Kamis, 01 Oktober 2015

Logika

Beberapa malam setelah ditinggalkan oleh kekasihnya dia memutuskan untuk menulis sebuah esai,

Apa beda pengalaman dengan pengetahuan? Masihkah kita memerlukan kesadaran, ketika hampir semua hal yang kita lakukan lebih banyak didorong oleh intuisi dan spontanitas? Dimana tempat bagi mimpi-mimpi dan rencana-rencana saat dunia yang chaos tak lagi sekadar tesis, melainkan sudah sudah menjadi fakta ilmiah?

Dia sudah membaca Freud dan Jung. Rasionalitas itu seperti iceberg. Tapi dia juga mengetahui dari buku-buku fisika yang dibacanya bahwa entropi biologis cenderung melawan hukum termodinamika. Mahluk hidup akan selalu membuat keteraturan atas serba ketakberaturan di sekitarannya. Lantas, dia harus mengimani yang mana?

Kenyataan adalah sesuatu yang dikenali, dibentuk, dan bukannya terberi. Setiap kali membaca sastra Latin pikirannya akan kembung oleh gagasan-gagasan mengenai konstruktivisme, imajinasi, dan otonomi fiksional semacam itu. Dia menyukai gagasan-gagasan itu sama seperti kesukaannya pada lelucon Larry Wilde. Baginya, lelucon adalah satu-satunya tempat pengungsian dari doktrin kebenaran-universal dan semua bentuk kepastian.

Dia memang tak pernah mempercayai absolutisme. Tapi karena itu pula dia kadang menyangsikan bahwa relatifisme berbeda dari absolutisme. Jangan-jangan, pikirnya, relatifisme adalah absolutisme dalam bentuk lain. Dan semua ini telah tali-temali sedemikian rupa sehingga tampak membingungkan.

Pada sebuah makan malam, dia dikritik habis-habisan temannya. Alam dan pikiran sebenarnya sama buruknya, karena sama-sama terdiri dari keteraturan dan keserempakan yang bisa berganti tiba-tiba. Dengan pengalamannya manusia diajari untuk mengenali, tapi pengenalan itu sebenarnya tak mengajari apapun, karena kita sering mencatatnya sebagai aforisma. Aforisma inilah sebenarnya biangkerok kebingungan manusia.

Mereka berdebat panjang. Sampai ketika bibir mereka mulai jontor, mereka menyudahi baku dalih itu. Sebelum berpisah mereka menyepakati satu hal: hidup membutuhkan lelucon. Tapi hidup sebenarnya adalah lelucon itu sendiri, gerutunya, dimana logika dan kengawuran silih berganti membangun tawa. Karena itu pula hidup, menurut beberapa orang, menyenangkan.

Semenjak itu dia tak lagi pernah memikirkan bekas kekasihnya. #prosa01

Sumber: Surat-Surat Puisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...