Sabtu, 04 Juli 2015

Surat Cinta Buat Pahlawan Pertelevisian

Mendadak saya ingin mengomel seusai menonton penayangan perdana sinetron “Kisah Keluarga Parikin” di DAAI TV pada 1 April 2010. Tapi saya bingung harus mengomel ke mana. Jadi saya sebut saja nama-nama Anda, para tokoh dan lembaga yang merupakan pahlawan pertelevisian yang saya kagumi itu.

Duhai tersayang Komisi Penyiaran Indonesia, Raam Punjabi, SCTV, Bunga Citra Lestari, Manoj Punjabi, Helmy Yahya, Menkominfo, Feni Rose, Bens Leo, Dude Herlino, Ilham Bintang, Panasonic Awards, Shireen Sungkar, Leo Sutanto, ABG Nielsen Media Research, Olga Syahputra, Karni Ilyas, TPI, Uya Kuya, Rosiana Silalahi, RCTI, Tukul Arwana, dan karib-karibnya semua.

(Waduh! Kok sudah banyak sekali ya nama yang saya sebut? Padahal saya masih menyisakan banyak nama lain untuk saya sebut loh!).

Saya sebut nama Anda sekalian bukan untuk protes soal televisi, seperti apa yang dilakukan orang-orang mengenai tayangan televisi. Sebaliknya, justru saya ingin bekerjasama dengan Anda untuk membikin suatu ajang penghargaan bagi insan pertelevisian. Namun kalau takut repot, kita sisipi saja ide saya ini ke ajang yang sudah mapan dan melahirkan banyak insan televisi yang berkualitas, yakni Panasonic Awards.

Saya berharap di Panasonic Awards 2011, untuk ditambah kategori penghargaan baru, yakni Produser Terkurangajar, Sutradara Terkurangajar, dan Program Terkurangajar.

Sebentar, sebentar, biar saya jelaskan dulu. Saya tahu Anda semua kaget dengan ide gila ini. Tapi saya yakin ide ini perlu diadakan, atau setidaknya direspon dululah, kecuali kalau Anda ingin melihat tayangan televisi yang selama ini sudah Anda standarkan tersebut tidak laku lagi. Apa pasal?

Begini. Seperti yang sudah saya tulis di awal surat ini, bahwa tayangan sinetron “Kisah Keluarga Parikin”-lah yang memaksa saya mengomel, hingga akhirnya mengirimi Anda surat. Surat cinta.

Sinetron ini benar-benar kurang ajar! Garin Nugroho, sang produser, dan Sugeng Wahyudi, sutradaranya, juga kurang ajar. Saya keki dibuatnya.

Susah-susah begini, saya sengaja menyediakan waktu di depan televisi untuk menonton sinetron ini. Tapi hanya kecewa yang saya dapat karena ia amat berbeda dari sinetron-sinetron yang biasanya.

Misalnya saja, sinetron ini tayang 1 jam penuh tanpa iklan! Anda bisa bayangkan, betapa membosankannya! Betapa rindu saya terhadap iklan deterjen atau layanan telepon seluler begitu menggebu. Sungguh! Bukankah kita sudah terbiasa menikmati sinetron dengan selingan iklan yang menggoda hasrat membeli dan terbeli? Bukankah kita sudah sepakat sama-sama menjilati bokong pengiklan? Sedang si Parikin itu, berani-beraninya bertayang tanpa iklan. Jengkel saya!

Kita juga sudah sama-sama sepakat bahwa tema sinetron haruslah seputar keluarga kaya yang berebutan harta atau pasangan, tentu dengan seting di Jakarta. Kan kota modern dan metropolis, kata Anda sekalian. Eh, Sugeng Wahyudi, si sutradara, malah temanya soal perjuangan hidup seorang guru SLB. Sudah begitu, setingnya di Jawa Barat (Kuningan dan Cirebon). Pakai bahasa Sunda segala pula. Itu kan kampungan ya? Malah Mas Tukul bilang, “Ndeso!”.

Yang paling bikin saya sebal adalah aktingnya. Si Parikin, pemeran utama, dimainkan oleh Agus Kuncoro. Sedang lawan mainnya, Juju, diperankan Sita Nursanti. Tahukah Anda, mereka sama sekali tidak menampilkan standar akting yang sudah Anda bangun dengan susah payah bertahun-tahun: mata melotot membelakak kalau kaget, memaki kasar kalau marah, dan berdandan menor menjelang tidur, bahkan waktu sakit sekali pun. Sebaliknya, yang bikin saya sebal, mereka bermain sangat natural dan sangat kontemplatif dengan peran masing-masing.

Ini sudah kurang ajar sekali. Sangat kurang ajar! Masak sinetron kampungan yang masih hijau saja sudah berani mengubah-ubah standar yang ada!? Apalagi pemainnya. Wong mereka saja belum pernah dapat tawaran main iklan shampo atau menang di Panasonic Awards. Sungguh tega sekali mereka. Kurang ajar!

Soal musik apalagi. Sinetron ini tidak dibalur musik yang biasanya ada di sinetron-sinetron andalan kita yang sudah membelai manja jutaan penonton: suara simbal, suara triangle, sesi gesek rasa kibor yang gaduh dan mencekam, dan repetisi tema lagu dalam berbagai gaya, biasanya lagu anak band yang lagi ngetop. Belum lagi teknik-teknik penyutradaraan lain yang membuat saya makin jengkel terhadap si Parikin. Entah apa maunya.

Begini loh, saya cuma prihatin dan peduli dengan Anda. Anda kan sudah susah payah membangun citra sinetron, apalagi sambil menunaikan tugas mulia mencerdaskan masyarakat, tentunya tidak adil kalau tiba-tiba ada pendatang baru yang bermain seenak udelnya. Apalagi pakai cara mengubah-ubah standar segala. Anda bisa repot. Saya juga. Nanti malah berimbas kena kasus hukum karena dianggap mengganggu ketertiban umum, seperti buku dan musik yang dilarang.

Ya toh? Masyarakat, sama seperti saya, akan sama-sama panik. Satu kota panik, satu negara panik (tapi tenang, tidak akan menyebar ke negara tetangga seperti asap kebakaran hutan, karena kita tidak mengekspor sinetron). Masyarakat akan terombang-ambing. Mereka akan kebingungan akan definisi sinetron yang sebenarnya. Waktu kerja mereka akan habis dipakai untuk menjawab pertanyaan anak-anak mereka, “Bapak, Ibu, yang sinetron yang mana sih?”.

Kalau sudah begitu, saya takut kita akan sibuk membicarakan sinetron. Kolom opini di koran dibanjiri diskusi sinetron oleh para pakar. Universitas dan sekolah sibuk menggelar seminar dan lokakarya demi menemukan arti sinetron. Seluruh departemen pemerintahan diberikan kewajiban baru agar setiap pagi sebelum memulai bekerja untuk mendiskusikan definisi sinetron terlebih dahulu. Kalau ini terjadi, semua akan repot dan lupa bekerja. Bisa-bisa, Gayus Tambunan yang baru tertangkap akan kabur lagi (atau tertarik gabung di tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam menjelaskan lema “sinetron”?).

Jadi sebelum itu semua terjadi, dan demi menghentikan laju sinetron-sinetron macam “Kisah Keluarga Parikin”, saya usulkan, segera saja mulai setiap rumah produksi dan lembaga pertelevisian mendiskusikan ide saya untuk menambahkan kategori baru di Panasonic Awards 2011. Tentunya dengan “pemenangnya” yang sudah kita atur bersama: Garin Nugroho sebagai Produser Terkurangajar, Sugeng Wahyudi sebagai Sutradara Terkurangajar, dan Kisah Keluarga Parikin sebagai Program Terkurangajar.

Segera tahun depan kita bekerja! Tapi kalau bisa digelar tahun ini, kenapa tidak?

Salam hangat saya,
Pendukung sejati Anda

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...