Salah satu sebab lemahnya kontrol pemerintah terhadap sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dimulai dari lemahnya penguasaan negara atas sektor-sektor tersebut. Dalam bidang migas, misalnya, Pertamina yang merupakan wakil pemerintah di sektor migas hanya menguasai 15 persen sekor hulu, sementara sisanya dikuasai oleh swasta, baik asing maupun domestik. Dengan tingkat penguasaan yang minim, negara jadi kehilangan kemampuan untuk mengatur dan mengontrol sektor bersangkutan, sebagaimana yang bisa kita lihat hari ini.
Para perancang negara kita sebenarnya telah menegaskan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” (Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945). Dengan rumusan tersebut para pendiri negara kita sudah membayangkan bahwa tanpa penguasaan maka pemerintah memang akan kehilangan kemampuan dalam mengatur dan mengontrol cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Itu sebabnya pada 15 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi membatalkan secara keseluruhan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. MK menganggap UU tersebut bertentangan dengan konstitusi, terutama pada pasal yang menyatakan bahwa listrik merupakan cabang usaha yang cukup dikuasai oleh negara dalam konsep perdata dan bahwa listrik merupakan komoditas yang dapat dikompetisikan dan regulasi harganya disesuaikan kepada mekanisme pasar. Menurut MK, ketentuan itu membuat negara tidak bisa memaksimalkan perannya dalam menjamin bahwa listrik akan bisa dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dan oleh karenanya bertentangan dengan konstitusi.
Kita tahu, setelah UU No. 20/2002 itu dibatalkan pada akhir 2004 itu, UU Ketenagalistrikan baru diundangkan kembali pada 2009, melalui UU No. 30/2009. Celakanya, ketika UU yang masih mengadopsi spirit lama UU yang telah dibatalkan itu diuji-materikan kembali ke MK, pada Mei 2014 silam Majelis Hakim MK yang dipimpin Hamdan Zoelva lebih suka mempersoalkan legal standing para pemohon uji materi dan tidak mengabulkan permohonan uji materi atas UU tersebut. Sungguh sebuah kemunduran.
Jika kita tarik ke belakang, usaha untuk mengaburkan konsep “DIKUASAI oleh NEGARA” terkait dengan sektor produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, sebenarnya telah lama dilakukan oleh para intelektual dan pejabat negara kita sendiri. Ketika masih menjabat Kepala BKPM, Gita Wirjawan pernah menulis artikel di Kompas, 7 Oktober 2010, bertajuk “Nasionalisme Ekonomi”. Inti tulisan Gita adalah bahwa kepemilikan itu tidak penting, karena yang lebih penting adalah kemanfaatan. Jadi, tidak penting apakah negara menguasai atau tidak sektor-sektor strategis, asal bisa memberikan manfaat bagi masyarakat itu sudah cukup. Tentu saja itu pernyataan yang menggelikan. Bagaimana kita bisa memperoleh manfaat sebesar-besarnya atas sesuatu yang tidak kita miliki sendiri, jika sesuatu yang secara de facto dan de jure jelas-jelas kita miliki saja masih tidak sanggup memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya?!
Jika Anda ingat, Gita Wirjawan bukan satu-satunya orang yang pernah menggunakan argumentasi demikian secara terbuka. Ketika terjadi polemik keras mengenai siapa yang harusnya jadi operator Blok Cepu pada 2006 silam, yaitu antara Pertamina ataukah ExxonMobil, Rizal Mallarangeng juga pernah menggunakan argumentasi demikian. Celi, panggilan akrab Rizal, yang jadi spin-doctor-nya ExxonMobil, menulis di Tempo bahwa pengertian “DIKUASAI” itu tidak berarti “DIMILIKI” oleh negara, karena sejauh negara masih “mengatur” sektor atau bidang bersangkutan, “hak MENGUASAI”-nya tidak hilang.
Pandangan Celi dan Gita tadi merupakan contoh dari INTERPRETASI-DESTRUKTIF terhadap konsep “DIKUASAI oleh NEGARA” yang pernah disuarakan oleh kaum terpelajar Bumiputra. Pandangan itu semakin memperjelas bahwa agenda untuk merusak konstitusi ekonomi kita dilakukan secara terus-menerus dan selalu melibatkan tokoh-tokoh yang berpengaruh.
Jangan lupakan juga, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada 25 Maret 2004, dalam kesaksian di hadapan Komisis Konstitusi, ekonom senior M. Sadli bahkan secara tegas menyatakan bahwa mestinya kita saat ini menerima saja kapitalisme sebagai politik ekonomi negara. Namun, seandainya istilah “kapitalisme” itu masih dianggap jijik, dengan enteng Sadli mengusulkan agar istilah itu ditambahi saja dengan “Pancasila”, sehingga menjadi “Kapitalisme Pancasila”. Begitulah.
Pengaburan konsep “DIKUASAI oleh NEGARA”, celakanya seringkali justru merujuk kepada keterangan yang pernah disampaikan oleh Bung Hatta sendiri. Kita tahu, otak di balik Pasal 33 UUD 1945 adalah Hatta. Dan dalam sejumlah tulisannya, Hatta memang pernah menulis bahwa “dikuasai tidak sama artinya dengan harus dimiliki oleh negara”. Hanya saja, konteks pernyataan Hatta itu adalah untuk meluruskan kesan yang keliru bahwa politik perekonomian negara kita sama dengan negara-negara komunis, yang bersifat etatistik. Sehingga, jika dihadapkan pada persoalan bahwa negara semakin kehilangan otoritasnya dalam hal mengatur dan mengontrol sektor-sektor strategis karena minimnya faktor kepemilikan, Hatta tentu akan mengeluarkan pernyataan sebaliknya. Tak ada yang lebih jahat dari kenyataan bahwa pernyataan Hatta telah diperkosa untuk melegitimasi proses liberalisasi.
Jika kita baca lagi sejarah yang melatar-belakangi gagasan yang telah melahirkan Pasal 33, Hatta sebenarnya memperoleh gagasan tersebut dari Tan Malaka. Ketika Hatta masih seorang mahasiswa baru di Belanda, pada Juli 1922 ia pernah bertemu dengan Tan Malaka di Berlin, Jerman. Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Darsono itulah Hatta mendapatkan pemahaman awal mengenai interpretasi Tan Malaka mengenai komunisme, yang itu berbeda jauh dari interpretasi Stalin. Dalam penjelasan Tan Malaka mengenai diktatur proletariat di pertemuan itu, yang juga sekaligus merupakan kritik Tan Malaka terhadap Stalin dan Soviet, Hatta memperoleh kata-kata yang belakangan menjadi “keramat”: “Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Ya, kata-kata yang belakangan menjadi Penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945 itu diserap Hatta dari Tan Malaka.
Tidak heran, ketika pemerintahan Soekarno dan Hatta terlihat begitu lembek ketika berunding dengan Sekutu, terutama karena begitu mudah mengiyakan pengembalian asset-asset asing pasca-Proklamasi, Tan Malaka mengemukakan kritik kerasnya. Dengan tegas Tan Malaka mengemukakan bahwa konsep “DIKUASAI oleh NEGARA” itu semestinya mencakup pengertian (1) “DIMILIKI (owned)”, (2) “DIURUS” (managed) dan (3) “DIKERJAKAN” (operated) oleh negara. Hanya dengan pengertian itulah, menurutnya, negara bisa menjamin sektor-sektor produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak bisa memberikan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Benar kata Soekarno, “Jasmerah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah! Sebab, mereka yang gampang melupakan sejarah memang akan mudah ditipu oleh retorika memikat dari kaum terpelajar Bumiputra yang menjadi kaki tangan dari kepentingan asing.
Tarli Nugroho, Peneliti pada Mubyarto Institute Yogyakarta
Sumber: Berisik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar