Jumat, 13 November 2015

Belajar dari Pembunuhan Wartawan Televisi Amerika

Dua wartawan televisi lokal Amerika ditembak mati ketika sedang menyiarkan berita. Liputan berbagai media mengenai peristiwa tersebut memunculkan diskusi tentang etika jurnalistik.

Peristiwa kelam membayangi wajah jurnalisme Amerika Serikat 26 Agustus 2015 lalu. Dua wartawan stasiun televisi WBDJ7 ditembak di depan narasumber, beberapa detik setelah wawancara langsungnya mengudara. Kedua wartawan tersebut, Alison Parker dan Adam Ward, tewas seketika. Sang pelaku pembunuhan adalah Vester V. Flanagan II, bekas pewarta stasiun televisi tersebut. Ia bunuh diri beberapa jam kemudian, setelah mengunggah video penembakan yang ia rekam sendiri ke akun Facebook dan Twitter-nya.

Media, baik cetak, daring, mau pun televisi, segera melakukan peliputan masif atas peristiwa tersebut. Peliputan-peliputan ini menimbulkan perdebatan mengenai etika jurnalistik: apakah menyertakan adegan dan gambar kekerasan dalam berita adalah perbuatan yang etis dalam jurnalistik?

Salah satu media yang menampilkan potongan rekaman video penembakan adalah New York Daily News. Dalam halaman depan edisi Kamis 27 Agustus 2015, koran tersebut menampilkan 3 potongan gambar persis ketika Alisson ditembak. Redaksi New York Daily News mengatakan bahwa mereka menampilkan gambar tersebut karena, “meski mengganggu dan mengerikan, gambar tersebut adalah bagian penting dari peristiwa.” New York Daily News juga melanjutkan bahwa keputusan untuk menampilkan gambar tersebut bisa menjadi alat kampanye untuk memperketat aturan mengenai penggunaan senjata di Amerika Serikat.

Sementara itu stasiun televisi CBS, menayangkan rekaman video Flanagan selama 23 detik dan menghentikannya persis sebelum ia menembak. Pimpinan CBS News David Rhodes menjelaskan bahwa stasiun televisinya menayangkan video tersebut untuk memberikan gambaran kepada orang-orang seperti apa “level serangan” tersebut. Ia juga menambahkan bahwa jika video tersebut tidak ditampilkan, orang-orang akan memiliki impresi yang berbeda dan tidak mengetahui betapa mengerikannya penembakan tersebut. Beberapa media lain seperti Buzzfeed dan Business Insider juga menayangkannya.

Penayangan gambar mau pun video tersebut segera menuai reaksi dari banyak pihak. Mike Drago, editor di Dallas Morning News, menyebut bahwa sampul halaman muka New York Daily News sebagai bentuk eksploitasi. Penayangan gambar penembakan juga menunjukkan bahwa media tidak bersimpati kepada keluarga, teman, dan rekan kerja korban. Drago menggunakan istilah “death porn” untuk menyebut eksploitasi tersebut.

Kritik tidak hanya diarahkan kepada media yang menayangkan video penembakan tersebut. Facebook dan Twitter juga tak luput menjadi sorotan. Keduanya merupakan media sosial yang menjadi tempat bagi pelaku penembakan menyebarkan videonya. Fitur autoplay yang dimiliki keduanya membuat banyak orang tanpa sengaja melihat video yang telah menjadi viral tersebut.

Robinson Meyer, editor The Atlantic, mengkritik fitur autoplay yang membuat video mengerikan tersebut bisa tersebar luas. Dengan tidak adanya peringatan awal bagi para pengguna, fitur tersebut memunculkan “horor yang sangat buruk” dan bisa memunculkan preseden yang kurang baik di masa depan. (REMOTIVI/Wisnu Prasetya Utomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...