Minggu, 11 Oktober 2015

Seribu Satu Cara Membina(sakan) Desa

(Catatan Diskusi “Perjalanan Panjang Memerdekakan Ekonomi Desa”)

“Pertanyaan tentang posisi Desa dalam bangunan ekonomi nasional adalah pertanyaan yang berulang-kali digulirkan sejak tahun 70-an.” Demikian Surya Saluang mengawali diskusi “Perjalanan Panjang Memerdekakan Ekonomi Desa” pada Sabtu 19 September 2015 di Kantor Desantara. Ia seolah mengingatkan bahwa kerusakan Desa yang hari ini nampak kasatmata sudah dimulai sejak lama.

Sore itu, Peneliti Sajogyo Institute itu mengurai problem desa dari masa ke masa. Melalui pendekatan kesejarahan, ia meneroka posisi desa dalam semesta ekonomi nusantara dari zaman Belanda hingga pasca krisis finansial 2008. Presentasi itu kemudian dilanjutkan oleh Pembicara kedua, Yasir Sani dari Kemitraan yang memaparkan narasi-narasi kegagalan Pemerintah dalam membangun Desa yang ia peroleh dari pengalamannya selama bertahun-tahun mengadvokasi isu desa.

Beberapa hal berhasi dicapai dalam diskusi yang berlangsung selama dua jam lima belas menit tersebut. Tulisan ini adalah ringkasan dari diskusi tersebut yang ditulis dengan tanpa mengikuti alur diskusi sebagaimana laiknya laporan kegiatan. Tujuannya tak lain untuk memberikan lanskap pemikiran lebih utuh, mengingat poin-poin penting dalam diskusi yang tersebar hampir sepanjang durasinya.

Riwayat Peminggiran Desa

Melihat situasi desa-desa di Indonesia hari ini yang demikian porak-poranda di hadapan kemajuan zaman; tanah pertanian yang kian menyempit, ketiadaan lapangan pekerjaan yang mencukupi, menarik untuk mengajukan satu pertanyaan: Sejak kapan Desa termarjinalkan dari skema pembangunan ekonomi kita?

Sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut secara tepat. Namun Surya Saluang yang memiliki pengalaman riset mendalam soal ekonomi masyarakat Desa di pulau Halmahera Maluku mengisahkan sejarah unik yang terjadi di pulau terbesar di Kepulauan Maluku itu. Kisah ini terjadi awal-awal zaman kolonial, tepatnya tahun 1760-an.

Waktu itu terjadi perebutan wilayah dagang antara VOC dan Inggris di Kepulauan Halmahera. Dari segi kekuatan, armada Laut VOC sesungguhnya bukan tandingan Inggris. Namun secara mengejutkan Inggris kalah telak dalam perebutan di area itu. Inggris dipaksa menyingkir karena satu strategi jitu yang diterapkan VOC: mengaburkan distribusi barang produksi dari wilayah pedesaan ke pelabuhan. Itu terjadi karena, “VOC menguasai infrastruktur pengangkut barang produksi”. Ini membuat perusahaan dagang Kerajaan Belanda tersebut dengan leluasa bisa menentukan keluar masuknya barang dan pada akhirnya membuat Inggris tak berdaya.

Saluang menjelaskan bahwa ada satu hal penting yang bisa digarisbawahi dari kisah tersebut untuk kemudian dijadikan pisau analisis mengapa Desa kemudian menjadi tidak berdaya: logika. Pembangunan infrastruktur langsung dari pusat produksi, percepatan perpindahan barang dengan memangkas alur distribusi adalah kuncinya. “Logika kemenangan VOC ini yang berulangkali direplikasi ulang sampai hari ini,” jelasnya.

Ia mencontohkan bagaimana UU Agraria 1870 memposisikan Desa hanya sebagai penghasil barang mentah seperti kopi, kakao, tebu, teh, dsb. Lalu pembangunan jalur lori, kereta tebu, di desa-desa di Jawa Barat yang langsung menghubungkan perkebunan dengan pabrik-pabrik gula. Logika VOC di Halmahera, menurutnya, diterapkan di sini.

Dalam logika tersebut, Desa sebagai pemilik lahan dijauhkan dari hasil produksinya. Sebagai sebuah teritori, Desa hanya difungsikan jurigen lapuk tempat bahan bakar bagi kapitalisme. Ia hanya berarti sejauh bisa menyediakan tenaga kerja, tanpa diberi kesempatan untuk menikmati kemegahan kapitalisme yang dibangun melalui darah dan air matanya. Dengan kata lain, ia dihisap.

Apakah model perlakuan penguasa terhadap Desa, di masa kemerdekaan senantiasa sama?

Gempuran terhadap Desa, melalui logika percepatan à la VOC, menurut Saluang sempat mengalami masa rehat pada awal-awal kemerdekaan. Pada masa ini penataan sektor agraria, yang tentu saja menyoal posisi Desa, secara serius dibicarakan. Beberapa produk legislasi yang berpihak pada Desa lahir pada masa ini, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Bagi Hasil. Ironisnya, undang-undang yang belum sempat terimplementasikan ini dibunuh secara kejam oleh tragedi sejarah yang bermula di tahun 1965 ; Gestok.

Peristiwa Gestok adalah kutukan bagi Desa. Ia benar-benar menghancurkan lanskap Desa. Bukan hanya soal Agraria. Semua hal yang berhubungan dengan desa sejak saat itu senantiasa dicurigai. Setelah masa itu, Babinsa dibentuk. Dan di banyak tempat kepala desa berasal dari unsur militer. Periode gelap tersebut berlangsung selama Soeharto berkuasa, dan ironisnya akan tetap meninggalkan luka yang tak terobati di masa reformasi. Satu dekade kemudian, setelah krisis finansial, posisi Desa berubah, tapi sama sekali bukan dalam nuansa menggembirakan.

Posisi dan modalitas yang disalahpahami

Tidak adakah faktor determinan lain dari hancurnya Desa, terutama sejak peristiwa Gestok sampai era reformasi selain logika kapitalisme à la VOC dan luka sejarah?

Menjawab ini, Yasir Sani terlebih dahulu menjelaskan sosiologi masyarakat Desa. Menurutnya, sebelum sampai pada faktor-faktor yang menentukan upaya pemarjinalan desa, kita harus memahami bagaimana sebuah desa dibentuk awal mulanya.

Secara primordial, menurut Sani, tiap-tiap Desa memiliki egonya sendiri-sendiri. Sebagai sebuah aglomerasi yang memiliki komponen penyusun yang berbeda-beda, masing-masing desa memiliki sejarah, adat-istiadat, dan psikologi yang khas. Perbedaan karakteristik, dan tentu saja ego, inilah yang kemudian membuat usaha menyatukan desa kerapkali mengalami hambatan.

Situasi ini tentu saja merugikan mengingat Desa sebagai pusat produksi barang mentah selalu menjadi incaran pemodal dan institusi (pemerintah) di atas mereka. Cara berproduksi masyarakat Desa yang tak saling menguatkan dipaksa menghadapi roda kapitalisme maha kuat yang senantiasa mengancam keberadaan mereka. Dalam pertarungan demikian, Desa hanya menunggu kekalahan.

Hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah ketidakmampuan Desa membaca persoalannya sendiri. Ini sesungguhnya adalah ekses lanjutan dari egosentrisme yang mengeram dalam diri Desa. Penelaahan atas eksploitasi yang dilakukan oleh pihak luar terhadap suatu kelompok mengandaikan kohesi sosial yang kuat antaranggotanya. Egosentrisme inilah yang menurut Sani menghalangi masyarakat Desa membicarakan problem utama yang sedang mereka hadapi, misalnya: kenapa tanah bisa berpindah tangan? Adakah agama atau kebudayaan mereka berpengaruh terhadap hal itu?

Sani mengingatkan jika sebenarnya penguatan Desa adalah tanggung jawab pemerintah. Sayangnya, bahkan dalam perjalannya setelah era reformasi, pemerintah seringkali malah membikin Desa celaka. Pola pengembangan Desa yang dilakukan pemerintah lebih banyak menyentuh soal administrasi dan infrastruktur, alih-alih ekonomi. Tentu administrasi dan infrastruktur di sini tidak berhubungan dengan proteksi pemerintah terhadap ekonomi Desa. Tidak bertujuan untuk menunjang fungsi Desa yang seharusnya diposisikan sebagai soko guru perekonomian nasional. Malah, ia lebih tepat disebut sebagai upaya pelapangan jalan masuk pemodal besar untuk memporak-porandakan desa.

Ia mencontohkan UU Desa. Alih-alih memfokusan pada upaya pemetaan masalah desa, terutama di sektor ekonomi, secara menyeluruh, menurutnya, undang-undang ini justru diribetkan dengan soal keuangan dan bagaimana menggunakan uang secara tepat.

Saluang memberikan perspektif tambahan soal faktor determinan yang menyebabkan Desa terpinggirkan. Menurut Saluang, egosentrisme Desa bukanlah satu-satunya faktor penentu. Ada satu hal paling substansial dari Desa yang, karena disalahpahami, menyebabkan upaya pemarjinalan Desa, terutama oleh pemerintah, berjalan begitu mulus: modalitas. Penyalahpahaman itu bermula dari pemahaman yang keliru soal ekonomi Desa.

Sistem ekonomi Desa adalah gotong royong. Karena gotong-royong, pengelolaan kebutuhan dalam sistem ini tidak ditentukan oleh uang. Modalitas yang dimiliki oleh masyarakatnya adalah komunalitas. Artinya, masyarakat Desa akan senantiasa kuat dan solid sejauh mereka hidup dalam situasi saling membantu, termasuk ekonomi. Namun, sistem ekonomi Keynesian, yang meletakkan uang, dan juga individualisme sebagai pendorong kemajuan ekonomi, menghancurkan modalitas desa tersebut. Ia mencacah-cacah masyarakat Desa menjadi individu-individu, alih-alih komunitas yang kuat.

Dalam pandangan Saluang, akuntansi bukanlah cara berhitung masyarakat Desa. Mengutip Wertheim, menurutnya, kondisi itu akan sangat sulit diubah, karena menyangkut mindset. Maka, ketika gelontoran dana modernisasi merengsek masuk ke desa-desa, alih-alih memberikan progres terhadap perkembangan Desa, ia justru menciptakan kekacuan. Ia mencontohkan peristiwa di dekade 70an ketika gelontoran dana modernisasi hanya memberdayakan golongan atas.

Keberadaan golongan atas adalah problem lain dari Desa. Golongan ini, dengan segala transformasinya, sudah ada sejak zaman kolonial. Dan sebagaimana Sajogyo, ia tidak kemudian hilang setelah masa kemerdekaan. Hari ini mereka terus ada, dan menjadi lapisan masyarakat yang paling diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan Desa tak tepat sasaran yang selama ini dilakukan oleh pemerintah.

Gelontoran uang untuk Desa, sekalipun dalam nominal yang seolah tidak terbatas, dengan demikian makin menjerumuskan masyarakat Desa dalam tingkat kerawanan ekonomi yang makin tinggi. Di satu sisi peningkatan produktivitas (dalam ukuran uang tentu saja), dan pada akhirnya daya beli yang diandaikan oleh program-program Desa, mengalami kegagalan. Sialnya, di sini lain, Masyarakat Desa harus berjibaku memenuhi kebutuhan-kebutuhan semacam pendidikan, pengobatan dengan kemampuan ekonomi mereka yang stagnan. Jika hari ini Desa masih bisa bertahan, sambil berkelakar Saluang menjelaskan, yang meningkat bukanlah kemampuan untuk berproduksi mereka, melainkan kemampuan survivenya.

Krisis Finansial 2008 dan Wajah Desa ke Depannya

Sebagaimana sudah disinggung di awal, tahun 2008 adalah babak baru bagi Desa dalam posisinya sebagai bagian dari sebuah teritori yang lebih besar: negara. Itu terjadi sejak krisis finansial global pada tahun itu.

Menurut Saluang, krisis itu menandai perubahan penting, yakni bergesernya pola investasi kapital global. Sektor industri dan bisnis yang semula menjadi primadona dipertimbangkan kembali untung-ruginya. Situasi mengharuskan mereka melakukan investasi yang paling aman dari inflasi. Agribisnis di daerah tropis menjadi salah satu pilihan utama.

Perubahan arah investasi tersebut mau tidak mau menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara sasaran utama investasi. Pertanian di Indonesia yang subsisten menandakan jika dari segi ekologi memadai bagi berbagai jenis bahan makanan. Keberadaan program-program raksasa seperti MP3EI dan MIFEE menghendaki agar tanah pertanian di Indonesia digenjot kapasitas produksinya. Presiden Jokowi menamakan ini sebagai agribisnis kerakyatan. Pemanfaatan tanah produktif secara terpadu untuk tujuan kesejahteraan rakyat, menciptakan keberdikarian ekonomi.

Sesungguhnya, istilah argribisnis kerakyatan oxymoron dan menyesatkan. Ia sama sekali tidak mewakili kepentingan rakyat. Secara historis, ia berakar dari kebijakan Amerika pasca krisis 1930 yang ingin menstabilkan ekonomi dengan meningkatkan kapasitas produksi pertanian melalui korporasi. Dan itu tidak pernah berubah, baik pada era revolusi hijau, atau kini MP3EI dan MIFEE. Dua nama terakhir tentu saja beroperasi dengan cara yang lebih canggih: menciptakan koridor-koridor produksi dan konversi lahan petani atas nama efektivitas untuk kepentingan korporasi semacam Monsanto, Nestle, dsb. , alih-alih masyarakat desa.

Tetapi itu bukanlah satu-satunya dampak mengerikan dari penetrasi kapital global di sektor agraria bagi pedesaan. Dengan beralihnya model pertanian subsisten menjadi industri pertanian berskala massif, menurut Saluang, sesungguhnya Desa sedang perlahan-lahan terbunuh identitasnya. Desa pada akhirnya tidak ada bedanya dengan kota, masyarakatnya menjadi tergantung dan terseret-seok dalam perekonomian pasar.

Apa yang terjadi di Kulawi, satu di dekat Palu Sulawesi tengah barangkali contoh yang sempurna. Di daerah tersebut, kebutuhan sembakonya dipenuhi dari Kota Palu. Hal tersebut terjadi karena wilayahnya menjadi daerah konsentrasi penanaman Kakao oleh beberapa perusahaan.

Dampak lain yang juga cukup serius adalah proletariatisasi atau pemburuhan. Penerapan MP3EI dan MIFEE sekaligus mengandaikan regulasi-regulasi, aturan-aturan, di sektor agribisnis. Berbagai aturan diterapkan, mulai soal kualitas, kuantitas produksi, hingga berbagai proses produksi dari awal hingga akhir. Semua itu bermuara pada satu tujuan: memberi panggung utama pada pemodal besar. Dengan cara ini, masyarakat Desa yang bertarung sendiri-sendiri dipaksa secara halus untuk menyerahkan tanahnya untuk kemudian mengabdikan dirinya sebagai buruh di perusahaan agrobisnis.

Lebih jauh, regulasi, bagi Saluang, adalah hal yang paling mengerikan dari perkembangan mutakhir kapitalisme global. Ia adalah manifestasi dari efektivitas produksi yang paripurna. “Dengan regulasi, para pemodal tidak perlu repot-repot menggelontorkan uang ke desa-desa seperti pada tahun 70-an,” katanya. Dengan canggihnya, para pemodal bisa memaksa negara untuk mempersiapkan kepentingan, termasuk infrastruktur, mereka. MP3EI dan MIFEE sendiri adalah bagian dari regulasi itu sendiri.

Melihat tiga dampak dari krisis finansial global 2008 di atas, wajah Desa beberapa tahun ke depan jelas tidak menggembirakan untuk dibayangkan. Desa yang sudah kadung dependent dan menanggung beban sejarah pemarjinalan musti melawan kapitalisme global yang makin pintar dan efektif dan agresif. Ini seperti pertarungan David melawan Goliath dengan kepastian kekalahan ada di pihak pertama.

Nasib demikian memang bukan tidak mungkin untuk dihindarkan. Kedua pembicara sepakat bahwa upaya menyelamatkan Desa dari kehancuran masih sangat mungkin dilakukan, baik oleh masyarakat sipil maupun negara. Tetapi tentu saja dengan catatan, bahwa upaya itu harus dimulai dari memahami karakteristik Desa, baik yang umum maupun partikular. Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Sajogyo “Kalau mau paham ekonomi kami (desa), pelajari budaya kami (desa). Kalau mau paham budaya kami (desa), pahami ekonomi kami (desa).” Tanpa itu, alih-alih membina, usaha negara dan masyarakat sipil untuk menjadikan Desa lebih bermartabat dan berdikari justru akan membantu para pemodal yang sudah memiliki seribu satu cara untuk membinasakannya.

Sumber: Desantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...