Jumat, 03 Juli 2015

Media Televisi: Hasil Studi Dampak yang Layak Direnungkan

Media berpengaruh positif dan negatif: bisa bermanfaat untuk pendidikan, mendorong kemajuan, atau mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui menjadi pengetahuan penting.

Sebaliknya, media juga mempunyai pengaruh buruk dan merusak. Baik dan buruk ini bisa terjadi di tengah-tengah bangsa yang mengutamakan kebebasan, atau oleh bangsa yang, sebaliknya, melakukan pengontrolan dan tekanan berlebihan terhadap media.

Pro dan kontra terhadap kedua pendekatan ini memunculkan perdebatan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara maju seperti di Amerika dan Kanada. Di tengah-tengah situasi ini kecerdasan diperlukan untuk bisa menapis antara yang bermanfaat dan yang mudarat. Berbagai studi tentang dampak sosial media mengingatkan semua pihak untuk menilai hal-hal yang mungkin saja merugikan diri, keluarga, atau masyarakat dan lingkungannya.

Perhatian utama dalam studi dan penelitian-penelitian itu adalah siaran media yang memperlihatkan kekerasan, baik melalui adegan film cartoon sampai film-film aksi, termasuk pornografi yang disajikan melalui berbagai pendekatan hiburan, serta siaran komersial. Hasil studi dan penelitian The Canadian Paediatric Society, Kanada, misalnya, merekomendasi agar anak dibawah dua tahun tidak menonton TV lebih dari satu jam lamanya. Hasil studi American Academy of Paediatrics, USA, bahkan menyarankan agar anak-anak usia dini lebih baik fokus berinteraksi dengan kedua orangtuanya, daripada membiarkan mereka menonton televisi. Televisi juga menyerap waktu anak-anak usia 6-11 tahun; waktu yang seharusnya digunakan untuk membaca dan mengerjakan PR sekolahnya. Menurut hasil penelitian mereka, anak-anak sekolah dasar yang menonton televisi selama dua jam setiap hari prestasi akademisnya menurun, terutama kemampuan membaca.

Anak-anak pada usia ini (termasuk taman kanak-kanak) umumnya sangat menyukai aksi-aksi kekerasan dalam film-film cartoon, dan mempersonifikasikan dirinya seperti tokoh-tokoh superhero kesayangan mereka. Karenanya peran orangtua sangat diperlukan untuk jenis tontonan televisi seperti ini agar bisa me-minimal-kan aspek agresif si superhero, tetapi me-maksimal-kan aspek kreatif, serta menuntun anak-anak ke arah imajinasi yang potensial dan positif. Menurut situs Ciber College Internet Campu (www.cybercollege.com/frtv/frtv030.htm) yang di updated tanggal 6 Oktober 2007, 81% anak-anak Amerika usia 2 – 7 tahun menonton televisi tanpa bimbingan orangtua. Data menunjukkan anak-anak dari usia 2 sampai 18 tahun rata-rata menonton 200.000 adegan kekerasan di televisi, 20.000 adegan pembunuhan: 47% dari adegan kekerasan ini tidak memperlihatkan rasa kesakitan dan 58% memperlihatkan rasa sakit.

Pengaruh televisi yang merangsang keinginan anak untuk membeli (konsumerisme) demikian besar. Terutama melalui program anak-anak yang diselingi iklan komersial yang demikian gencar. Perilaku anak-anak: “… mak beliin …” banyak terbentuk dari siaran-siaran ini. Jalan keluar yang disarankan kedua lembaga di atas adalah agar mengalihkan tontonan acara anak-anak yang disiarkan stasiun TV non-komersial. Penelitian mereka juga memperlihatkan bahwa sebelum anak-anak selesai sekolah menengah atas, rata-rata mereka menyaksikan 360.000 tayangan komersial, dan ketika mereka mencapai usia 65 tahun jumlahnya bisa mencapai 2 juta. Angka ini menunjukkan betapa besarnya kekuatan media ini menjerat dan membentuk penontonnya menjadi konsumen. Di negara-nagara maju kemungkinan untuk pindah dari chanel TV komersial ke stasiun non-komersial masih memadai dibandingkan dengan negara-negara yang siaran televisinya terbatas dan didominasi oleh TV komersial. Akibatnya konsumerisme semakin subur, bahkan menggejala sebagai gaya hidup, terutama di tengah-tengah remaja kota-kota besar yang memiliki fasilitas mall dan hyper market seperti di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Ketika anak-anak beranjak ke usia remaja, mereka mulai memanfaatkan banyak waktu luangnya untuk bergaul, mengikuti kegiatan sekolah, dan menggunakan media, seperti musik, video games, komputer dan internet. Dalam laporan sebuah situs internet dari Kanada, Media Awarness Network, hiburan televisi merupakan sumber utama para remaja (usia 13-15) memperoleh informasi seksual. Perhatian mereka terhadap tayangan drama dan film televisi adalah seks, terutama pada program yang lebih banyak mengedepankan referensi visual tentang aktivitas seksual daripada dialog. Masa remaja merupakan masa yang paling penting untuk mengembangkan kepribadian dan fisik yang sehat. Kegamangan mempengaruhi kehidupan remaja ketika pada saat pertumbuhan fisik dan keinginan mengembangkan daya tariknya dibombardir oleh gambar-gambar televisi yang menyajikan kecantikan dan kerampingan yang tidak realistis melalui siaran komersialnya.

Dampak sosial penyiaran media elektronik mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak di tengah-tengah masyarakat. Di bawah ini rangkuman wilayah permasalahan dari kritikan-kritikan yang muncul sejalan dengan sejarah media ini.

Tujuh Kritikan Utama Dunia Pertelevisian


1. Televisi mereduksi nilai-nilai dan kualitas seni serta selera penonton.

Kritikan ini lebih banyak ditujukan kepada program TV di Amerika Serikat daripada di negara-negara yang lebih berorientasi kepada pendekatan paternalistik. Pemrograman acara siaran yang berorientasi pada aspek hiburan biasanya mengacu kepada apa yang paling menarik buat penonton, sedangkan pendekatan peternalistik pemrogramannya berorientasi kepada apa yang paling baik bagi penonton. Meskipun televisi Amerika diakui unggul dalam membuat program hiburan tetapi kritikan ini lebih memihak kepada program yang secara sosial diharapkan dan bermanfaat bagi kepentingan yang mendidik. Ron Whitaker, Ph.D., direktur situs pendidikan televisi Cyber College/Internet Campus menyatakan bahwa ‘… banyak negara yang menyajikan persitiwa-peristiwa mutakhir, film-film dokementer, berita yang mendalam, musik yang “bagus,” dan produksi drama yang lebih bermakna dibanding program yang ada di Amerika. Oleh karena tidak ada alternatif stasiun TV lain di kebanyakan negara-negara ini, maka orang menonton acaranya, dan hasilnya, berkembang pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa dunia, serta apresiasi yang lebih besar dan baik terhadap seni.’ Akan tetapi program seperti ini juga mempunyai kelemahan: mendikte. Apabila ada seorang individu atau sekelompok orang menentukan dan mendiktekan apa yang ‘baik’ dan apa yang ‘buruk’ untuk orang lain, maka tindakan itu melangkah ke area yang sangat berbahaya.

Pengontrolan yang dilakukan melalui penyensoran bertentangan dengan pihak yang mementingkan kebebasan, terutama di negara-negara demokrasi. Pendiktean dan pengontrolan terhadap kebebasan penyiaran adalah ciri-ciri negara otoriter atau negara yang dipimpin seorang diktator. Akibatnya, di samping memasung kebebasan, ia juga membawa kemerosotan terhadap persepsi dan daya imajinasi penonton terhadap nilai-nilai seni karena pelarangan terhadap kebebasan kreatif yang mungkin saja sangat fenomenal tetapi bertolak belakang dengan ideologi si pendikte. Sebaliknya, program yang berorientasi kepada kebebasan dan bergantung kepada penonton, pasar, cenderung tunduk memenuhi selera mayoritas penonton yang ditakar melalui sistem rating. Isu yang paling sengit diperdebatkan terhadap program-programnya adalah kekerasan dan seks. Dilemanya serial TV maupun film-film yang mengedepankan kedua isu ini justru ratingnya tinggi.

Retorika pembelaan yang berpihak kepada kebebasan ini adalah pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan terlalu keras atau terlalu seksi? Sejarah mencatat apa yang diterima dan tidak diterima mengalami perubahan yang dramatis. Di awal-awal penyiaran radio dan televisi Amerika, kata “perawan”, “hamil” bahkan kata “perut” dianggap tidak sopan oleh pendengar umum, bahkan ciuman di depan kamera dianggap sebagai pelanggaran standar moral. Sampai pada apa yang dimaksud dengan “moral” dan “amoral” permasalahan pun menjadi lebih rumit. Ini menggiring kita ke wilayah kritikan berikut.

2. Penggerusan Terhadap Standar Moralitas

Kritik tentang pengikisan atau penggerusan standar moral menyalurkan keluhan-keluhan mendasar dari masyarakat, terutama menyangkut isu kekerasan dan seksual. Kedua hal ini berkaitan erat dengan masalah pendidikan dan karakteristik demografis suatu masyarakat. Responsi publik terhadap masalah seks di media selalu berubah-ubah, bergantung kepada opini yang berkembang. Tetapi pada umumnya pandangan publik (terhadap hubungan seks diluar perkawinan atau tanpa komitmen rasa cinta), selain dosa, juga bisa menimbulkan penyakit yang mematikan, seperti AID, atau berakibat kepada kehamilan yang tidak diinginkan. Di pihak lain, dunia remaja, informasi tentang seksual bersumber dari media hiburan yang dibaca atau ditonton pada saat aktivitas sosial mereka berkurang. Terutama serial televisi maupun film-film drama yang mereka saksikan pada saat merasa bosan dan sendirian.

Menurut penelitian Kaiser Family Foundation, Kanada, tahun 1997, fokus utama produksi drama tv serial dan film remaja di Amerika dan Kanada adalah seks. Setiap episodanya menyajikan referensi visual aktivitas seksual. Potret hubungan laki-laki perempuan yang memokuskan masalah seksual ini tidak mewakili gambaran kehidupan nyata para remaja—dan pada umumnya tidak diimbangi oleh pesan-pesan yang jelas tentang norma-norma, keamanan, dan perilaku yang sehat terhadap masalah seks. Penggambaran kehidupan hubungan seks dalam siaran hiburan drama tv/film ini meningkat sampai pada titik dimana hal tersebut dianggap hampir “normal” di televisi maupun di dalam film. Di Indonesia kondisi seperti ini terlihat pada sensualitas goyang dangdut di media yang intinya—sebagaimana TV komersial di Amerika—adalah untuk rating.

Begitu pula halnya adegan-adegan kekerasan berdarah dingin yang bertujuan semata-mata untuk mengangkat rating mendominasi pemrograman televisi dan film di Amerika. Kritik terhadap kekerasan ini didasari penelitian yang mengungkapkan bahwa rata-rata anak usia 18 tahun di negeri itu menyaksikan hampir 20.000 adegan pembunuhan melalui acara TV. Kebanyakan adegan pembunuhan ini dimunculkan tanpa memperlihatkan akibatnya, dan merepresentasikan tindakan penyelesaian atau “solusi” dari suatu persoalan. Dalam “kehidupan nyata” kekerasan dan pembunuhan biasanya mempunyai dampak yang besar, sangat lama dan mendalam bagi orang-orang yang terlibat, teman-teman maupun keluarga mereka. Realitas yang menyakitkan ini biasanya tidak diperlihatkan dalam film dan drama TV. Studi ini juga memperlihatkan bahwa di samping setiap tahun tingkat kekerasan di TV dan film menanjak—dengan seting tahun 2007 mencapai record yang sangat tinggi—tontonan kekerasan TV cenderung membentuk penonton “paranoid” terhadap kekerasan di lingkungannya. Mereka cenderung menjadi orang yang pada umumnya penuh rasa curiga, dan lebih termotivasi melihat lingkungan mereka “tidak aman”.

Kritikan terhadap isu moral yang sangat penting dicatat disini adalah perilaku “kebal-hukum’ yang disajikan oleh banyak program TV melalui film-film kepolisian, detektif, dan superhero. Sekalipun tampaknya sederhana bahwa tokoh kepahlawanan (orang baik) “melakukan tindakan” agar “orang jahat” diadili, tetapi konsep mengomunikasikan gagasan “bila kamu benar—atau sekurang-kurangnya kamu benar”—bisa mengabaikan proses dan prosedur hukum yang harus dilalui. Perilaku seperti ini berdampak kepada “main hakim sendiri.”

3. Mendorong Pelarian (Dari Kenyataan Hidup)

Wilayah kritikan ini ditujukan kepada perilaku menonton media. Dalam kenyataan kita memerlukan waktu santai untuk melupakan berbagai beban pekerjaan dan hal-hal yang menegangkan. Akan tetapi kita juga sering terjebak menciptakan masalah untuk diri sendiri dan menjadi keasyikan dan kecanduan melakukan apa saja, mengonsumsi makanan yang tidak sehat, bermain-main, menonton televisi, melupakan tanggung jawab kepada pekerjaan. Tipe-tipe orang yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang begitu pulang ke rumah bermalas-malas di sofa, mengambil makanan sambil nonton TV hingga larut malam dan membiarkan semua jenis siaran menyerbu dunia fantasinya. Marah kalau diganggu. Badannya menjadi gemuk tak sehat. Televisi mempunyai kekuatan untuk mendorong orang lari dari kenyataan hidup dan tanggung jawab pribadinya, menjadi kecanduan yang merusak.

4. Dilibatkan sebagai sasaran eksploitasi ekonomi.

TV komersial adalah bisnis ‘cetak uang’ dengan cara mempengaruhi penonton agar membeli produk-produk yang diiklankan. Program yang diciptakan untuk siaran TV pada dasarnya bertujuan melibatkan orang sebanyak-banyaknya untuk menyaksikan tayangan komersial. Hal ini tidak berarti semuanya jelek. Dari sisi positipnya, kritikan ini mengakui adanya dorongan untuk berkompetisi, yang dampaknya berpengaruh kepada harga barang-barang menjadi murah dan mendorong peningkatan kualitas dan inovasi-inovasi. Namun demikian, dalam upayanya untuk menjual sebuah produk, maka keinginan (need) harus diciptakan di kepala si penonton. Film-film iklan dibuat untuk menarik keinginan orang untuk membeli merek produk yang ditawarkan, yang mungkin saja lebih mahal daripada merek-merek yang kurang dikenal tetapi tidak lebih jelek.

Di negara-negara sedang berkembang, banyak keluarga yang mengabaikan makanan sehat atau keperluan hidup lain gara-gara uangnya dipakai untuk membeli produk-produk tak penting untuk menopang gaya hidup yang ditawarkan di televisi. Di pihak lain, di kota-kota besar, banyak orang yang menggunakan kartu kreditnya melebihi kapasitasnya untuk membayar. Akibatnya mereka harus bersusah payah membayar bunga hutang kartu kredit yang dipakainya. Hal ini banyak disebabkan oleh pembelian barang yang “bagus tapi tak penting”. Contoh buruk pengaruh iklan televisi terjadi di Amerika ketika seorang remaja mati dibunuh gara-gara sepatu tennisnya bermerek terkenal. Di kepala remaja ini sudah tertanam merek yang diiklankan secara luas itu akan mengangkat statusnya—status yang di dalam pikiran anak-anak lainnya cukup penting untuk dijadikan alasan membunuh (lihat: situs www. cybercollege.com).

Menggunakan iklan untuk meyakinkan penonton atau pembaca bahwa berhutang adalah ”hal yang benar” dan membangun citra yang benar (termasuk menjadi kurus, ramping dan cantik) dalam pandangan kritikan ini disebut economic exploitation (pengeksploitasian ekonomi).

5. Memperlihatkan bias liberal

Wilayah kritikan ini memperlihatkan pro-kontra antara dua sudut pandang yang berbeda: pandangan konservatif (tidak menginginkan perubahan) di satu sisi, dan pandangan liberal (bebas dan terbuka, menghargai pandangan orang lain, serta menginginkan perubahan) di sisi lainnya. Pihak konservatif melihat media mempunyai bias liberal, sedangkan pihak liberal melihat sebaliknya, mempunyai bias konservatif. Yang menarik dari situasi ini adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengontrol, atau bahkan pemilik media pada dasarnya adalah konservatif. Tetapi mengapa justru media mempunyai citra liberal? Pada umumnya orang bisnis cenderung konservatif sedangkan orang yang mempunyai latar belakang ilmu sosial—melalui pendidikan atau bekerja dengan orang yang sama—cenderung berpikir lebih liberal. Kelompok terakhir ini meliputi orang-orang yang bekerja sebagai wartawan, aktor, para penulis dan seniman—yang gagasan-gagasannya selalu menghiasi halaman media dan pandangan mereka cenderung mendorong perubahan sosial.

Menurut pandangan konservatif pemberitaan TV cenderung liberal; sebagian karena TV mengungkap berita tentang homoseksual, pelanggaran hak-hak sipil dan HAM, demonstrasi anti perang, korupsi, hak-hak perempuan, dll.—yaitu hal-hal yang terkait dengan masalah liberalisme. Di pihak lain liberal memandang televisi adalah konservatif karena TV kelihatan lebih memihak kepada kepentingan bisnis; tidak memberi ruang yang layak sebagai alternatif untuk tidak ikut-arus utama (non-mainstream)—yaitu pandangan liberal itu sendiri. Dua sisi pandang inilah yang meggerakkan media. Pandangan konservatif bersemayam di kepala pemilik dan para manajer yang berpikir bisnis dan bertugas untuk apa saja yang bisa mendatangkan keuntungan, sedangkan pandangan liberal bergerak mengolah isi pesan yang disampaikan melalui program yang mereka kembangkan.

6. Membentuk citra yang salah terhadap realitas.

Kritikan ini mengingatkan bahwa TV membentuk pandangan yang salah terhadap stereotipe kelompok minoritas. “Orang jahat” cenderung dianggap berasal dari suatu golongan atau individu-individu, misalnya, orang Italia diasosiasikan sebagai mafia, CEO dari perusahaan besar akan menjual emak kandungnya sendiri untuk keuntungan, dan cara berpikir militer adalah: “kalau itu diragukan, bunuh,” generasi muda di kota-kota besar kebanyakan nakal, asosial, dan pecandu narkoba, dlsbnya. Semua pandangan stereotipe seperti ini sangat mengganggu, menyalahi kenyataan dan kebenaran. Di masa lalu dunia televisi Barat menanamkan pandangan bahwa “orang jahat” memakai topi hitam dan “orang baik” memakai topi putih. Karenanya mudah dibedakan. Sekarang, banyak orang dengan mudah bisa mengkotak-kotakkan orang dengan “hitam dan putih” (misalnya disebabkan oleh kewarganegaraan, suku bangsa, agama, warna kulit, keturunan, jenis kelamin, dll.) daripada melihatnya dalam koridor “abu-abu” yang secara realistis lebih mewakili kondisi manusia. Mereka yang bertindak dan menjadi sasaran kritikan ini berpendapat bahwa untuk menyampaikan pesan tentang citra secara cepat terhadap penonton TV, isu-isu disederhanakan, dan direkayasa melalui “simbolisasi.” Televisi dan film, selain ia bermanfaat untuk media kritik terhadap berbagai sektor kehidupan, iapun berperan penting dan mempunyai kekuatan untuk merubah perilaku dan pandangan penontonnya.

7. Pendistorsian realitas dengan cara menyembunyikan permasalahan pokoknya

Kritikan ini mengulas tentang apa yang disembunyikan dan tidak diungkapkan oleh televisi. Bila kelompok liberal menuduh TV cenderung menghilangkan pandangan-pandangan yang tak sejalan dengan arus pemikiran konservatif, hal ini disebabkan oleh karena mereka merasa perusahaan-perusahaan besar yang kebanyakan menjadi pemilik media melakukan suatu tekanan secara diam-diam terhadap staf dan karyawannya, seperti kepada reporter, atau pihak-pihak lain, agar tidak menyinggung atau “melukai” tujuan bisnis dari para sponsor atau perusahaan induknya. Contoh kasusnya adalah pemecatan dua reporter WTVT, Fox 13, di Tampa, Florida, gara-gara tidak mengindahkan perintah agar tidak memberitakan penggunaan hormon sintetis—yang dirahasiakan—pada makanan sapi di seluruh Florida, dan banyak stasiun TV di wilayah itu, meskipun berita itu berdasarkan fakta yang akurat, menolak menyiarkannya. Padahal hormon penggemukan sapi secara artifisial itu telah dilarang di Kanada dan Eropa karena membahayakan kesehatan pengonsumsi hewan ini. Meskipun hormon ini menyebabkan bertambahnya susu, akan tetapi susu yang dihasilkan bisa mengakibatkan kanker payudara dan prostate.

Kedua reporter yang memperkarakan stasiun TV yang memecatnya menang di pengadilan. Bahkan mereka masing-masing mendapat hadiah Goldman Environmental Prize serta pengembalian pekerjaan mereka. Kasus ini sekaligus menjadi pelajaran untuk melihat apakah kejujuran dan integritas pribadi serta profesionalisme seorang reporter bisa dipertahankan atau sudah luntur karena tekanan-tekanan itu. Memang, kadangkala mempertahankan kejujuran dan profesionalisme ini bisa mendatangkan hadiah yang besar, akan tetapi kepuasan yang sangat tinggi nilainya adalah ketika seorang reporter mengetahui bahwa ia masih belum “menjual” nilai-nilai pribadi dan profesionalisme dengan cara menyembunyikan atau menghapus berita yang seharusnya diketahui publik.

Tiga Aspek Positif Televisi

Aspek positip media secara ringkas bisa disimpulkan ke dalam tiga kategori utama.

1. Televisi adalah “jendela dunia” melalui berita dan informasinya.

Begitu banyak permasalahan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat hanya bisa diungkap setelah dilaporkan media televisi. Bila surat kabar atau media cetak lainnya menyajikan berbagai tingkatan realitas secara terpisah, media televisi melalui gambar-gambarnya mampu mengangkat dan mengungkap realitas kejadian-kejadian langsung ke rumah penontonnya, lengkap dan berwarna, bersuara, berkesinambungan, dan bahkan dalam kadar tertentu, mampu menggugah “perasaan.” Mendapat informasi dari bahan bacaan tentang anak-anak yang kelaparan karena kemiskinan mungkin saja menarik perhatian; tetapi melihat penderitaan itu secara langsung melalui gambar-gambar yang ditayangkan bisa terasa sangat memilukan, sekaligus mampu memunculkan reaksi yang tak terduga. Demikian pula halnya membaca tentang orang lain disiksa gara-gara kepercayaannya atau ideologinya adalah satu hal; tetapi menyaksikan ekspresi perasaan takut dan uraian air mata akan lain pengaruhnya. Gambar-gambar yang baik akan mewakili seribu kata; bisa menyampaikan berbagai masalah lebih dari sekedar fakta sekaligus memberi kita kilasan realitas yang melatarinya. Televisi mampu membuat kita menjadi “saksi mata” terhadap kejadian-kejadian pada saat peristiwa itu terjadi, dan kejadian itu bisa saja peperangan sampai pertandingan sepak bola. Oleh kenyataan ini televisi menghapus batas-batas dan jarak antara kita dengan peristiwa yang diliput secara langsung itu.

2. Televisi menyediakan ruang-ruang untuk santai dan berfantasi.

Pelarian yang dilakukan secara berlebihan dan berdampak negatif pada pelakunya telah kita diskusikan di atas. Sebaliknya perlu juga dicatat: televisi bisa memberi kita ruang-ruang untuk sejenak melarikan diri dari masalah dengan cara mengalami pengalaman orang lain melalui layar televisi tanpa harus terlibat secara langsung. Kita bisa menjadi terlena oleh keindahan dan kehalusan seni, atau terkesima oleh semangat olahragawan yang pantang menyerah dalam tayangan olah raga. Kita bisa membiarkan diri kita tenggelam dalam khayal dan dunia fantasi yang indah. Dengan kesempatan ini, semangat kita akan kembali lagi; dan bahkan harapan serta kegairahan baru akan muncul karenanya.

3. Televisi memperkenalkan ide-ide dan informasi baru.

Sebelum media massa berkembang, informasi tentang berbagai hal memerlukan waktu lama untuk bisa sampai dan bisa kita ketahui. Sekarang waktunya dipersingkat oleh kemajuan media ini. Melalui televisi kita diperkenalkan pada produk-produk dan pelayanan baru agar kehidupan menjadi mudah dan aman, resep baru, berbagai prosedur instruksi perakitan dan perbaikan yang bisa secara langsung dikerjakan di rumah. Media ini menempatkan kita di pusat penawaran dan penjualan ide-ide. Kita bisa membuat perbandingan antara satu ide dengan ide lainnya dan kemudian mengambil keputusan sendiri apakah kita menerima atau menolak gagasan itu. Menurut para pengamat, penolakan untuk melakukan perubahan memunculkan resiko. Bahkan sampai pada tingkatan pribadi: tidak mau berubah bisa diartikan ketinggalan secara profesional dan akibatnya akan digantikan oleh gagasan baru, atau lebih radikal lagi diganti dengan mesin.

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...