Lima tahun lalu UGM menyumbang seorang bergelar guru besar untuk menjadi wakil presiden Republik ini. Dia dipilih karena tak punya ikatan dengan partai politik. Seorang budayawan terkemuka sampai harus membuat sejenis pidato kebudayaan untuk merayakan tokoh yang tak punya sangkut paut dengan partai politik tersebut, seolah itu adalah sebuah peristiwa politik dan kebudayaan yang penting.
Pengistimewaan itu sebenarnya ganjil, mengingat wakil presiden adalah sebuah jabatan politik. Bagaimana bisa mengoperasikan kekuasaan jika yang bersangkutan tak menguasai infrastruktur kekuasaan yang bisa diperhitungkan?!
Tak heran, kurang dari setahun menjabat, di hampir setiap penjuru Yogya bertebaran poster dan grafiti berisi foto yang bersangkutan dengan sebuah tulisan yang cukup menohok: “antara ada dan tiada”. Sesudah tak lagi menjabat, artinya sesudah lima tahun berlalu, kita juga kesulitan menemukan ingatan khusus atas kiprah yang bersangkutan.
Lima tahun sesudahnya UGM kembali menyumbang seorang alumninya untuk posisi yang bahkan lebih tinggi lagi. Ia juga dipuji dan dipercaya banyak orang karena tak punya ikatan yang kuat dengan partai politik.
“Rantai keterkaitannya dengan oligarki politik sangat lemah,” ujar seorang kawan, membelanya. “Betul. Tapi itu bukan hal yang istimewa, sebab itu terjadi karena dia memang bukan siapa-siapa sebelum ini. Dan celakanya, itu juga sekaligus menjadi penanda bahwa yang bersangkutan tak akan punya power untuk bisa melakukan apa-apa ke depannya,” kritik saya. Tentu saja selain sebentuk kekhawatiran, penilaian itu juga adalah sejenis proyeksi.
Dari Yogya, antara ada dan tiada. Apakah kita sedang mengulanginya?!
Sumber: Berisik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar