Selasa, 16 Februari 2016

Baper – Kata Tahun 2015

Saya ingin sekali mengawali tulisan ini seperti lumrahnya sebuah pengumuman. Tidak perlu bertele-tele, langsung membeberkan isi, tanpa direpotkan dengan latar belakang. Tapi saya tidak bisa. Mengumumkan sesuatu yang belum umum adalah pekerjaan yang lain cerita.

Malam itu di sebuah Warung Kopi

26 Desember yang lalu seorang sahabat, Ivan Lanin, berhasil mencuri waktu dari program wisata keluarganya di Jogja untuk mengunjungi saya. Kami bersua di sebuah warung kopi di bilangan Mrican, Jogja. Saya undang juga seorang kawan redaktur Lidahibu lain, Wahmuji, untuk mengobrol bersama. Kami bertiga, mulai bicara.

Seperti di beberapa silaturahmi sebelumnya, Ivan selalu punya misi: mengusik redaksi Majalah Lidahibu dari tidurnya yang, harus diakui, terlalu lama meski tidak lelap betul. Ivan mengajak redaksi untuk kembali berupaya melakukan sesuatu yang produktif ­– hal yang saya maknai sebagai bunyi lantang genta pemecah konsentrasi pada kontemplasi cendekia yang semata-mata.

Dari beberapa calon kerja yang diajukannya, yang cukup menarik perhatian saya adalah pembuatan sebuah Kaleidoskop Bahasa di ujung tahun 2016 mendatang. Saat membahas pokok tersebut, saya melontarkan gagasan “Kata Tahun 2016” sebagai salah satu isian kaleidoskop. Mata Ivan langsung berbinar mendengar usul ini. Dan, dasar Ivan, dia langsung melihat jam tangan, memeriksa tanggal, “Ini baru tanggal 26,” katanya, “Kita mulai saja dengan ‘Kata Tahun 2015’.”

Mengawali Tradisi

Belum ada tradisi memilih “Kata Tahun Ini” di Indonesia. Paling tidak, begitulah kesimpulan saya setelah melakukan penelusuran sederhana di dunia maya – penelusuran yang tentunya punya keterbatasan dan belum pantas dianggap sahih sepenuhnya. Otoritas bahasa kita, Badan Bahasa, baru mengawali kebiasaan penobatan bahasawi yang mulai mendekat ke ranah penutur pada tahun 2003, dalam bentuk Penghargaan Tokoh Berbahasa Indonesia Lisan Terbaik. Lumayan buat sebuah awalan.

Dalam konteks mengawali tradisi, di benak saya secara alami saja muncul pertanyaan mendasar: seberapa pentingkah pemilihan “Kata Tahun Ini” dibuat? Jawaban untuk pertanyaan ini bisa menghabiskan satu makalah sendiri, atau bisa juga dalam beberapa kalimat saja, tergantung seberapa dalam kita ingin menjawabnya, siapa yang menjawabnya, dan untuk tujuan apa pertanyaan itu dijawab. Yang pasti, upaya memilih “Kata Tahun Ini” akan membawa kita pada telaah atas ungkapan yang paling menonjol dalam mewakili tabiat, watak, dan tingkah laku penutur dalam menanggapi dan menghadapi berbagai peristiwa yang terjadi di sepanjang suatu tahun.

Biasanya otoritas bahasa merupakan salah satu pihak yang punya kepentingan dalam memilih “Kata Tahun Ini”. Tujuannya bisa jadi untuk keperluan keilmuan, bisa jadi sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai sebuah otoritas, bisa jadi sebagai salah satu bentuk puncak dari usaha-usaha rekam linguistis yang diselenggarakannya terhadap suatu masyarakat penutur dalam durasi setahun. Berbagai kelompok atau komunitas kebahasaan juga punya kebiasaan ini. Jadi, layaknya pemilihan-pemilihan lain dengan semangat sejenis, tentu ada berbagai versi.

Tidak jarang versi dari pihak yang satu mendapat banyak kecaman pun cercaan, sekalipun pihak tersebut merupakan pihak yang otoritas kebahasaannya punya riwayat dalam hitungan abad semacam Oxford Dictionaries. Terlepas dari sifatnya yang mengecam atau menyepakati, riuhnya tanggapan atas pemilihan suatu kata sebagai “Kata Tahun Ini” itu sendiri sudah membuktikan bahwa tidak sedikit orang yang punya perhatian terhadap bahasa dan, karenanya, terhadap kata.

Hal yang barang tentu wajib ada dalam proses pemilihan sebuah kata menjadi “Kata Tahun Ini” adalah tatacara dan argumen pendukung. Dalam konteks pembicaraan kami malam itu, satu hal lain yang harus dipunya adalah keberanian memulai sebuah tradisi. Setelahnya, tinggal pelaksanaan saja, dan biarkan penutur bicara.

Kata yang terpilih sebagai “Kata Tahun 2015″ kali ini telah melalui sebuah metodologi sederhana dalam hal pemilihan kandidat, penyelenggaraan jajak pendapat, pembuatan argumen pendukung sebagai penjelasan dan bentuk pertanggung-jawaban penyelenggara (artikel yang sedang Anda baca ini), sampai pada publikasinya. Sebelum saya umumkan “Kata Tahun 2015″ kita, saya terangkan dulu prosesnya.

Metode

Pemilihan Kata Tahun 2015 ini dilakukan pertama-tama dengan membuat sebuah daftar-pendek kandidat lewat survei. Karena punya kapasitas yang paling mumpuni di antara kami bertiga dalam hal melakukan survei daring, maka Ivan bertugas sebagai penyelenggara. Pembaca mungkin merupakan salah satu orang peserta survei yang dilakukan Ivan di akun Twitter dan Facebooknya.

Dari survei yang dipersiapkan dalam waktu singkat tersebut, terjaring 66 kata yang dipilih pengguna media sosial sebagai kandidat lewat akun Twitter dan Facebook Ivan. Satu tahap selesai sudah. Berangkat dari titik itu, proses dilanjutkan dengan mengajukan 2 kandidat teratas, baper dan kekinian, ke jajak pendapat berikutnya, yang dilakukan kali ini lewat akun Twitter Ivan saja. Ada 2.588 suara yang ikut serta. Hasil akhir jajak pendapat menunjukkan 63% suara bermuara di baper dan 37% sisanya menjadi milik kekinian.

Metode ini sederhana sekali dan tentu banyak kekurangannya. Idealnya, pemilihan kandidat dilakukan lewat penelusuran kata-kata yang tingkat kekerapan munculnya menonjol di sepanjang tahun (sedikit info: “pertama kali muncul di tahun tersebut” bukanlah syarat dalam pemilihan “Kata Tahun Ini”). Dibutuhkan mesin yang lebih berdaya untuk melakukan ini, dan kami tidak memilikinya. Dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk melakukan ini, dan kami telanjur melewatkannya.

Kekurangan lain dari jajak pendapat ini, seperti diutarakan Ivan sendiri, adalah bahwa karena survei awal dilakukan di penghujung tahun, para peserta survei mengusulkan kandidat yang masih segar dalam ingatannya saja. Boleh jadi ada kata yang sebetulnya sempat populer di awal atau tengah tahun namun sudah terlupa. Kendati demikian, metode sederhana (yang berdasar pada ingatan terkini) ini memiliki kelebihannya sendiri: kandidat yang dipilih adalah kandidat yang memang melekat dalam ingatan penutur, terlepas dari pengaruh lainnya. Pengaruh lain? Jadi begini, banyak kata atau ungkapan yang kemunculannya jadi populer karena peristiwa tertentu. Fenomena nama jadi kata dalam kasus korupsi Gayus dan mencuatnya istilah menggurita setelah peluncuran buku Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century karya George Junus Aditjondro adalah dua contohnya. Biasanya, kepopuleran kata atau ungkapan semacam ini bergantung erat pada kadar hangat peristiwa pemicunya itu sendiri. Sehingga, begitu peristiwa itu mulai dilupakan orang, kata atau ungkapan tersebut pun menurun popularitasnya. Dua kata yang terpilih sebagai kandidat utama Kata Tahun 2015 ini tampaknya terlepas dari peristiwa apapun di sepanjang tahun. Tidak ada peristiwa besar yang spesifik yang memicu ketenaran dua kata tersebut. Penutur sepertinya tetap mengingat dua kata ini dari awal kemunculannya sampai sekarang. Itu mengapa lebih banyak peserta survei yang memilih dua kata itu.

Perbandingan baper dan kekinian di Google Trends

Untuk memperoleh informasi statistik atas dua kandidat utama pemilihan Kata Tahun 2015 ini, Anda dapat melihat perbandingan derajat tren pencarian kata baper dan kekinian di Google Trends. Dari grafik yang ditampilkan di situ tampak sekali memang baper lebih trendi. Sementara itu, baper sendiri merupakan kata paling dicari di kategori pencarian “Apa Itu…” di sepanjang tahun 2015.

Baper – Selayang Pandang

“Jangan baper karena kekinian tidak terpilih sebagai Kata Tahun 2015,” kicau Ivan di saat saya sedang diburu waktu untuk menyelesaikan artikel ini. Ya, baper adalah Kata Tahun 2015 pilihan Jemaah Medsos Indonesia (yang ikut jajak pendapat, tentunya).

Baper merupakan akronim yang dibentuk dari bawa dan perasaan. Anda dapat melihat contoh penggunaannya di situsweb Kitab Gaul (semacam kamus yang isiannya diproduksi oleh pengguna, sama seperti Urban Dictionary). Setelah mengamati beberapa contoh penggunaan itu, saya sebetulnya berupaya merangkum sendiri makna baper. Namun ada seorang kontributor Kitab Gaul yang rupanya sudah merumuskannya dengan kece nan ciamik.

Rumusan dari Jundi Sibghatullah di Kitab Gaul itu kemudian saya tulis-ulang untuk tujuan redaksional saja. Inilah makna baper: “semacam perasaan yang datang secara tidak sengaja yang, bila dibiarkan berlarut-larut, akan menimbulkan komplikasi berkelanjutan”.

Betapa intensnya! Sulit mungkin mencari kata yang sepadan dengan makna rumit ini. Bisa jiper saya. Kemudahan mengacu pada makna panjang kali lebar kali tinggi dengan satu istilah pendek ini tampaknya memberi dampak pada penutur, mereka seperti menemukan satu alat ringkas dan terampil untuk mengungkapkan suatu emosi penting dalam hidup sehari-hari.

Keterangan etimologis dari baper agak sulit dicari. Dan mungkin karena ungkapan ini berkembang sebagai ragam cakapan, hampir tidak mungkin kita mampu menentukan dengan mutlak pasti kapan ia pertama sekali muncul. Meski demikian, mencari tanggal kemunculan pertamanya dalam bentuk tertulis di dunia daring merupakan pekerjaan yang bisa dilakukan. Nanti itu biar jadi urusan Ivan saja. Yang saat ini bisa disampaikan perihal asal-usul baper adalah bahwa kemungkinan ungkapan tersebut pertama sekali mencuat di tahun 2009 di kalangan tertentu (kemungkinan di kalangan pengguna narkoba) untuk mengacu pada kondisi terlalu sensitif akibat pengaruh madat. Informasi ini didapat dari percakapan Twitter Ivan dengan akun @zarryhendrik.

Dari beberapa contoh penggunaan yang tercantum di Kitab Gaul, bisa kita lihat bahwa akronim ini berperilaku layaknya kata sifat. Kita bisa bilang terlalu baper. Atau, lanjut ke bentuk turunannya: anak baperan. Bisa juga dalam ungkapan yang diawali kata keterangan, seperti jangan baper gitu, lah.

Bila kita bahas dari sudut morfologisnya, baper ini cukup unik. Kata yang membentuknya adalah sebuah kata kerja bawa dan kata benda perasaan. Kelas kata akhirnya adalah kata sifat. Langka saya menemukan paduan yang sama dengan hasil serupa. Ungkapan yang lumrah dari bawa perasaan adalah terbawa perasaan. Atau mungkin, bawa-bawa perasaan. Dua ungkapan versi lebih panjang ini mirip tapi tak sama. terbawa perasaan bermakna keadaan terseret emosi atau perasaan. Sementara itu, bawa-bawa perasaan bermakna menyertakan perasaan (sikap sensitif) ke dalam suatu pengalaman atau peristiwa. Yang manapun yang sebetulnya, menurut saya bentuk ganjil bawa yang bertugas sebagai salah satu kata pembentuk baper timbul karena hukum efisiensi. Wicara lisan memang sangat dicirikan oleh fitur ‘efisien’. Kalau bisa lebih singkat, kenapa berpanjang-panjang. Itu kenapa dipenggal saja terbawa jadi bawa atau disunat saja bawa-bawa jadi bawa. Kendati demikian, saya agak heran pula kenapa hukum yang sama tidak diterapkan pula pada perasaan. Atau, kalau memang mau taatasas, ya bisa saja kita bilang bahwa ba dalam baper merupakan penyingkatan dari terbawa atau bawa-bawa, walau ini tentu akan bertentangan dengan cara penutur menatabahasakan istilah ini menurut versi mereka.

Beberapa Sanggahan atas Sanggahan

Cepat saja ada sebagian orang yang bingung. baper itu kan akronim, sedangkan ini konteksnya Kata Tahun 2015? Ya, betul! Kebingungan Anda beralasan. Apakah akronim bisa dianggap kata? Bisa. Ingat rudal dan tilang? Pasti, ya. Ingat kepanjangannya apa? Banyak yang ingat, tapi ada juga yang tidak. Akronim adalah suatu bentuk ringkas yang memang memikat. Tidak heran kalau bentuk ini cukup digemari penutur. Ia bisa mewakili suatu himpunan makna yang dipanggul kepanjangannya dengan sekali pukul. Ini yang membuatnya memikat, maka tingkat penggunaannya begitu kerap sampai-sampai penutur kemudian mengenalinya sebagai kata. Selain itu, perhatikan pula bahwa penutur bahkan sudah menciptakan bentuk derivasi dari baper, yaitu baperan. Tidak mungkin sudah kita memahami baperan lewat bentuk panjangnya: bawa perasaanan. Muskil sekali! Terciptanya bentuk turunan dari baper sudah memeragakan betapa istilah ini telah menjadi kata, yang juga akronim.

Kepopuleran akronim, atau singkatan pada umumnya, juga bisa melebihi kepanjangannya. Saya ingat waktu saya memasuki gedung sebuah bank ketika berkunjung ke Manado. Saya ditanya satpam soal keperluan saya. Saya jawab saya mencari anjungan tunai mandiri. Dengan kepala agak dimiringkan, satpam mengulangi kata-kata saya dengan laju yang perlahan dan nada tanya sebagai lagu bicaranya. Langsung saja saya paham apa yang terjadi. “ATM!” kata saya. Dan dia dengan fasih langsung mampu menunjukkan letak ATM di gedung bank itu.

Baper itu ragam cakapan, ujar yang lain dengan nada protes. Ya, dan itu tidak jadi masalah. Memang yang dipililh adalah Kata Tahun 2015, bukan Kata Baku Tahun 2015. Jadi, tentu saja ragam tidak baku boleh jadi kandidat, bahkan pemenang. Oxford Dictionaries, misalnya, malah mengambil risiko lebih ngeri lagi. Mereka menabalkan sebuah piktograf, sebuah emoji, menjadi ‘kata’ tahun ini. Gambar atau ikon digital kecil berbentuk wajah bundar yang tertawa begitu lepas sampai-sampai menitikkan dua airmata bahagia itulah yang menjadi Word of the Year 2015 versi mereka. Alasannya? Seperti yang diutarakan Casper Grathwohl (Presiden Divisi Perkamusan Oxford Dictionaries) di sebuah wawancara, bahasa tradisional di era komunikasi elektronik seperti sekarang ternyata kurang mampu memenuhi kebutuhan pengguna media komunikasi elektronik akan suatu alat ungkap yang mampu membuat memeragakan emosi secara visual. Juga, karena secara statistik emoji tersebut mengalami pelonjakan kekerapan penggunaan yang dramatis di tahun 2015.

Lantas, apakah kata baper, yang sudah dimahkotai Kata Tahun 2015 ini akan abadi di lidah penutur bahasa Indonesia? Mana saya tahu. Saya bukan ahli nujum. Tapi bukan berarti abadi tidaknya kata ini tidak bisa kita periksa. Cuma, ya, butuh waktu juga untuk menilainya. Mungkin ini cocok jadi tugas saat menentukan Kata Tahun 2016 nanti. Biar kita lihat di ujung tahun depan seperti apa nasib pendahulunya. Terlepas dari itu, lagi pula, gelar yang diberikan untuk baper adalah Kata Tahun 2015, bukan Kata Abad Ini, misalnya.

Penutup

Seperti yang sudah saya akui, terpilihnya baper sebagai Kata Tahun 2015 ini merupakan hasil analisis statistik ditambah proses jajak pendapat dari lingkungan peserta survei daring yang jumlahnya terbatas. Tentu baper tidak mewakili perasaan semua penutur bahasa Indonesia. Saya sendiri sebetulnya lebih memilih kekinian. Tapi saya tidak mau baper hanya karena soal ini. Setidaknya, obrolan warung kopi yang terjadi di tanggal 26 Desember lalu bersama Ivan dan Wahmuji berbuah jadi satu kerja yang mengasyikkan. Soal kesederhanaan dan kekurangan metodologi dan alat telaah bisa disempurnakan nanti. Paling tidak, tiga munsyi nakal ini telah memulai sebuah tradisi. Dan semoga di tahun depan Anda tidak perlu berjumpa dengan artikel berlatar belakang sepanjang ini saat Kata Tahun 2016 diumumkan.

Selamat Tahun Baru! Semoga semua makhluk berbahagia dan tidak terlalu baper.

Sumber: Lidah Ibu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...