Beberapa hari belakangan ini media kita ramai memberitakan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada HUT Partai Demokrat di Sentul, 26 Oktober lalu. Dalam pidato tersebut, Presiden menuduh pemberitaan media massa perihal Partai Demokrat tidak berimbang. Lebih khusus, SBY menuding ada satu stasiun televisi yang selama dua setengah tahun secara konsisten menelanjangi Partai Demokrat. Kurang lebih inilah kutipan pidato SBY:
“...ada televisi yang sepanjang masa dua setengah tahun ini terus menelanjangi Partai Demokrat....memang saya, partai kita, tidak punya televisi, tidak punya koran, tidak punya media online. Saya dan kita juga tidak punya uang yang melimpah, triliunan, untuk menguasai siaran dan iklan-iklan di televisi dan media lainnya.”
Setidaknya keluhan SBY dapat diringkas dalam dua poin. Pertama, media telah berpihak pada kelompok tertentu serta merugikan Demokrat. Kedua, situasi ini diakibatkan oleh ketiadaan dana dari Demokrat dan SBY untuk menguasai siaran televisi. Pada poin terakhir inilah kita wajib geleng-geleng kepala. Pasalnya, SBY dan Demokrat menganggap sah penguasaan atas media dan pengontrolan pemberitaannya selama punya uang.
Ini jelas cacat logika dan hukum. Secara logis, pernyataan SBY sebenarnya berlawanan dengan apa yang ia harapkan, yaitu meminta perlakuan yang adil dari media. Pernyataannya yang mengakui defisit penguasaan atas media, menyiratkan suatu kehendak “balas dendam” dan sekaligus merupakan bentuk penerimaan atas liberalisasi industri media.
Pada titik ini kita melihat bahwa bukanlah keadilan atau independensi media yang jadi harapan SBY. Apa yang tersirat dalam pidato tersebut justru mengindikasikan suatu harapan untuk melakukan hal yang sama seperti yang kini dilakukan oleh lawan-lawan politiknya: mengeksploitasi media massa. Ini artinya, presiden yang terpilih secara demokratis, ternyata menyakini bahwa pers yang bisa ditunggangi oleh kepentingan politik adalah wajar adanya. Lalu apa beda demokrasi dan oligarki di benak Presiden kita?
Situasi ini kian menggelikan bila kita mengingat posisi strategis SBY sebagai presiden yang tengah berkuasa. Tidak tegaknya Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 yang “mengharamkan” praktik monopoli dan konglomerasi media tidaklah lepas dari tanggung jawabnya sebagai presiden. Tentu keluhan SBY ini tidak perlu terjadi, bila ia dan jajarannya (Kementerian Komunikasi dan Informasi) melaksanakan tugas sebagaimana diamanatkan Undang-undang.
Fakta ini memberi indikasi yang jelas bahwa Presiden gagal memahami konsep frekuensi sebagai milik publik. UU Penyiaran pasal 1 ayat 8 menyebutkan: ”Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas”.
SBY tak sendiri. Menjelang 2014, libido berkuasa melahirkan cacat logika yangmenyebar cepat bak wabah penyakit; menjangkiti siapa saja, mulai dari pejabat publik, politisi, hingga intelektual.
Misalnya saja, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertanggungjawab melindungi kepentingan publik dalam penyiaran. Pada beberapa waktu lalu, ketika publik ramai-ramai memprotes penayangan konvensi calon presiden Partai Demokrat di TVRI, KPI yang terdesak akhirnya memberikan sanksi administratif pada TVRI berupa teguran tertulis.
Sayangnya, kasus ini dipahami oleh KPI sebagai ketidakadilan terhadap partai-partai lain dan bukan soal “penjajahan” frekuensi publik untuk kepentingan golongan politik tertentu. Itulah mengapa kita mendapati bahwa solusi KPI atas persoalan ini adalah dengan meminta TVRI memberi porsi siaran yang sama pada partai politik lain. Dalam kritiknya pada kebijakan tersebut, Roy Thaniago menyebut, “Frekuensi diandaikan laiknya kue yang tiap-tiap pihak mesti mendapatkan jatahnya masing-masing, bak perompak yang berbagi hasil jarahan” (Koran Tempo, 28/09/2013).
Pengamat politik dan ahli komunikasi rupaya juga tak luput terserang wabah ini. Pada tayangan bincang-bincang Kabar Indonesia Malam (TV One) 29 Oktober kemarin, Effendy Ghazali membenarkan bahwa ada ketidakadilan akses terhadap media sebagaimana dikeluhkan presiden. Ia menilai bahwa hal ini adalah akibat dari kegagalan pemerintah menjalankan proses digitalisasi televisi. Jika saja pemerintah menjalankan keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan tender televisi digital, dan melakukan proses digitalisasi secara benar, “minggu depan semua partai politik bisa punya kanal televisi sendiri,” ujarnya.
Pernyataan Effendy tersebut sama saja dengan undangan kepada partai politik untuk “menjarah” frekuensi publik. Televisi digital ataupun bukan, media penyiaran tetaplah menggunakan ranah publik. Penguasaan stasiun televisi untuk kepentingan politik golongan atau partai tidak bisa dibenarkan. Bahwa politikus boleh memiliki media adalah satu hal, namun menguasainya dengan mengabaikan fungsi pers atau jurnalisme, dan menjadikannya kendaraan kampanye adalah hal lain lagi. Sebagai pakar komunikasi yang memiliki integritas, saya yakin Effendy bukan pendukung kolonialisasi media oleh pemilik. Akan tetapi, mengatakan bahwa semua partai politik bisa punya televisi sambil, pada saat bersamaan, tidak melakukan kritik atas praktik eksploitasi ruang redaksi oleh pemilik, adalah ibarat punya sistem keamanan terbaik namun alpa menutup pintu.
Setali tiga uang dengan pandangan Effendy, Nudirman Munir (Anggota DPR Fraksi Golkar) mengoperasikan cara pikir koruptif yang sama. Ia berupaya membela independensi TV One dalam tayangan Indonesia Lawyer Club episode 29 Oktober 2013 dengan menyatakan keheranannya atas pemberitaan TV One yang kerap kali melakukan kritik atas Partai Golkar. Ia mengaku tidak heran jika kritik dilakukan oleh televisi lain, namun beda halnya dengan TVOne, yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar.
Terlepas dari fakta bahwa sulit menyembunyikan keraguan atas klaim Nudirman tersebut, pola pikir yang disandangnya jelas tercemar “wabah”. Wabah itu adalah paradigma yang menilai bahwa hubungan antarpemilik dengan medianya ibarat majikan dengan anjingnya. Pemilik diandaikan punya hak penuh atas media, sehingga intervensi ruang redaksi dianggap lazim. Gagasan ini jelas meminggirkan fakta bahwa publik adalah pihak paling berdaulat atas frekuensi, dan independensi adalah nilai dasar yang melekat pada profesi jurnalis semenjak kelahirannya.
Pada akhirnya, pelbagai pernyataan pejabat dan tokoh publik ini bisa diartikan dalam dua kemungkinan. Pertama, absennya kesadaran mereka bahwa media merupakan ruang publik dan salah satu pilar demokrasi. Kedua, diterima dengan “ikhlas”-nya berbagai asumsi privatisasi media. Keduanya jelas bukan kabar gembira. Tak ada yang lebih berbahaya bagi demokrasi daripada paduan antara kolonialisasi media, regulator yang tak paham regulasi, dan tokoh publik yang pikirannya cemar. []
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar