Kamis, 16 Juli 2015

Melupakan Maaf dan Memaafkan Lupa

LIMA PULUH tahun silam, sekurang-kurangnya 1 juta orang tewas dan hilang di tangan militer Indonesia dan ormas-ormas sekutunya.

Seribu Sembilan Ratus Enam Puluh Lima. Lima puluh kali Lebaran, lima puluh kali halal bi halal, lima puluh kali maaf-maafan. Orang-orang seperti Soeharto dan Sarwo Edhie sudah seharusnya tak perlu minta maaf. Selain kita sudah memaafkan mereka kurang lebih lima puluh kali, dosa-dosa mereka kepada 1 juta korban—Sarwo percaya 3 juta—otomatis terampuni asalkan mereka ikhlas berpuasa. Malah, bagi Anda yang percaya bahwa keduanya adalah utusan langit yang mengemban tugas suci menyelamatkan bangsa dari ancaman-ancaman komunis, Anda dipersilakan membayangkan Sarwo dan Harto sedang minum khamr yang menganak sungai di surga, sementara 1 juta yang lainnya teronggok di kerak neraka setelah gagal menyeberang Sirathal Mustaqim. Sial betul jadi komunis: di dunia diazhab pasukan Sarwo, di akhirat dijamin masuk neraka paling bawah.

Sebaliknya kabar baik untuk si agen pengirim azhab: jika Anda berpuasa sebulan penuh dengan keikhlasan prima, Anda akan selamat dari siksa akhirat. Anda bisa sesuci bayi yang baru lahir. Bahkan, boleh jadi Anda dijamin langsung lancar berbahasa Arab manakala Malaikat Munkar-Nakir bertanya ‘Man Rabukka,’ alias ‘Siapa Tuhanmu?’

Bagi Anda yang sulit memaafkan, melupakan kesalahan orang lain memang sangat sulit. Tapi saya sarankan, jika Anda terus-terusan tak bisa berdamai dengan keparat yang membuat Anda dan tujuh turunan Anda hidup susah, ingatlah yang baik-baiknya saja. Seperti titah Gali Pelarian Kemusuk dalam ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’: ‘Mikul Dhuwur Mendem Jero’, ‘meninggikan kebaikan keluarga dan menutupi yang buruk-buruknya.’ Jadi, lupakanlah bahwa Cendana membuat kehidupan jutaan orang blangsak dengan cap ‘tidak bersih diri,’ karena yayasan-yayasan Madame Tien rajin menyantuni yatim-piatu, janda-janda miskin, dan anak terlantar. Toh, kita tidak hidup sendirian—harus saling menyantuni, meskipun yang mereka rampas dari kita jutaan kali lebih banyak daripada yang kita terima.

Bahkan buat Anda yang tak punya yayasan tapi cukup berduit, beramal rupiah sebesar-besarnya sangat dianjurkan. Tak usahlah Anda peduli dengan rekan Anda yang di-PHK sebelum lebaran tanpa THR, atau bawahan Anda yang kedua tangannya dibabat mesin pabrik, karena urusan beramal adalah perkara akhirat. Anda mungkin tak tahu kemana sumbangan Anda bermuara, tapi Anda memang tak perlu sungguh-sungguh tahu itu, karena sudah hakikatnya investasi surgawi Tuhan yang urus, entah itu diwakili bank syariah, ulama bayaran Saudi, atau da’i tamatan pildacil.

‘Melalui dosa kita bisa dewasa,’ demikian kata penyair Subagio Sastrowardoyo. Nah, kalau dosa sudah bejibun tapi Anda tak kunjung dewasa, sedekahlah yang banyak. Ingat, ampunan dari langit tak pernah surut, bahkan di luar bulan suci. Perbuatan mulia selama sebelas bulan lainnya pun bisa mengikis dosa-dosa di masa lampau, sampai-sampai Anda tak butuh kedewasaan lagi. Jadi, jika Anda pernah membakar hidup-hidup ratusan warga kampung Talangsari atau memberondong rombongan tukang protes di Tanjung Priok, Anda cuma perlu minta maaf dan bayar duit ganti rugi. Cukup santuni keluarganya, sekolahkan anak-anaknya, carikan pekerjaan untuk sanak-saudara yang menganggur. Anda tak perlu bersusah-payah merusak nama baik kesatuan Anda dengan bersilat-lidah di pengadilan—buat apa? Memangnya nama baik itu masih ada?

Manusia pada dasarnya terlahir suci; jika ia jadi pembunuh, itu bukan lantaran dia ‘melaksanakan perintah atasan’, tapi karena sembahyangnya kurang, sehingga gampang dibisiki setan. Jika dia menolak mengakui kesalahan-kesalahannya, tentulah bukan gara-gara diintimidasi lembaga yang menaunginya, tapi karena telinganya dikencingi iblis, sampai-sampai kedap adzan dan tak mampu menangkap suara-suara kebenaran. Dan jika dia belum bertobat, nah, mungkin saja dia belum dapat hidayah. Makanya, sudah selayaknya kita senantiasa membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Itulah tanda kesalehan mutlak. Teladanilah Mahkamah Konstitusi yang pada bulan barokah ini mengizinkan narapidana kelas berat untuk ikut pilkada dan menghalalkan politik dinasti.

Tiap tahun, beberapa kawan saya sering mengulangi iklan Pertamina yang muncul saban kali Lebaran. Dalam iklan itu, seorang petugas pom bensin mengatakan: ‘Kita mulai dari nol lagi ya…’

Semenjak iklan ‘mulai dari nol lagi’ itu, agaknya jargon ‘memaafkan tanpa melupakan’ layak dibuang ke keranjang sampah sejarah.

Hikmah Lebaran 2015: bangsa Indonesia mudah melupakan maaf dan memaafkan lupa.***

Sumber: Indoprogress

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...