnya.
Untuk kasus Yunani, akibat dari teknokratisme neoliberal yang mengatasnamakan ‘kepentingan kawasan EU’ ini sangat fatal: sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya, kebijakan reformasi ekonomi dengan tendensi austerity yang sangat kencang pasca Krisis Finansial Global 2008 telah membawa Yunani ke dalam jurang kemelaratan dan perampasan yang tak berujung – kontraksi ekonomi yang tak berkesudahan, angka pengangguran yang terus bertambah, kemiskinan yang terus merebak, gaji yang terus turun dan makin tak berharga, dan akhirnya masalah-masalah sosial yang makin merebak, mulai dari kesulitan akses layanan kesehatan dan naiknya tingkat tunawisma.
SYRIZA menemukan momentum politiknya dalam konteks ekonomi-politik yang carut marut seperti itu. Tentu SYRIZA tidak lahir dari suatu kevakuman historis; ia lahir ketika organ-organ politik Kiri tradisional di Yunani seperti Partai Komunis Yunani (KKE) tergagap-gagap menghadapi perubahan zaman dan di saat yang bersamaan ada gelombang perlawanan yang dimotori oleh berbagai organisasi massa dan gerakan sosial di Yunani yang semakin merebak dan militan dan membutuhkan suatu artikulasi politik, suatu artikulasi elektoral dalam bentuk partai Kiri-radikal, partai sosialis-radikal, yang inisiasinya dimulai di tahun 2001 dan berlangsung hingga sekarang.
Dalam konteks perundingan lima bulan yang alot kemarin, satu hal yang secara jitu ditangkap oleh SYRIZA dan karenanya membuat Troika kesal setengah mati adalah ini: paket bailout dan austerity Troika bukanlah sekadar kebijakan ekonomi yang bersifat ‘teknis’ dan ‘bebas nilai’ – kebijakan tersebut sesungguhnya juga bersifat politis. Dengan kata lain, paket penyelematan ekonomi yang disodorkan oleh Troika kepada Yunani sesungguhnya merupakan suatu usulan kebijakan dengan agenda politik sendiri. Bahkan Bank Sentral Eropa (ECB), terlepas dari berbagai dalih ‘teknokratis’nya, sesungguhnya adalah suatu institusi dengan agenda politik tersendiri. Mark Weisbrot (2015), ekonom dan direktur Center for Economic and Policy Research yang berbasis di Washington DC, menjabarkan bahwa sesungguhnya ECB memiliki berbagai opsi kebijakan alternatif, termasuk kebijakan yang masih mempertahankan beberapa paket kesejahteraan (welfare policies) yang dapat membantu warga biasa menghadapi gempuran krisis ekonomi, tetapi alih-alih memilih opsi tersebut, ECB memilih untuk ngotot menerapkan kebijakan austerity secara ekstrim di Yunani.
Sesungguhnya ini merupakan sebuah bentuk penjajahan ekonomi dan pembajakan neoliberal atas otonomi dan kedaulatan politik dan ekonomi rakyat pekerja di Yunani. Menghadapi tekanan dari sana-sini, baik dari Troika maupun dari berbagai pihak lain di Yunani, termasuk faksi-faksi dalam partainya sendiri, Tsipras melancarkan dua strategi – dua strategi yang menurut hemat saya tepat sasaran dan efektif. Pertama, ia memiliki Yanis Varoufakis – sang ekonom cerdas, provokatif, dan badass tersebut – sebagai Menteri Keuangannya. Sebagai seorang ekonom yang amat terbiasa dengan model-model matematik dan ekonometrik serta familiar dengan berbagai bahasa dan istilah ekonomi, Varoufakis berhasil berunding secara cukup sukses dengan Troika dan pemerintahan-pemerintahan pro-Troika, seperti administrasi Merkel di Jerman dan Hollande di Perancis, not to mention the fact that his badass style threatens these folks. Kedua, ini langkah yang tidak kalah dan bahkan justru lebih penting, administrasi SYRIZA melihat persoalan ekonomi yang pelik ini sebagai sebuah persoalan nasional yang penting, dan karenanya perlu diangkat sebagai sebuah isu dalam referendum nasional dengan partisipasi massa seluas-luasnya. Strategi ini bukan saja memperluas partisipasi demokratik massa secara radikal, tetapi juga menantang diktum utama, logika utama dari proyek kapitalisme-neoliberal yang berbaju ‘demokratik’: bahwa ekonomi dan politik merupakan dua domain yang terpisah, di mana ‘demokrasi’ hanya berlaku bagi domain yang kedua dan tidak cocok diterapkan ke domain yang pertama karena terlalu ribet dan berisiko. Sejatinya, ini adalah sebuah bentuk tantangan dan gugatan yang serius bagi salah satu ‘rukun iman’ kapitalisme-neoliberal – sebuah rukun yang ternyata, sebagaimana dibuktikan oleh rakyat Yunani, hanyalah sebuah tameng ideologis untuk menjustifikasi proyek-proyek ekspropriasi neoliberal dengan cita rasa ‘Eropa’.
Berkaca dari pengalaman SYRIZA dan rakyat Yunani baru-baru ini, apa saja yang dapat kita pelajari? Pertama, sekali lagi tentu saja pencapaian ini perlu diapresiasi terutama di tengah-tengah langkanya kemenangan gerakan rakyat akhir-akhir ini. Kedua, tetapi bukan berarti bahwa kita sama sekali tidak bisa mengkritik proyeksi politik ini – fakta bahwa kebijakan ekonomi SYRIZA dalam banyak hal masih berbau Keynesian dan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan agenda-agenda sosial demokrasi dan negara kesejahteraan di Eropa Barat pasca Perang Dunia ke-II menunjukkan bahwa ruang dan ranah struktural bagi rakyat pekerja dan gerakan Kiri untuk mewujudkan agenda-agendanya sesungguhnya masih terbatas, dan kita memerlukan strategi-strategi politik lain yang lebih inovatif, jitu, dan efektif untuk mewujudkan transisi menuju sosialisme yang demokratik dan partisipatoris. Ketiga, kemenangan program OXI di Yunani lagi-lagi menunjukkan bahwa ilusi teknokratisme dan separasi ranah politik dan ekonomi ala kapitalisme-neoliberal sesungguhnya lebih mirip sebuah dogma alih-alih hipotesa yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, dan karenanya dapat dipreteli dan diblejeti secara menyeluruh, sebagaimana dilakukan oleh SYRIZA dan rakyat Yunani. Karenanya, pembongkaran ilusi bahlul semacam itu tetap perlu menjadi satu agenda ilmiah dan politik utama bagi gerakan rakyat pekerja di seluruh dunia. Keempat, sebagaimana disebutkan oleh Perry Anderson di atas, pengalaman Yunani menunjukkan bahwa perjuangan kelas, termasuk perjuangan di ranah ekonomi, pada akhirnya membutuhkan intervensi dan organisasi politik yang kuat dan efektif. Terakhir, dan mungkin yang terpenting, pengalaman Yunani menunjukkan bahwa visi emansipatoris dan egalitarian dari gerakan rakyat pekerja selalu mensyaratkan suatu upaya pembangunan pengetahuan yang terbuka, ilmiah, dan demokratik.
Fakta bahwa sesungguhnya warga Yunani telah biasa berlawan secara politik dan memiliki jam kerja yang paling panjang di Eropa – suatu gambaran yang jauh berbeda dengan gambaran esensialis dan borderline-racist atas Yunani sebagai negara tourist trap dengan administrasi tak becus dan rakyat yang malas karena kebanyakan main-main dan tidur siang – menunjukkan bahwa proyek politik emansipatoris-radikal hanya akan berhasil dengan basis pengetahuan yang valid. Adalah suatu hal yang menyedihkan bahwa masih banyak miskonsepsi, kesalahpahaman, dan pemberitaan yang misleading mengenai krisis Yunani di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan kita di Indonesia masih banyak, dan cara terbaik untuk bersolidaritas dengan rakyat Yunani adalah dengan membangun basis pengetahuan dan gerakan yang valid dan solid demi cita-cita masyarakat yang betul-betul bebas dan egalitarian.
Kedepannya, tugas kita masih banyak, dan perjalanan kita masih panjang. Tetapi, tidak ada salahnya untu bersuka cita sejenak, menikmati manisnya buah perjuangan.***
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitterland dengan id @libloc
Sumber: Indoprogress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar