Di desa, saya punya dua teman. Yang satu Jiwo namanya, lainnya Tejo. Nasib mereka berbeda. Posisi mereka tidak sama. Cara orang banyak memandang dan menilai mereka juga unik.
Misalnya dalam pergaulan. Kalau Jiwo terlihat di warung, duduk di sisi seseorang yang dikenal suka maling, maka orang menyebut Jiwo adalah temannya maling, punya rancangan kolusi untuk maling, dengan kata lain Jiwo dianggap juga seorang maling. Contoh lain kalau Jiwo pada suatu siang tampak diboncengkan oleh sepeda motor Pak Lurah, maka orang menganggap Jiwo sudah direkrut oleh Pak Lurah, sudah berkongkalikong dengan Pak Lurah, sudah berkhianat kepada sebagian penduduk yang kebetulan pernah disusahkan hidupnya oleh Pak Lurah.
Adapun nasib Tejo berbeda. Kalau ia akrab dengan maling, orang menyimpulkan itu adalah taktik untuk menginsafkan maling. Kalau Tejo jalan runtang-runtung dengan tukang renten, itu adalah bagian dari strategi makro politik perekonomian Tejo. Kalau Tejo pagi hari bercengkerama dengan buruh-buruh di gardu, sorenya dijamu di rumah Pak Lurah — orang menyimpulkan Tejo adalah seorang yang kosmopolit, seorang demokrat sejati dan arif, yang mau bergaul dengan siapa saja.
Ada kemungkinan, jika kelak Jiwo masuk sorga, orang akan menyebut itu adalah penyelundupan, atau sekurang-kurangnya Jiwo telah menyogok agar bisa masuk sorga. Sedangkan kalau Tejo masuk neraka, itu adalah strategi untuk menghindari sikap takabur bahwa ia sesungguhnya berhak masuk sorga. Juga Tejo sengaja menemani orang-orang menderita di neraka.
Sumber: CakNun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar