Tampilkan postingan dengan label Tarli Nugroho. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tarli Nugroho. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Oktober 2015

Apel Merah

Aku mimpi makan apel. Warnanya merah marun. Manis menggigit. Aku sudah merasakan kelezatannya meski baru kutatap. Begitu segarnya, sampai aku tak tega mengupas apel itu. Aku takut, tiap goresan pisau yang kukenakan akan mencederai warnanya. Tiap sentuhan udara akan mengubah segar dagingnya. Kenapa kelezatan apel hanya bisa hadir lewat goresan pisau? Bisakah kita menikmati tanpa harus mengupas, menguliti. Kutatap apel itu. Ia masih merah marun. Saat ingin kupegang, aku terbangun.

Kamis, 08 Oktober 2015

Nilai Tempat

Pengharapan dan kecemasan ternyata menghalangi penemuan. Pengharapan pada dasarnya memperkerut ruang ekspektasi, sementara kecemasan justru meluaskannya. Tarik-menarik keduanya membesarkan ketidakpastian.

Rabu, 07 Oktober 2015

Fragmen Keraguan

[I]
ada kalanya aku harus menjadi cengeng
dan duduk di pojok kamar,
sambil memeluk lutut…
memikirkanmu!
….

Selasa, 06 Oktober 2015

Mentari

Aku mengenalmu dalam pagi yang remang. Anganku belum lagi jejag, dan mata ini masih terpicing ketika kamu datang dan tinggal. Sebelumnya kamu adalah mentari yang selalu hadir tiap pagi dan pergi saat senja menjemput. Biasa. Sama seperti tiap tarikan nafasku. Semuanya tak pernah disadari.

Senin, 05 Oktober 2015

Perempuan Pembaca Puisi

Kalau ada perempuan yang tahan berkutat di kepalanya selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, maka perempuan itu adalah perempuan pembaca puisi. Dia menemukannya, acuh tak acuh, di pojok Benteng Vriedenburg, senja itu. Rambutnya tercerai, dandanannya menor, dengan bau tubuh Paris. Baju putih selengan membungkus tubuhnya yang jangkung, dengan renda-renda di pergelangannya. Trotoar Malioboro masih mengepulkan debu, senja itu, dan perempuan itu menebarkan aroma kegilaan. Dia baru menyadarinya setelah beberapa hari lewat.

Minggu, 04 Oktober 2015

Tapal Batas

Setiap kali berziarah dia akan memilih berdoa di pusara paling pojok dengan sebuah batu besar dan tanah yang masih merah. Dia tak pernah mempersoalkan pusara siapa yang didoakannya. Dengan begitu dia bisa menemukan kekhusyukan tanpa disibukkan oleh ingatan-ingatan mengenai siapa yang dikubur. Setiap kali menatap pusara itu dia akan dikepung pertanyaan, manakah yang bisa menjelaskan makna pusara: kuburan atas sesuatu yang pernah hidup, atau batas dimana sebuah kehidupan lain sebenarnya baru saja dimulai?

Sabtu, 03 Oktober 2015

Penemuan

Di sebuah kedai, pada petang yang bertenaga, lewat seorang perempuan lelaki itu menemukan bahwa Adam Smith telah membuat sebuah kekeliruan. Individuasi tanpa motif sosial yang hadir lebih dulu tak akan banyak memberikan kemanfaatan. Petang itu dia telah menemukan salah satu rumusan penting dalam teori permainan.

Jumat, 02 Oktober 2015

Perpustakaan

Bagi para penyendiri yang tertutup, gairah terhadap kedekatan terasa ganjil, seganjil hubungan perkawinan antara Einstein dan Mileva. Sayangnya orang-orang ganjil itu mengetahui tempat paling nyaman dimana ketertutupan dan kesendirian mereka tak akan pernah diusik: perpustakaan.

Kamis, 01 Oktober 2015

Logika

Beberapa malam setelah ditinggalkan oleh kekasihnya dia memutuskan untuk menulis sebuah esai,

Jumat, 19 Juni 2015

Antara Ada dan Tiada

Lima tahun lalu UGM menyumbang seorang bergelar guru besar untuk menjadi wakil presiden Republik ini. Dia dipilih karena tak punya ikatan dengan partai politik. Seorang budayawan terkemuka sampai harus membuat sejenis pidato kebudayaan untuk merayakan tokoh yang tak punya sangkut paut dengan partai politik tersebut, seolah itu adalah sebuah peristiwa politik dan kebudayaan yang penting.

Kamis, 18 Juni 2015

Nasikun dan Kampus Ndeso

Dulu UGM dijuluki sebagai “Kampus Ndeso”. Berbeda dengan anggapan umum, julukan tersebut sebenarnya bukan (hanya) bernada ejekan, yaitu bahwa mayoritas mahasiswa UGM berasal dari desa, atau UGM berlokasi di “desa”, tak seperti halnya UI atau ITB yang berada di kota metropolitan. Ya, Yogya di masa lalu memang adalah sebuah “kota yang ndeso”.

Sabtu, 13 Juni 2015

Alex

Ada tiga kisah cinta segi tiga pada masa saya remaja yang masih tertancap dalam benak hingga hari ini. Pertama, tentu saja adalah cinta segi tiga antara Arya Kamandanu, Mei Shin, dan Sakawuni, dalam serial drama radio “Tutur Tinular”. Kedua, adalah cinta segi tiga yang rumit dan menguras perasaan antara Kanji Nagao, Rika Akana, dan Satomi Sekiguchi, dalam serial televisi “Tokyo Love Story”. Dan ketiga, apa lagi kalau bukan cinta segi tiga antara Alex Komang, Devi Permatasari, dan Inneke Koesherawati.

Jumat, 12 Juni 2015

Kehormatan

Suatu kali Hasanain Juaini, waktu itu masih perantau Indonesia di Malaysia, bertemu dengan Anwar Ibrahim. Dia pun lantas menyampaikan kekagumannya pada keberhasilan Malaysia memproduksi Proton. Namun, Hasanain terkaget dengan respon Anwar.

Minggu, 07 Juni 2015

Senyap dan Nasib Subsidi Salah Sasaran

Jika kita membaca kembali enam rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas terkait subsidi BBM, maka inti dari rekomendasi tersebut sebenarnya adalah hapus subsidi BBM melalui penghapusan Premium (RON 88). Usulan memberikan subsidi tetap kepada RON 92 (setara Pertamax), semisal Rp500 per liter, sesungguhnya cuma dagelan saja.

Sabtu, 06 Juni 2015

Faisal Basri dan Privatisasi!

Jika kita membaca buku-buku Faisal Basri yang terbit pasca-Reformasi, mulai dari “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia” (2002), hingga bukunya yang terakhir, “Lanskap Ekonomi Indonesia” (2009), ia cukup konsisten mengemukakan ideal bahwa solusi untuk mengatasi persoalan tata kelola BUMN adalah privatisasi. Hanya sebuah buku lamanya, “Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI” (1995), yang juga jadi rujukan dalam banyak kelas Perekonomian Indonesia, yang belum banyak menyinggung soal BUMN.

Kamis, 04 Juni 2015

Dikuasai Oleh Negara

Salah satu sebab lemahnya kontrol pemerintah terhadap sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dimulai dari lemahnya penguasaan negara atas sektor-sektor tersebut. Dalam bidang migas, misalnya, Pertamina yang merupakan wakil pemerintah di sektor migas hanya menguasai 15 persen sekor hulu, sementara sisanya dikuasai oleh swasta, baik asing maupun domestik. Dengan tingkat penguasaan yang minim, negara jadi kehilangan kemampuan untuk mengatur dan mengontrol sektor bersangkutan, sebagaimana yang bisa kita lihat hari ini.

Rabu, 03 Juni 2015

Harga BBM dan Dongeng Marhen Dua Setengah Sen

Selasa, 18 November 2014, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago mengemukakan bahwa pemberian uang Rp200 ribu kepada 15,6 juta keluarga miskin sudah cukup untuk menutupi pelemahan daya beli mereka. Menurut Andrinof, angka inflasi yang dialami rakyat miskin mencapai 4,4 persen, atau Rp150 ribu per bulan. Tanpa ragu Menteri Andrinof menyampaikan bahwa dengan duit Rp200 ribu itu, “Kami bahkan memberikan lebih.” Terus terang saya terhenyak membaca pernyataan itu.

Selasa, 02 Juni 2015

Media dan Persekutuan Kaum Majikan

Pada 1921 organisasi itu lahir. Namanya “Ondernemersraad voor Nederlandsch-Indie”. Dalam terjemahan bahasa Indonesia yang digunakan masa itu, nama itu berarti “Dewan Majikan untuk Hindia Belanda”. Ya, organisasi ini adalah bentuk persekutuan kaum majikan. Meskipun didirikan di Belanda, anggotanya bukan hanya para kapitalis Belanda, namun para kapitalis besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Perancis, dan negara-negara Eropa lain. Persekutuan kaum majikan ini bukan hanya bisa mendikte pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, namun juga bisa mengatur pemerintah Negeri Belanda. Itu menunjukkan betapa besarnya kekuasaan para majikan ini.

Minggu, 31 Mei 2015

Infrastruktur dan "Drainage" Kapital Asing

Dalam pledoinya yang terkenal, “Indonesia Menggugat”, yang disampaikan di muka pengadilan kolonial Hindia-Belanda, Agustus 1930, Soekarno banyak menyinggung soal pembangunan infrastruktur. Berkali-kali ia menggunakan istilah “drainage” untuk menggambarkan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah kolonial sebenarnya hanya untuk memuluskan bekerjanya kapital internasional, untuk menguras keluar kekayaan kita.

Kamis, 21 Mei 2015

Politik dan Ilmu

Politik menetapkan tujuan, baru kemudian ilmu datang untuk mengabdi. Itulah ajaran Bung Hatta mengenai bagaimana politik perekonomian Indonesia seharusnya digariskan. Para teknokrat ekonomi, sejak generasi Mafia Berkeley, membalik pemikiran ini. Politik perekonomian, oleh mereka, didesain untuk tunduk kepada ilmu ekonomi. Persoalannya, ilmu ekonomi yang mereka rujuk adalah ilmu ekonomi yang lahir dari sejarah Revolusi Industri, yang menyimpan kepentingan ekspansi barang dan kapital negara-negara maju.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...