Jumat, 24 Juli 2015

Memencet Remot Menetapkan Pilihan Hidup

…hei // kau yang di dalam kaca // tunjukkan padaku // isi dunia yang ku tak tahu // tolong // tolong // katakan segera…
Orang Dalam Kaca - God Bless

Manusia terbebas dari tempurung ketidaktahuannya lewat buku dan surat kabar. Itu dulu. Sekarang, televisi turut memainkan peran itu. Dalam kotak berkisar belasan hingga puluhan inci itu, kita bisa menyaksikan manusia, hewan, tumbuhan, dan tempat-tempat dalam ukuran kecil dengan segala problema dan kelakuannya, sekadar untuk menjadi sebuah cara memperoleh pengetahuan. Setidaknya dapat digunakan sebagai bahan dalam melakukan a small talk.

Adanya Ranah Privat dan Publik

Memang tidak dipungkiri jika lewat televisi orang bisa banyak tahu tentang isi dunia. Masalahnya adalah, isi dunia yang mana yang orang perlu tahu? Slamet naksir Fatimah, Fatimah ada main dengan Urip, dan Urip yang selingkuh dengan Lastri adik Slamet jelas termasuk isi dunia. Malah bisa dianggap lebih dari itu, sebab kejadian-kejadian yang membuka urusan pribadi seseorang, entah itu soal kisah asmaranya maupun utang-piutangnya, menarik buat diikuti. Semakin pilu akhir cintanya dan bertambah kuat cekikkan utangnya membuat sebuah peristiwa jadi lebih berwarna. Pastinya, kalau semua itu menimpa orang lain dan sambil selonjor santai kita menontonnya tanpa perlu pusing untuk terlibat. Tapi apa gunanya tahu semua itu dan apa ruginya bila tidak tahu?

Ada lagi isi dunia yang lebih menyangkut hidup manusia sebagai makhluk sosial. Misalnya tentang bagaimana hidup dengan sesama dalam negara, bagaimana mengenyam pendidikan yang bermutu dan terjangkau, bagaimana mengelola negara ini guna menggapai cita-citanya, dan lain-lain. Sebuah ranah atau wilayah tempat individu-individu membahas secara khusyuk kesepakatan-kesepakatan yang telah mereka buat dalam bermasyarakat dan tindakan-tindakan untuk mewujudkannya. Barangkali orang tidak turut serta secara langsung dalam pembuatan kesepakatan dan pelaksanaan tindakannya, namun dari semua itu tiap orang tetap terkena akibat atau dampaknya. Untuk isi dunia yang jenis ini orang perlu tahu, sebab setiap orang berdaulat atas hidupnya sendiri sehingga apa saja yang dibuat dan diadakan pihak lain, serta berdampak bagi dirinya harus atas izin dan persetujuannya.

Dari pengelompokkan di atas, terlihat adanya ranah privat dan ranah publik dalam hidup keseharian sehingga kesadaran orang terhadap kenyataan itu sangat diharapkan. Apalagi terdapat peristiwa-peristiwa yang hanya tampaknya saja masuk ke dalam ranah satunya, padahal sesungguhnya berdiri di ranah yang lainnya. Sebagai contoh adalah kekerasan, baik itu fisik, seksual, dan verbal, yang terjadi dalam rumah tangga. Meskipun tempat kejadian perkara tersebut dalam wilayah pribadi, namun perbuatannya termasuk dalam ranah publik sehingga pelakunya harus dikenakan sanksi hukum yang berlaku. Contoh lainnya adalah perselingkuhan seorang pejabat negara. Soal cinta memang urusan pribadi seseorang. Tapi bila hal itu dilakukan oleh pejabat dengan memanfaatkan fasilitas yang diperolehnya, maka itu pun masuk ke dalam ranah publik dan menjadi urusan umum.

Perlu Pembedaan Kedua Ranah

Perbedaan antara ranah privat dengan ranah publik, mengakibatkan pemisahan persoalan yang bersifat privat dan yang bersifat publik menjadi penting. Pemisahan itu membuat tidak seluruh isi dunia perlu ada dalam layar kaca karena tidak semuanya bermanfaat bagi pemirsa. Pembedaan ranah privat dengan ranah publik juga dapat dijadikan dasar bagi pengelola stasiun televisi dan pemirsa dalam menentukan tayangan-tayangan yang diproduksi dan dikonsumsi masyarakat. Lantas pertanyaan selanjutnya adalah, acara televisi macam apa yang perlu dan boleh ada dalam hangatnya sebuah ruang keluarga? Pertanyaan ini bisa terjawab bila orang tahu untuk apa mereka menonton televisi.

Menurut saya, acara-acara televisi hanya salah satu sarana bagi manusia dalam berelasi dengan yang di luar dirinya. Relasi yang sengaja dibuat agar ia mau dan mampu membuka diri sehingga dapat berjumpa dengan yang lain tanpa prasangka karena berhasil melihat mereka sebagai kawan seperjalanan dalam hidup. Sebuah kemauan dan kemampuan yang justru menjadi syarat supaya orang makin mengerti dan memahami dirinya sendiri, peristiwa-peristiwa hidupnya, dan Penciptanya. Dengan demikian, orang menonton televisi agar dapat terus membina hubungan dengan siapa dan apa saja yang membuatnya tidak merasa sendirian menggulati hidup dan seluk-beluknya di dunia ini. Oleh karena itu, tayangan televisi yang ada hendaknya adalah acara-acara yang memungkinkan pengertian dan pemahaman di atas terwujud.

Dengan kata lain, televisi (melalui program-programnya) harus menghadirkan hal-hal yang terjadi di ranah publik dalam rumah. Lewat tontonan yang bersifat publik dalam layar kaca, orang sebagai pemirsa dapat tahu tentang peristiwa-peristiwa dan para pelakunya serta situasi-situasi apa saja yang bersentuhan langsung dengan kehidupannya. Pengetahuan yang memungkinkan siapa pun untuk memiliki orientasi dalam hidup bermasyarakat dan memampukannya untuk berpendapat serta bersikap otentik terhadap segala sesuatu.

Hal sebaliknya terjadi. Kalau televisi terus memberi tempat pada acara-acara yang bersifat privat, maka mata pemirsanya pun jadi rabun untuk melihat adanya perbedaan antara ranah privat dengan ranah publik. Ini misalnya tergambar dalam tayangan yang mengedepankan urusan pribadi seseorang semata, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan hidup bersama.

Betapa tidak, ambil misal, urusan Urip yang mendekati Fatimah agar dapat memacari Lastri dibuat sebagai acara televisi. Penayangan bagaimana Urip harus jatuh-bangun mengatasi problemanya dalam soal asmara, dipaksakan menjadi urusan para pemirsa pula. Di sini tampak jika tontonan semacam itu bukan hanya gagal memisahkan yang privat dengan yang publik, tapi juga menjejalkan dengan kasar ranah privat ke dalam ranah publik begitu saja. Isi acaranya terkesan main-main namun hasilnya bukan main…negatifnya!

Penyatuan yang privat dengan yang publik, baik disadari maupun tidak, jelas berbahaya dalam konteks kehidupan sosial manusia. Penggabungan kedua wilayah tersebut, secara pasti, membuat ranah pribadi seseorang dianggap boleh menjadi urusan banyak orang. Sebagai contoh soal kebebasan beragama dan beribadah yang jelas termasuk ke dalam wilayah pribadi seseorang. Kebutaan dalam melihat dan kelumpuhan dalam memisahkan wilayah privat dengan wilayah publik, menjadikan sekelompok orang merasa boleh dan harus memaksakan apa yang mesti diyakini oleh pihak lain di luar mereka. Dengan jalan kekuatan dan kekerasan, mereka menentukan yang baik dan buruk bagi kehidupan liyan. Puncaknya adalah pemusnahan siapa dan apa saja yang berbeda dalam hidup bersama.

Tidak hanya itu. Penggabungan ranah privat dengan ranah publik juga memperbesar kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang maupun sekelompok orang yang mendapat mandat dari rakyat untuk mengatur urusan umum. Ranah publik yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak dianggap sebagai urusan pribadi dan kelompoknya semata. Akibatnya adalah, meraja-lelanya tukar-menukar kepentingan pribadi berkedok kepentingan umum, meski itu berarti harus mengorbankan kehidupan banyak orang di luar mereka.

Hal ini ditandai dengan tak kunjung tuntasnya kasus-kasus kejahatan besar yang terjadi dalam kehidupan bernegara seperti kasus perampokan uang rakyat, mafia hukum dan pajak, kekerasan yang mengatasnakaman agama, kerusakan lingkungan akut akibat ulah korporasi, dan sebagainya. Semua barter ini berpangkal dari penggabungan yang privat dengan yang publik dan berujung pada kesengsaraan rakyat belaka. Orang bijak bilang, kebodohan yang menjelma dalam perbuatan selalu bersifat sosial, dan semakin tinggi jabatan publik pelakunya, maka semakin banyak pula korbannya.

Pengguna Remot Aktif

Jadi jelas, bila tayangan televisi harus dapat membuat pemirsanya semakin cerdas untuk bisa tahu, dan kemudian mengerti apa yang terjadi dalam ranah publik kehidupannya, sehingga mampu menjalin kaitan segala yang terjadi tersebut dengan dirinya. Selain itu, pemirsa yang cerdas dapat diharapkan berperan sebagai pengawas bagi institusi publik yang ada. Mereka diharapkan turut mengkoreksi atas segala penyimpangan yang dibuat pejabat publik. Sebuah partisipasi yang menguntungkan kedua belah pihak, bukan?

Kita sebagai pemirsa pun harus tegas berkata tidak terhadap semua acara yang menjual ranah privat seseorang. Dengan begitu, kemampuan dan kemauan untuk membuat pilihan atas tayangan televisi apa saja yang boleh masuk ke dalam ruang keluarga, dapat diartikan sebagai perjuangan politik bagi terciptanya alternatif pilihan hidup. Sebuah remot TV di tangan pemirsa yang paham, akan menjadi alat tawar-menawar yang ampuh dengan para pengelola stasiun televisi, berkaitan dengan tontonan yang mereka simak dan sajikan.

Pemirsa yang tahu mengapa ia memantengi kotak ajaib akan mengharuskan orang-orang yang berkecimpung di stasiun televisi untuk sungguh-sungguh memperhatikan siaran-siaran yang ditayangkannya. Pengelola stasiun televisi tentu tidak mau bila channel mereka dibuang dari ruang-ruang keluarga yang hangat. Sebab penghilangan dengan sengaja saluran yang dianggap tak berguna itu merupakan bunyi lonceng kematian buat industri pertelevisian. Dan bagi pemirsa yang matang, tidak lagi berlaku pepatah “elu jual gue beli”, tapi yang ada, “elu jual gue pilah… pake remot!”

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...