DALAM sebuah konflik, kebenaran adalah korban pertama. Demikian dijelaskan Philip Knightley, wartawan penulis buku The First Casualty: A History of War, Correspondents and Propaganda (2000). Pangkalnya, pelbagai berita dan kabar burung, baik yang telah disensor maupun tidak, melesat lebih cepat daripada fakta yang sebenarnya terjadi, untuk memenuhi keingintahuan orang-orang di luar wilayah konflik.
Penjelasan Knightley tersebut masih relevan untuk melihat berbagai pemberitaan mengenai kasus pembubaran salat Id dan diikuti pembakaran kios serta musala di Karubaga, ibu kota Tolikara, Papua, beberapa hari lalu. Itu merupakan peristiwa yang menyedihkan bukan hanya karena momennya terjadi tepat ketika umat Islam sedang merayakan Idul Fitri, melainkan juga menunjukkan betapa latennya konflik yang melibatkan umat beragama di Indonesia. Bahkan, ia bisa melanda daerah yang selama ini dikenal jarang mengalami konflik berlatar belakang agama.
Hal lain yang juga menyedihkan, pemberitaan media yang simpang siur dan tendensius. Alih-alih memperjelas masalah, banyak berita media justru mengaburkan apa yang sebenarnya terjadi, dan pada tahap selanjutnya membentuk opini publik yang semakin menjauh dari pokok persoalan. Berbagai pemberitaan tersebut setidaknya menunjukkan tiga hal saling mengait:
Pertama, pelbagai media dalam jaringan (daring, online) mengambil peran yang signifikan dalam pemberitaan menit-menit pertama kerusuhan di Tolikara. Dengan momen peristiwa terjadi pagi hari, media cetak tentu hampir tidak mungkin memberitakan peristiwa dengan cepat, apalagi sebagian besar media cetak libur Hari Raya. Berita yang muncul keesokan harinya tentu sudah “basi.” Sementara media elektronik televisi tidak menjadikan peristiwa tersebut sebagai berita utama. Kebanyakan hanya menampilkan pesan di running text. Perlu diingat, kejadian tersebut terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua, yang secara geografis sulit dijangkau. Belum lagi ditambah catatan bahwa pada waktu “normal” saja, tidak sembarang wartawan bisa masuk dan melakukan peliputan di Papua.
Kedua, kecepatan bisa mengabaikan verifikasi, akurasi, dan kedalaman berita. Karakter utama media daring adalah kecepatan pemberitaan. Namun, di situ sekaligus terdapat kelemahan mendasar. Berita-berita yang mengutamakan kecepatan sulit mengikuti dinamika peristiwa yang terjadi. Yang ada, banyak media mewawancarai sumber-sumber yang jauh dari kejadian, dengan pendapat yang bertolak belakang (cermati, misalnya, pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang speaker atau Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan tentang pembakaran kios para pendatang) yang justru memperkeruh opini. Hal tersebut memunculkan apa yang disebut Ashadi Siregar realitas psikologis, realitas yang timbul dari omongan orang-orang yang dianggap sebagai “pakar.”
Ihwal kedalaman berita, hasrat menampilkan kecepatan membuat banyak media memuat berita yang tidak memenuhi syarat mendasar agar bisa disebut sebagai berita. Saya pertama kali membaca peristiwa tersebut dari sebuah artikel di situs web Metro TV. Judulnya: "Saat Imam Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musala di Tolikara.” Arrtikel itu tidak jelas juntrungan-nya dengan judul yang dramatis.
Tidak jelas karena sumber beritanya kabur, sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, isu dan momennya sangat sensitif serta bisa membangkitkan prasangka. Kalaupun bisa disebut berita, itu adalah berita yang sangat buruk. Ia mengejar kecepatan memberitakan sebuah peristiwa, tetapi minus verifikasi. Belakangan, judul artikel tersebut diubah menjadi "Amuk Massa Terjadi di Tolikara" tanpa disertai keterangan tambahan. Mengacu pada pedoman pemberitaan media siber, setiap berita yang belum lengkap, maka media bersangkutan mesti mencantumkan keterangan ihwal proses verifikasi. Begitu pula dengan perubahan atau ralat artikel.
Ketiga, berita-berita media daring yang minim verifikasi, namun cepat tersebar menjadi arsenal provokasi kebencian. Ia semakin efektif karena dipelintir oleh situs-situs intoleran. Tak heran jika seruan-seruan jihad serta provokasi konflik begitu kencang mengembus di media sosial beberapa jam setelah kejadian. Padahal, beberapa informasi masih sulit diverifikasi. Misalnya, apakah benar serangan terjadi ketika “imam sedang takbir pertama”, apakah yang “dibakar” atau “terbakar” itu “masjid” atau “musala”, kapan aparat keamanan menembak warga, dan mengapa surat edaran dari Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) seminggu sebelumnya bisa tiba-tiba tersebar secara luas di menit-menit awal kerusuhan?
Beruntung kita hidup di era internet, fakta-fakta yang ada bisa cepat diperoleh dan diberitakan. Ini sekaligus membuktikan teknologi langsung bisa menembus daerah yang secara geografis sulit dijangkau. Klarifikasi dari GIDI yang kemudian dilansir media belakangan menunjukkan bahwa kejadian pembubaran salat Id itu tidak berdiri sendiri. Ada beberapa kejadian awal yang mendahului peristiwa tersebut dari mulai surat edaran GIDI, pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan, sampai penembakan terhadap warga.
Namun, tentu saja, meski fakta-fakta terkuak dan masalah bisa didudukkan secara objektif, provokasi yang sudah disebar tidak akan bisa ditarik kembali. Daya rusaknya juga sulit dicegah, apalagi di tengah stereotip atau stigma laten terhadap Papua. Ihwal demikian memang sedikit mengherankan. Perhatian terhadap konflik tersebut jauh lebih besar, meledak tiba-tiba dengan hiruk-pikuk informasi. Sementara bencana hujan es yang terjadi sejak 5 Juli dan sekurangnya melanda tiga kabupaten, 21 kampung, dan 20.000 keluarga di Papua serta menelan sejumlah korban jiwa, justru minim perhatian.
Sebagai penutup, penyerangan orang yang sedang beribadah, dan apalagi membakar tempat ibadah, merupakan kejahatan; pelakunya mesti mendapatkan hukuman setimpal. Namun, menulis berita dengan mendramatisasi dan sensasional, menyebarkan berita dan membumbuinya dengan kebencian demi kebencian, adalah bentuk kejahatan yang lain. Bisa jadi ia tak akan memperbesar konflik saat ini; ia mengendap dan sewaktu-waktu siap disulut. Dari konflik Ambon 1999 kita belajar bahwa media menjadi salah satu aktor yang memperuncing masalah. Tentunya kita berharap hal serupa tidak terjadi di Papua. Semoga.***
Sumber: Prisma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar