Senin, 31 Agustus 2015

Membaca Gerak Industri Televisi

Industri televisi swasta tumbuh dalam kontradiksi. Tegangan antara institusi bisnis dan institusi sosial.

Mari cermati beragam kritik terkait industri televisi yang akhir-akhir ini muncul dalam diskursus ruang publik kita. Industri televisi dianggap telah menyalahgunakan pengelolaan frekuensi dengan menayangkan berbagai tayangan yang tidak bermanfaat bagi publik. Penyalahgunaan frekuensi ini merentang dalam banyak hal, mulai dari penggunaan televisi untuk kepentingan politik (seperti yang kita lihat selama hiruk-pikuk pemilu), sampai penayangan berbagai tayangan hiburan yang terasa berlebihan (seperti siaran langsung pernikahan selebritas).

Rangkaian kritik tersebut, jika dirangkum, bertolak dari pandangan bahwa televisi—seperti media pada umumnya—mula-mula adalah sebuah institusi sosial. Sebagai sebuah institusi sosial, di dalam televisi melekat sebuah tanggung jawab agar berbagai tayangan yang ditampilkan memiliki manfaat secara langsung bagi “kepentingan publik”. Problemnya, di saat yang bersamaan ia juga merupakan institusi bisnis. Dengan kata lain, televisi berada dalam tegangan antara apakah ia harus menjalankan fungsi sosialnya, atau melakukan akumulasi keuntungan sebesar-besarnya.

Televisi di Indonesia dianggap lebih menonjolkan perannya sebagai institusi bisnis yang berjalan dalam logika kapital. Pertanyaannya, mengapa bisa demikian?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengajukan tesis bahwa sedari mula, kehadiran televisi swasta di Indonesia memang diniatkan sebagai sebuah institusi bisnis yang menarik kapital besar. Independensi dan peran sosial-politik televisi swasta dibonsai rezim sejak awal. Ini berbeda dari sejarah media cetak di Indonesia yang awal kehadirannya lebih memiliki semangat sebagai institusi sosial. Pangkalnya, tidak seperti sektor ekonomi lain di era 1980-an di mana pemerintah mengeluarkan paket deregulasi secara bebas, dalam pengawasan televisi tidak keluar paket deregulasi.

Pemerintah Orde Baru dengan sadar bisa melihat kemungkinan bahwa deregulasi di sektor televisi bisa membawa kemungkinan hilangnya kekuasaan dan hegemoni negara. Itulah mengapa liberalisasi ekonomi tidak dibarengi liberalisasi politik. Karena jelas esensinya tidak dimaksudkan untuk mendorong proses demokratisasi, namun cenderung dimaksudkan untuk membuka keran masuknya kapital yang semakin mendorong ekonomi pasar (Wahyuni, 2000: 172).

Gerak Industri Televisi

Industri media di Indonesia tidak pernah sama sejak munculnya televisi swasta di akhir dekade 1980-an. Semakin berkaitnya Indonesia pada arus modal internasional seiring masifnya perkembangan teknologi komunikasi telah menimbulkan kekhawatiran pemerintah. Kekhawatiran yang muncul karena di satu sisi rezim tetap ingin memelihara struktur politik otoritarian dan di sisi lain harus memenuhi tuntutan liberalisme ekonomi internasional menciptakan dinamika sendiri dalam struktur ekonomi kapitalis Orde Baru (Hidayat, 2000: 127-164).

Dalam konteks itu monopoli informasi yang dilakukan pemerintah dengan menggunakan TVRI mendapatkan ancaman yang tidak main-main. Ledakan perkembangan teknologi video serta transmisi luberan di daerah-daerah perbatasan membuat orang memiliki sarana untuk mengakses tayangan selain dari TVRI.

Sementara pada waktu yang sama, tayangan-tayangan yang muncul di TVRI pun mengalami penurunan kualitas. Pelarangan iklan di tahun 1981 telah membuat televisi pemerintah ini kekurangan dana untuk memproduksi tayangan-tayangan yang menarik penonton. Mau tidak mau, ada kebutuhan untuk melahirkan televisi-televisi swasta yang bisa menarik kembali para penonton dari pengaruh produk “asing” agar tidak membahayakan kehidupan rezim namun tetap bisa dikontrol dan tidak membahayakan “stabilitas”.

Untuk membaca gerak industri televisi komersial sejak awal kemunculannya sampai sekarang sendiri bisa kita baca dengan meminjam pisau analisis yang diajukan Vincent Mosco dalam buku the Political Economy of Communication (2009) yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturisasi.

Komodifikasi berkaitan dengan tiga hal; konten, audiens, pekerja. Komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar. Jika nilai-guna sebuah tayangan televisi diukur dari kegunaannya dan berakhir dengan konsumsi (ditonton), maka nilai tukar diukur dari potensi tayangan-tayangan tersebut dijual dan berakhir dengan pertukaran.

Tayangan-tayangan yang sebelumnya tidak memiliki makna diolah sedemikian rupa oleh televisi untuk mendapatkan "nilai tukar". Pemilik televisi mengubah nilai guna menjadi nilai tukar dengan menjual tayangan-tayangannya kepada para pengiklan. Semakin besar jumlah penonton yang mengakses tayangan tersebut, bagi pengiklan akan semakin tinggi nilai atau harganya. Rating televisi menjelaskan bagaimana proses itu terjadi.

Pada awal kemunculan televisi swasta, tayangan-tayangan yang nyerempet politik dilarang. Informasi politik terpusat di TVRI. Mau tidak mau televisi swasta harus mengembangkan tayangan-tayangan non-politik dan yang pasti, menghibur dan mengundang pengiklan. Proses komodifikasi juga berlangsung lebih cepat karena kemunculan televisi swasta di Indonesia tidak berada dalam kerangka melakukan liberalisasi informasi (televisi) melainkan untuk mempertahankan dominasi rezim Orde Baru.

Monopoli yang sebelumnya berada dalam genggaman TVRI digeser kepada televisi-televisi swasta. Izin kepemilikan televisi swasta diberikan kepada kroni-kroni rezim dan digenjot untuk melakukan produksi konten-konten lokal sementara TVRI tetap menjadi “panglima” di mana televisi-televisi swasta wajib me-relay tayangan-tayangan tertentu. Modal dalam industri televisi pun tetap bisa berputar.

Perhatikan nama-nama yang mendapatkan izin pemerintah untuk memiliki televisi swasta. RCTI dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto, TPI dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan anak pertama Soeharto, SCTV dimiliki Henry Pribadi dan Sudwikatmono pengusaha yang dekat dengan keluarga Cendana, ANTV dimiliki Bakrie Group dan Agung Laksono yang merupakan elite Golkar. Sementara Indosiar dimiliki Salim Group milik Liem Sioe Liong yang merupakan lingkaran dekat Soeharto.

Dengan laju tayangan-tayangan televisi lebih banyak didasarkan pada orientasi profit. Bisa dilihat bahwa angka impor tayangan asing yang mencapai 90%, televisi swasta yaitu berupa film-film barat, telenovela, kartun-kartun, dan program populer lainnya (Sen dan Hill, 2001: 140). Dalam proses komodifikasi, kapital bertindak untuk memisahkan pengetahuan dari ketrampilan mengeksekusi tugas. Akhirnya para pekerja televisi hanya bekerja demi tujuan memperoleh akumulai kapital. Jurnalis atau pekerja televisi teralienasi dari produk jurnalistik atau tayangan yang mereka hasilkan.

Spasialisasi merupakan proses untuk mengatasi hambatan ruang dan waktu dalam mekanisme produksi. Dengan kata lain, ia melipat ruang dan waktu untuk melakukan akumulasi kapital. Proses ini dilakukan dengan dua cara, horizontal dan vertikal. Spasialisasi horizontal muncul ketika pemilik modal menggabungkan berbagai jenis media dalam satu kontrol kepemilikan. Misalnya, pemilik media konvensional seperti surat kabar melakukan pembelian televisi maupun media online. Atau juga sebaliknya.

Sedangkan spasialisasi vertikal berjalan ketika pemilik media menggabungkan perusahaan dari berbagai jenis industri untuk mendapatkan kontrol atas proses produksi. Spasialisasi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan berlipat sekaligus mengurangi ketidakpastian pasar yang bisa menghambat mekanisme produksi.

Contoh spasialisasi ini semakin gamblang dilihat dalam industri media pasca 1998. Misalnya saja seperti Kompas Gramedia Group (KKG) yang pada awalnya fokus dalam bisnis media cetak kemudian membuat Kompas TV yang bekerjasama dengan stasiun televisi daerah. Contoh lain misalnya kepemilikan Bakrie Group yang tidak hanya memiliki saham dalam industri media tetapi juga menguasai bisnis lain seperti telekomunikasi, agribisnis, dan minyak.

Strukturisasi menjelaskan proses pembentukan struktur sosial oleh agen, di mana bagian-bagian dalam struktur tersebut saling mempengaruhi masing-masing bagian serta struktur secara keseluruhan. Strukturasi menghasilkan serangkaian relasi kuasa maupun hubungan sosial baik di antara kelas gender, ras, sampai ihwal gerakan sosial. Dalam konteks industri televisi bisa disederhanakan bahwa struktur (politik, sistem penyiaran, tayangan-tayangan televisi) dan penonton (individu) saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.

Ilustrasi sederhana yang menjelaskan konsep ini misalnya ketika kita melihat istilah “frekuensi milik publik” hari-hari ini. Istilah tersebut sebenarnya memiliki konsekuensi politik yang besar karena membuat televisi sebagai penyewa frekuensi memiliki tanggungjawab sosial untuk memproduksi tayangan-tayangan yang memiliki manfaat atau, paling tidak, tidak melanggar kepentingan publik. Namun ia tidak begitu populer di mata masyarakat. Karena sejak awal keberadaannya, industri televisi dimaklumi untuk melakukan akumulasi kapital, maka mereka berhak menggunakan frekuensi sekehendaknya. Bahkan ketika tayangan-tayangan yang ditampilkan bermuatan negatif bagi kepentingan publik.
Menggeser Monopoli

Seperti disinggung di atas, industri televisi berjalan dalam pengawasan yang ketat dari pemerintah dengan proteksi ketat yang diberlakukan sejak awal. Artinya, kepemilikan yang dimiliki pemilik televisi tersebut sebenarnya tidak memberikan kontrol sempurna atas proses produksi. Campur tangan pemerintah yang terlalu banyak membuat prinsip persaingan bebas terhambat. Selain itu, industri televisi di Indonesia juga tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai sehingga tidak terjadi industrialisasi yang mandiri. Inilah yang disebut oleh Yoshihara Kunio (1990)sebagai kapitalisme semu (ersatz).

Besarnya campur tangan pemerintah dan minimnya teknologi yang memadai misalnya bisa dilihat dari keberadaan TPI. Meski memakai nama televisi pendidikan yang salah satu tujuan awalnya ingin membantu program-program pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), dalam perkembangannya definisi “pendidikan” yang muncul dalam tayangan-tayangannya menjadi begitu luas. Dengan menyandang status sebagai Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan (SPTSP) berdasarkan Surat Keterangan Menteri Penerangan No. 111/1990, TPI bisa bersiaran secara nasional.

Ironisnya, siaran nasional yang dilakukan TPI dilegalkan dengan menggunakan studio dan infrastruktur penyiaran yang dimiliki TVRI. Pada titik ini TPI mendapatkan keuntungan yang luar biasa karena bisa menjangkau penonton dalam skala yang lebih luas dibanding televisi swasta lain yang masih dibatasi wilayah tertentu. Kelak, berbagai kemudahan dan fasilitas yang didapatkan TPI ini menghancurkan model sistem televisi berjaringan di Indonesia yang sebelumnya hendak dikembangkan, jika melihat gagasan awal kemunculan televisi komersial.

Upaya pemerintah untuk tetap memegang kontrol informasi juga terlihat dari berbagai regulasi yang tumpang tindih dan tambal sulam. Misalnya bisa dilihar dari Surat Keputusan Menteri Penerangan No 111/1990 yang menjelaskan tentang pembagian Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan yang diberikan otoritas bersiaran nasional dan Stasiun Televisi Swasta Umum yang hanya boleh bersiaran lokal. Regulasi ini menjadi dasar bagi struktur desentralisasi televisi yang kemudian populer disebut sistem televisi jaringan.

Namun, struktur desentralisasi tersebut diubah secara radikal melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 84A tahun 1992 dan Nomor 04A/1993. Sederhananya, regulasi tersebut mengatur tentang perubahan siaran saluran terbatas menjadi siaran nasional. Sejak saat itu semua televisi swasta diizinkan bersiaran secara nasional (Kitle, 2000: 140). Itulah awal mula terbentuknya sistem yang sangat tersentralisasi di Jakarta yang sampai saat ini sangat merugikan penonton televisi di daerah luar Jakarta.

Belanja iklan melambung tinggi setelah terbentuknya sentralisasi penyiaran. Stasiun televisi diuntungkan karena bisa meraup iklan sebanyak-banyaknya bila dibandingkan dengan ketika hanya bersiaran lokal. Tahun 1993, ketika televisi sudah diizinkan beroperasi nasional, belanja iklan televisi sudah mencapai angka Rp 613 M. Jangan lupa juga bahwa pada tahun ini pemerintah sudah menyatakan bahwa tidak akan ada lagi izin siaran bagi televisi swasta yang mau masuk gelanggang.

Bukankah ini menjadi upaya proteksi untuk tetap menjaga para pemain lama yang sudah ada? Apalagi jika menyimak pada 1995, belanja iklan televisi melejit 300 % menjadi lebih dari 1, 6 Triliun. Pada tahun 1997, ketika badai krisis ekonomi mulai menyerang, belanja iklan televisi lebih dari Rp 2, 6 triliun (Armando, 2011: 131).

Televisi menjadi industri yang padat modal. Pemerintah pun berusaha menjaga stabilitas pasar agar kelanggengan rezim tetap terjaga dan akumulai kapital sebesar-besarnya tetap didapatkan oleh kroni-kroninya.

Puncak upaya pemerintah adalah ketika pembahasan RUU Penyiaran pertama yang akan dimiliki oleh Indonesia. Melihat dominasi kroni Soeharto yang bermain dalam industri televisi, muncul suara-suara dari DPR agar regulasi mulai diperketat. Salah satu yang krusial adalah soal pembatasan jangkauan siaran nasional hingga 50% dari populasi nasional. Jika aturan ini diberlakukan, pendapatan iklan para pemilik televisi akan menurun drastis. Tapi tentu saja itu tidak terjadi.

Anak-anak Soeharto yang memiliki televisi berhasil memaksa ayahnya agar menolak rancangan yang diusulkan DPR. Inilah rancangan undang-undang pertama di era Orde Baru yang ditolak oleh Soeharto dan dikembalikan kepada DPR untuk direvisi. Klausul ihwal pembatasan siaran tadi akhirnya dihapus.

Kontrol negara selama bertahun-tahun telah dengan berhasil membentuk pasar media yang kuat dan tetap menguntungkan secara bisnis. Reformasi 1998 tidak banyak mengubah struktur pasar media yang sudah terbentuk. Struktur kepemilikan memang berubah, tidak didominasi lagi oleh kroni Soeharto. Namun wajah televisi tetap dihadapkan pada kebijakan negara yang berselingkuh dengan industri televisi. Sementara kita, para penonton televisi, tetap hanya menjadi pasar yang menggiurkan. []

Daftar Pustaka

Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Televisi dan Intervensi Negara : Konteks Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi. Yogyakarta: Media Pressindo
Hidayat, Dedy N. Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru dalam Hidayat, Dedy N (editor). 2000. Pers dalam “Revolusi Mei” : Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia
Sen, Krishna dan David Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: Institut Arus Studi Informasi
Kitley, Philip. 2000. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi
Armando, Ade. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia : Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta: Bentang Pustaka

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...