Tekad Gubernur Spanyol di Filipina, Juan de Silva, mengenyahkan Belanda. Perang antarpenjajah yang berujung bencana.
SPANYOL dan Portugis pasang badan begitu Belanda menjejak Banten pada 1596. Mereka jelas tidak mau berbagi pengaruh komersial apa pun dengan Belanda di Nusantara. Terlebih Spanyol yang tengah menghadapi perang kemerdekaan Belanda di Eropa.
Belanda membangun pos dagang pertamanya di Banten pada 1603. Benteng Victoria milik Portugis di Ambon direbut pada 1605 dan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) mendirikan pusat dagangnya di sana. Bahkan pada 1609, armada Belanda mengepung Manila, kota dagang utama Spanyol di Timur Jauh.
Peta persaingan itu diperhatikan oleh Gubernur Spanyol di Filipina, Juan de Silva. Dia bertekad mengusir Belanda untuk selamanya dengan menyerang pos-pos dagang Belanda di Jawa dan Maluku menggunakan armada besar, gabungan Spanyol dan Portugis. Saat itu, takhta Spanyol dan Portugis sudah bersatu sejak 1580, di bawah kekuasaan Philip II.
Tahun 1611 di Manila, de Silva membangun armadanya. “Sang gubernur mengerahkan tenaga kerja dan menaikkan pajak rakyat Filipina, bahkan meminta dana, orang, dan amunisi tambahan dari New Spain (Meksiko) untuk membiayai ambisi militernya ini,” tulis Peter Borschberg dalam The Singapore and Malaka Straits: Violence, Security and Diplomacy in the 17th Century.
Awal 1615, de Silva juga mengirim utusan ke Goa di India, pusat pemerintahan Portugis untuk urusan dagang di Timur Jauh. De Silva berhasil membujuk Gubernur Portugis, Jeronimo de Azevedo. Empat kapal galleon milik Portugis dari Goa dijadwalkan akan tiba di Manila sekitar Juni 1615.
Namun, armada Portugis tak kunjung tiba pada Juli 1615, ketika de Silva sudah bersiap dengan armadanya. De Silva menghimpun armada Eropa terbesar yang pernah dilihat di kawasan itu, terdiri dari 10 galleon, 4 galley, 1 patache dan 3 frigate. Dia membawa 5.000 orang, 2.000 di antaranya tentara Spanyol, juga 500 tentara bayaran Jepang. Armada itu dipersenjatai 300 meriam dan 56 ton bubuk mesiu.
“Kapal utamanya adalah La Salvadora (2.000 ton); San Marcos (1.700 ton); San Juan Bautista dan Espiritu Santo (masing-masing 1.300 ton); San Miguel dan San Felipe (800 ton); Nuestra Senora de Guadalupe dan Santiago (700 ton); San Andres (500 ton); dan yang paling kecil, San Lorenco (400 ton),” tercantum dalam laporan Juan de Rivera dan Valerio de Ledesma, dimuat di The Philippine Islands 1493-1898: Volume XIX, 1620-1621 suntingan Emma Helen Blair.
De Silva memutuskan berangkat. Tujuannya tidak langsung ke Jawa atau Maluku, tetapi Malaka, berharap untuk bertemu armada Portugis yang tak ada kabarnya.
Ke Manakah Armada Portugis? Ternyata, sudah hancur lebur di Malaka. Satu kapal hancur ketika armada itu tak sengaja bertemu dengan pasukan Aceh yang tengah menyerbu Malaka pada September 1615. Sisanya diserang mendadak oleh pasukan Belanda; satu kapal direbut, dan dua sisanya dibakar oleh awaknya sendiri.
Pada 25 Februari 1616, de Silva tiba di Malaka. Barulah dia mengetahui bahwa armada Portugis yang dinantinya sudah binasa. De Silva, yang tengah sakit keras, dan armadanya pun luntang-lantung. Dia akhirnya meninggal pada 19 April 1616. Tanpa pemimpin, armada itu memutuskan pulang ke Manila. Pun setibanya di sana, banyak dari awaknya yang tewas karena wabah penyakit. Ekspedisi itu berakhir dengan tangan hampa.
“Armada Spanyol dan Portugis tidak pernah bertemu. Armada Spanyol yang dibanggakan itu tidak pernah pula bertempur dengan musuh. Penyakit merongrong awaknya tiap hari. Beberapa sumber menyebut korbannya ratusan, menyalahkan cuaca buruk dan air yang tidak bersih sebagai penyebabnya,” tulis Peter Borschberg.
Setelahnya, Belanda kian menantang dominasi Spanyol-Portugis. Selain berhasil menguasai Maluku dari Portugis, Belanda juga sempat mengepung Manila kembali. Pengaruh dagang Spanyol-Portugis di Nusantara pun kian terkikis, sebelum akhirnya benar-benar lenyap dan digantikan oleh Belanda di abad ke-18 dan 19.
Sumber: Historia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar