Keluarga dan partai: dua hal ini kadang bisa bertaut dan berjalan beriringan. Namun, tidak jarang pula keduanya juga saling berkontradiksi dan mengurung kita pada pilihan pahit: keluarga atau partai.
Ini pula yang menimpa Feng Wanyu (Gong Li), seorang guru sekolah menengah di Tiongkok, dalam film terbaru garapan sutradara Zhang Yimou, Coming Home (2014). Film ini mengambil konteks sosial-historis masyarakat Tiongkok semasa Revolusi Kebudayaan di tahun 1970-an.
Lu Yanshi (Chen Daoming), suami dari Feng Wanyu, adalah seorang professor yang dicap “kontra-revolusi” oleh pemerintahan revolusioner Tiongkok kala itu. Karena itu, Lu harus menjalani proses ‘re-edukasi’ di sebuah penjara kerja paksa (sering disebut: Laogai).
Pasangan Feng dan Lu dikaruniawi seorang putri berusia belasan tahun, Dandan (Zhang Huiwen), yang sangat menggemari balet. Dia merupakan siswa di Akademi Tari milik Partai Komunis. Ia sangat terobsesi mendapat peran utama dalam pementasan tari “detasemen perempuan merah” (Red Detachment of Women).
Kontradiksi pun muncul. Suatu hari, Lu ketahuan melarikan diri dari penjara kerja paksa. Petugas politik dari penjara mendatangi Feng dan Dandan dan mencegah keduanya untuk bertemu dengan Lu. Feng, yang sudah puluhan tahun tidak bersua dengan suaminya, agak berat untuk menerima perintah tersebut. Ia menyimpan keinginan untuk menjumpai suaminya.
Lain lagi dengan Dandan. Ia ditinggal oleh ayahnya, Lu Yanshi, ketika masih berusia 3 tahun. Memori yang terekam di ingatannya hanyalah bahwa ayahnya adalah seorang penghianat. “Ibu, kau tidak boleh menemuinya. Dia musuh partai,” kata Dandan kepada ibunya. Apalagi, bagi Dandan, memiliki atau berhubungan dengan seorang ayah yang dimusuhi partai berarti membuyarkan cita-citanya untuk mendapat peran utama di pementasan “Red Detachment Women”.
Ketegangan terjadi ketika Lu, yang sedang dalam pelarian, mengunjungi istri dan anaknya. Si istri bersikap menerima, sedangkan sang anak menolak sangat keras. Melalui surat yang diselipkan di bawah pintu, Lu mengajak istrinya bertemu di stasiun kereta. Dandan mengetahui hal tersebut dan berusaha mencegah ibunya untuk memenuhi ajakan ayahnya. Malahan, untuk mencegah pertemuan itu, Dandan sudah membocorkan rencana pertemuan itu kepada petugas politik penjara.
Akhirnya, pada hari yang telah ditentukan, Feng berangkat ke stasiun kereta untuk menjumpai suaminya. Sayang, karena sudah dibocorkan oleh Dandan, pertemuan itu menemui kegagalan. Lu ditangkap oleh petugas penjara. Sedangkan Feng bernasib tragis: ia mengalami kecelakaan dan menderita amnesia.
Beberapa tahun setelah revolusi kebudayaan, Lu dibebaskan dari penjara kerja paksa. Ia segera pulang menemui istri dan anaknya. Sayang, segalanya sudah berubah. Istrinya menderita amnesia: masih ingat pada nama suaminya, tetapi lupa wajahnya. Akhirnya, ketika mereka bertemu, Feng tidak mengenal Lu. Malahan, Feng memanggil Lu dengan nama “Tuan Fang”, laki-laki yang berulangkali berusaha melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya.
Alur film seakan berjalan lambat dan membosankan. Diperlihatkan berbagai usaha Lu untuk membangkitkan ingatan istrinya mengenai dirinya. Awalnya, Lu berusaha menggunakan foto. Sayang, semua foto yang memuat dirinya sudah digunting bagian wajahnya oleh Dandan.
Kemudian Lu mencoba membangkitkan ingatan istrinya melalui piano. Ia berpura-pura sebagai tukang service piano dan memainkan musik yang dikenal oleh istrinya. Itu pun tidak berhasil. Tidak patah arang, Lu menggunakan surat-surat yang ditulisnya di penjara. Sayang sekali, ini pun menemui kegagalan.
Dan, di penghujung film, Lu tidak berhasil membangkitkan ingatan istrinya terhadap dirinya. Film ini ditutup dengan adegan Feng dan Lu—yang berpura-pura sebagai sopir becak–menunggu kepulangan Lu di stasiun kereta. Padahal, sang suami yang ditunggu berada di sampingnya.
Film ini berusaha membangkitkan ingatan rakyat Tiongkok mengenai efek negatif revolusi kebudayaan. Kelihatan sekali, sutradara Zhang Yimou berusaha memperlihatkan bagaimana revolusi kebudayaan telah mencerai-beraikan sebuah keluarga. Ikatan suci yang membentuk keluarga, yakni cinta, diretakkan oleh persoalan politik.
Namun, kita harus ingat, bahwa soal politik adalah soal pemihakan, yakni pemihakan terhadap kepentingan rakyat banyak. Dalam masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial, politik menjadi ruang bagi setiap kelas sosial untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi-politiknya. Tak mengherankan, perjuangan politik selalu mengarah pada adanya pihak yang dimenangkan dan dikalahkan.
Dalam konteks film ini, perlu untuk mengidentifikasi kedudukan sosial keluarga Lu. Sebab, posisi kelas sangat berpengaruh pada sikap politik Lu terhadap revolusi atau perubahan sosial. Ini penting agar kita tidak sekadar menjadi pengekor politik ‘membela korban’ belaka.
Selain itu, Zhang melihat persoalan revolusi kebudayaan dari ruang yang sangat sempit dan subjektif. Dalam film ini, misalnya, tidak dijelaskan apa kesalahan politik dari Lu Yanshi, sehingga dirinya harus dire-edukasi di penjara kerja-paksa. Akibatnya, kita hanya melihat Lu sebagai korban tanpa mengetahui kesalahan politiknya.
Padahal, revolusi kebudayaan yang dicetuskan oleh Mao Zedong pada tahun 1966 hingga 1976 itu punya cita-cita mulia: memberantas penyakit borjuisme dan ide-ide lama dalam masyarakat baru Tiongkok. Revolusi kebudayaan juga diniatkan untuk memberantas berbagai penyimpangan di tubuh aparatus negara dan partai, seperti birokratisme, korupsi, nepotisme, klientalisme, dan lain sebagainya.
Namun demikian, revolusi kebudayaan tidak luput dari penyimpangan. Kelompok kontra-revolusi, terutama yang diorganisir oleh Lin Biao dan Gang of Four, menggunakan revolusi budaya untuk menyingkirkan sejumlah kader dan petinggi partai sebagai jalan mengambil-alih tampuk kekuasaan. Dengan dalih membabat habis “para penunggang kapitalis di tubuh partai”, sejumlah kader dan intelektual partai dijatuhkan dan dire-edukasi. Tak hanya itu, revolusi budaya juga memicu perang sipil dalam skala luas.
Pleno Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok (PKT), pada bulan Juni tahun 1981, mengakui adanya penyimpangan tersebut. “..sejarah ‘Revolusi Kebudayaan’ membuktikan bahwa argumen utama kamerad Mao Zedong untuk memulai revolusi kebudayaan tidak segaris dengan marxisme-leninisme maupun realitas Tiongkok…dibuktikan melalui praktik bahwa revolusi kebudayaan tidak bisa, atau tidak mungkin, menjadi revolusi atau kemajuan sosial dalam arti sesungguhnya…(ini) adalah kekacauan sipil, yang keliru dimulai dari pemimpin, kemudian dieksploitasi oleh kelompok kontra-revolusioner, yang membawa bencana kepada partai, negeri, dan rakyat,” demikian tertulis dalam dokumen tersebut.
Film ini diadaftasi dari novel karya Yan Geling, “Lu Fan Yanshi” (The Criminal Lu Yanshi), yang sangat kontroversial di Tiongkok. Ada yang berpendapat bahwa film ini bertujuan untuk mendiskreditkan dan melemahkan pemerintahan komunis di Tiongkok. Salah satunya dari seorang penulis bernama Liu Haofeng. Ia menyamakan film Coming Home dengan film Monanieba/Repentance (1987), sebuah film satire yang mengeritik stalinisme. Bagi Liu, film Coming Home merupakan skema untuk menanamkan keraguan dalam benak orang Tiongkok terhadap cita-cita sosialisme dan kolektivisme. Menurutnya, film ini sangat mengagungkan nilai individualisme ketimbang kepentingan kolektif.
Terlepas dari polemik di atas, beberapa adegan dalam film ini juga terasa janggal. Misalnya, ketika diperlihatkan foto semasa muda bersama suaminya, Feng bisa mengingat dan mengenalnya. Dia juga terus bisa mengingat hari bebas suaminya, yakni tanggal 3 Oktober. Tetapi dia tidak bisa mengenal suaminya yang berada di hadapannya.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/sisi-lain/20141229/keluarga-dan-partai.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar