Jumat, 21 Agustus 2015

Khotbah tentang Kebosanan

PEMBACA tentu pernah bersua orang, mengerjakan kegiatan, atau berada dalam situasi yang membosankan. Sebagai manusia pasti kita pernah mengalami kebosanan. Tak banyak orang yang hidup membosankan. Tapi kalau kita tengok riwayat orang-orang besar, sebagian besar kehidupan mereka diisi bagian-bagian yang buat kebanyakan orang membosankan. Immanuel Kant seumur hidupnya tak pernah pergi lebih dari 10 km dari kampung halamannya. Nyaris tiap hari dia menempuh jalan yang sama pada jam yang sama. Nyaris seperti bintang gemintang di langit yang dikaguminya, kehidupannya beredar dari situ-situ saja. Charles Darwin juga mirip. Sepulangnya dari ekspedisi Galapagos, nyaris Darwin tak pernah keluar kotanya. Setelah ikut terjun dan menjalani hidup menggairahkan di antara revolusi-revolusi Eropa, Marx menghabiskan setengah umurnya di British Museum mengulik bahan yang itu-itu saja.

Buat kita, terlalu banyak bagian membosankan dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, sepertinya ada sesuatu yang tak kita pahami bahwa kehidupan yang tenang dan sepintas membosankan merupakan ciri kehidupan orang besar. Tak ada hasil besar yang mungkin dicapai tanpa kerja tekun dengan asyik dan pelik sehingga tenaga yang tersisa untuk digunakan mencari hiburan sebegitu terbatasnya. Sepertinya kemampuan untuk menanggung kehidupan yang kurang lebih monoton merupakan kemampuan orang besar. Mungkin itupula yang menjadi syarat bagi sistem pengorganisasi masyarakat yang lebih adiluhung.

Kata orang Das Kapital itu buku tebal nan membosankan. Seumpama Marx kelahiran 1986, dan baru tahun 2015 menyelesaikan naskah Das Kapital, kira-kira apa komentar pihak penerbit jaman sekarang terhadap naskah setebal 1000 halaman itu? Mungkin begini: Anda tak mudah berharap pembaca tertarik pada uraian Anda, terutama tiga bab pertama yang berbelit-belit. Tolong ya, pikir ulang. Sepertinya Anda ingin menuliskan semua hal panjang-lebar. Begini saja, coba Anda buang bagian-bagian yang terlalu filosofis, ambil bagian menariknya, dan kembalikan naskah Anda setelah dikurangi setidaknya 200 halaman saja.

Si Marx kelahiran 1986 tentu akan insaf, penerbit sedang berbisnis mengumpulkan laba, bukan menumpuk pahala. Naskah yang terlalu tebal tak cuma secara teknis menyulitkan penjilidan, tapi terutama merepotkan penjualannya. Apalagi si Marx kelahiran 1986 bukan dosen yang bisa jual-paksa bukunya ke mahasiswa. Jadi wajarlah komentar pihak penerbit macam begitu. Mereka tahu betul ketakutan para pembaca jaman tweeter 140 karakter pada kebosanan. Secara statistik, semakin tebal buku, semakin besar kemungkinan banyak bagian-bagian yang membosankannya. Karena kebosanan pembaca berbanding lurus dengan tingkat penjualan, tak heran penerbit menolak menerbitkan naskah Das Kapitalnya Marx kelahiran 1986 yang tebal itu.

Kalau memang Das Kapital mengandung bagian-bagian yang membosankan, memangnya kenapa? Seburuk itukah kebosanan bagi kita sehingga kita harus senantiasa mencari cara agar lepas darinya? Tak adakah hikmah yang bisa dipetik dari kebosanan? Bukankah kebosanan itu bukan sesuatu yang eksternal, tapi bagian tak terpisahkan dari realitas kehidupan manusiawi?

Realitas itu dialektis. Kebosanan berelasi internal dengan kegairahan. Meski kita menilai kegairahan lebih tinggi ketimbang kebosanan (dan itu dibuktikan oleh segala bentuk upaya banyak orang lepas dari kebosanan), tak mungkinlah kita menghidupi hidup melulu dalam kegairahan. Sebelum mengenal pertanian, leluhur kita hidup berburu-meramu. Betapa menggairahkan hidup macam itu. Berburu dan berpindah-pindah tempat tinggal itu menggairahkan. Apa pasal? Nyaris tak ada jeda antara rencana dan pengejawantahannya. Berhasil atau tidak, si pemburu segera tahu apakah pengejawantahan rencananya berhasil atau tidak. Ada deg-degan permanen dalam kehidupan mereka.

Kebalikannya, ketika leluhur kita menemukan pertanian 10.000 tahun silam dan mulai tinggal menetap, kebosanan mendominasi. Ada jeda panjang antara rencana tanam dan hasil panen. Di antara kedua momen tak ada kegiatan yang harus dilakukan. Kebosanan pun lahir. Untuk membunuhnya diciptakanlah kegiatan yang tak mesti dilakukan. Bikin patung, lukisan, atau kerajinan tangan, misalnya. Ketika surplus produksi berkembang, ada simpanan makanan yang memungkinkan kegiatan membunuh bosan semakin beraneka ragam. Menciptakan dewa dan lembaga pemujaannya, misalnya.

Kegairahan melulu itu melelahkan. Pun tak menghasilkan apa-apa yang baru karena siapa juga yang mau meninggalkan hal bergairah. Karena itu jatuhnya tak akan jauh dari tanah kebosanan yang baru. Sebaliknya, meski kebosanan juga melelahkan, kebosanan atas apa-apa yang lama mendorong hasrat untuk menciptakan yang baru. Jadi, tak ada nilai inheren di dalam keduanya. Keduanya terikat satu sama lain dalam relasi dialektis. Dan itu bukan sekadar bumbu kehidupan. Itulah realitas objektif psikologi manusia sebagai mahluk biologis sekaligus simbolis. Sebagai yang biologis kehidupan manusia itu konservatif; sekadar reproduktif. Sebagai yang simbolis manusia itu kreatif, akumulatif. Di atas keduanya, manusia itu dapat berpikir rasional. Karena kebosanan dan kegairahan tak bisa mengada tanpa satu sama lain, perlulah kiranya mengisyafinya secara sadar. Yang perlu dilakukan bukanlah mengejar yang satu dan meninggalkan yang lain, tapi menguasainya. Nyaris seperti semua hal, keduanya bersifat kuantitatif. Karenanya, untuk bisa hidup manusiawi diperlukan setakar tertentu untuk sanggup menanggung kebosanan.

Kapitalisme dicirikan oleh antipatinya terhadap hal-hal lama. Ada semacam obsesi akan segala sesuatu yang baru. Kelas dominan di bawah kapitalisme, borjuasi, kata Marx “tak dapat ada tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi”. Di bawah kendalinya, “semua yang padat memuai ke udara”, semua yang lama ditanggalkan, dan semua yang baru-baru segera menjadi lama dan membosankan. Seperti anak kecil, kapitalisme itu sistem yang cepat merasa bosan. Sudah menebar kapital ke tanah di delapan penjuru mata angin lewat kolonialisme, kapital perlu sarana baru untuk membumbungkan dirinya. Sudah Revolusi Industri, kapital mengejar wahana baru penanamannya. Bosan dengan manufaktur yang lambat balik modalnya dibuatlah instrumen investasi finansial. Seperti Raja Midas yang keranjingan emas, pada akhirnya kapital menyentuh dirinya sendiri. Modal dan uang diperjualbelikan. Itu belum selesai. Ketika wahana investasi finansial dianggap terlalu biasa, dikapitalisasilah segala hal. Tak cuma baju, lampu, ikan kerapu yang dijadikan objek jual-beli, tapi juga iklim dan masa depan. Pasar untuk hal-hal yang tak ada dimungkinkan. Meski moralitas borjuasi menghalangi jual-beli manusia, tak sulit kiranya kapital merambah ke pasar baru ini. Bukankah sejak abad ke-18 tenaga kerja manusia sudah kita jadikan barang dagangan? Apa salahnya melangkah sekali lagi untuk menjadikan manusianya sendiri sebagai barang dagangan? Tak patutlah kita halangi kebebasan kapital. Itu sama dengan penindasan. Kebebasan itu mutlak. Terutama jalan bagi arus kapital.

Seperti kanak-kanak yang tak mampu mengendalikan hasrat terus-menerusnya akan hal-hal baru dan melepaskan diri sesegera mungkin dari belenggu kebosanan, kapital tak punya daya mengendalikan hasratnya akan kegairahan abadi. Tak cuma wilayah-wilayah geografis dan batas-batas politik baru, tapi juga segi-segi kehidupan manusia mestilah dibuka sebagai wahana kapital mempergemuk diri sendiri. Seperti kegairahan kanak-kanak, kegairahan kapital itu tertuju pada dirinya sendiri. Kapitalisme menghendari kemerdekaan. Tapi buat dirinya sendiri. Kemerdekaan kita sebagai manusia sekadar efek samping. Apabila kemerdekaan manusia menghalangi, wajarlah bila didepak dari jalannya kapital. Tak perlulah tetek bengek perencanaan sosial. Omong kosong itu sosialisme yang adiluhung. Tak ada yang alamiah dengan pengendalian diri. Semua orang harus bebas menentukan nasib dirinya. Karena itu, kapitalis—sebagai perwujudan sosial dari kapital—juga harus dibebaskan dari halangan mengejawantahkan kepentingan-kepentingannya mengakumulasi kekayaan demi kekayaan itu sendiri.

Obsesi kapitalisme pada kegairahan akan segala yang baru menjadikannya lupa diri bahwa tak ada yang namanya kegairahan abadi. Kata Marx memang, “perevolusian produksi terus-menerus, guncangan semua kondisi sosial tak terputus, ketidakpastian dan agitasi abadi membedakan epos borjuis dari semua cara produksi sebelumnya”. Hasrat akan pasar yang memperluas terus-menerus mendorong borjuasi menjarah ke seluruh permukaan bumi, “ia harus bersarang di mana-mana, tinggal di mana-mana, dan menegakkan kaitan di mana-mana” dengan simpul kapital yang kepentingan satu-satunya hanya mengakumulasi diri sendiri. Kapitalisme hendak menghapus kebosanan dari kehidupan seperti para pecandu naskoba. Tapi tiap kali kegairahan ditemukan, kebosanan baru memerlukan takaran lebih hebat dari sebelumnya. Tiap kali kegairahan dari menjarah wilayah atau sektor baru investasi ditemukan, kebosanan baru memerlukan derajat ekspoitasi yang lebih hebat dari sebelumnya. Eksploitasi tak cuma soal teknologi, tapi juga administratif dan ideologis. Mereka takut pada kebosanan perencanaan sosial yang bertele-tele. Padahal, kebosanan dan kegairahan terpaut dalam relasi dialektis. Begitu pula kebabasan dan perencanaan. Karena obsesi akut akan kegairahan abadi inilah kapitalisme bukanlah sistem yang cocok untuk manusia. Kapitalisme hanya cocok untuk virus.***

Jatinangor, 17 Agustus 2015

Sumber: Indoprogress

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...