Sabtu, 22 Agustus 2015

Apakah Jurnalisme Masih Relevan?

Dengan semakin berkembangnya teknologi, arus informasi makin deras. Publik mesti cerdik memilah informasi untuk dicerap.

"Kebohongan telah menyebar ke seluruh dunia, sedangkan kebenaran baru bersiap-siap pakai celana” (Blur, hal. 208).

Blur adalah buku ketiga yang ditulis bersama oleh Bill Kovach dan Tom Rosenti. Buku ini adalah respon atas perubahan landscape jurnalisme seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Perkembangan itu memaksa kita bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan seperti; mungkinkah etika jurnalisme konvensional masih diperlukan di era yang mengutamakan kecepatan ketimbang ketepatan informasi? Bisakah kita berharap peran media sebagai pengawal demokrasi ketika media baru membanjiri publik dengan prasangka, informasi sepotong-sepotong, dan opini yang disamarkan sebagai berita?

Ada dua ide penting dalam buku ini. Pertama, satu-satunya penyelamatan publik dari banjir informasi adalah dengan membekali setiap orang dengan perangkat pengetahuan yang dulu hanya ekslusif milik wartawan. Kedua, jurnalisme harus mengafirmasi perubahan teknologi dan mulai mengafirmasi model komunikasi dua arah yang melibatkan audiens. Meski demikian, Kovach dan Rosientiel menekankan bahwa etika dan profesionalisme jurnalis tak boleh ditinggalkan.

Cara Skeptis Untuk Tahu

Ide pertama Kovach dan Rosentiel untuk membentengi publik adalah skeptical way of knowing (cara skeptis untuk tahu). Peran tradisional pers sebagai ‘penjaga pintu’, menurut keduanya, tidak relevan ketika ruang yang dijaga tidak lagi memiliki dinding (hal. 179). Artinya, peran pers sebagai penentu dari apa yang penting dan apa yang tidak bagi publik tidak mungkin lagi dijalankan. Ketika semua orang dengan mudah bisa mengakses berita dari banyak kanal, publik mesti memikul sebagian tanggung jawab yang dulu sepenuhnya dipikul wartawan dan institusi pers.

Filsofi dasar ‘cara skeptis untuk tahu’ adalah empirisme. “Kebenaran adalah kesimpulan dari apa yang paling mungkin terjadi, berdasarkan proporsi bukti yang tersedia saat itu” (hal. 33). Dalam upaya mencapai kebenaran diperlukan serangkaian metode tertentu. Dalam profesi jurnalistik, metode itu adalah verifikasi. Verifikasi yang menginspirasi kerja para jurnalis professional, menurut Kovach dan Rosentiel, kini mesti juga menginspirasi pubilk.

Keduanya merumuskan formula ‘cara skeptis untuk tahu’ dalam bentuk enam pertanyaan yang harus diajukan audiens setiap kali menemukan berita, yaitu: 1) Konten berita jenis apa yang saya temui?; 2) Apakah informasinya komplit; jika tidak apa yang kurang?; 3) Siapa dan apa sumbernya, dan kenapa saya mesti mempercayai mereka?; 4) Bukti apa yang disuguhkan, dan bagaimana menguji dan membuktikannya?; 5) Apa yang bisa menjadi penjelasan atau pemahaman alternatifl?; 6) Apakah saya telah mempelajari apa yang perlu saya pelajari? (hal. 32).

Jawabaan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya akan membantu publik mengenali jenis-jenis jurnalisme kontemporer dewasa ini.

Kovach dan Rosentiel mengelompokkan jurnalisme kontemporer dalam lima kategori. Pertama, ‘jurnalisme verifikasi’, jurnalisme tradisional “yang menempatkan nilai tertinggi pada akurasi dan konteks” (hal. 35). Jurnalisme jenis ini bisa dikenali lewat keragaman sumber yang digunakannya. Kedua, ‘jurnalisme pernyataan’. Jurnalisme ini didorong oleh teknologi dan media baru, mengutamakan kecepatan dan volume serta tidak peduli pada akurasi informasi. Ciri lain yang amat kentara adalah kepasifan yang akut dalam diri wartawan yang memosisikan diri sebagai seorang stenografer (orang yang menguasai teknik menulis cepat). Ketiga, ‘jurnalisme pengukuhan’, yakni jurnalisme yang memberitakan apa yang audiensnya ingin dengar dan bukan apa yang sebenarnya terjadi. Ideologi bagi jurnalisme pengukuhan adalah ceruk pasar. “Model ekonominya berdasarkan pada pengiriman produk berita yang memperkeras prasangka audiens” (hal. 47). Keempat, ‘jurnalisme kaum kepentingan’. Meski ‘jurnalisme pengukuhan’ dan ‘jurnalisme kaum kepentingan’ sama-sama menggunakan manipulasi, persuasi, dan propaganda, keduanya memiliki tujuan yang berbeda. ‘Jurnalisme pengukuhan’ memiliki tujuan ekonomi, sementara ‘jurnalisme kaum kepentingan’ memiliki tujuan politik. Ciri paling kentara dari jurnalisme jenis ini menurut Kovach dan Rosentiel adalah pendanaan yang tidak transparan. Terakhir jurnalisme agregasi, yaitu bentuk jurnalisme yang kerja utamanya adalah penyuntingan (mengumpulkan dan memilah informasi). Karena agregasi adalah bentuk Jurnalisme, maka ia bisa saja memuat jurnalisme pernyataan, pengukuhan, atau bahkan kaum kepentingan.

Bagi keduanya, kemampuan mengenali berbagai bentuk jurnalisme adalah penting bagi publik agar tidak mudah terperdaya oleh informasi yang disebar media. Masing-masing bentuk jurnalisme bisa dibedakan dari kesetiaanya dalam mengajukan bukti, sumber, dan melakukan verifikasi.

Tidak sulit mencari contoh-contoh dari masing-masing kategori jurnalisme yang diurai Kovach dan Rosentiel pada konteks Indonesia. Kita bisa memanggil ingatan pada momen-momen pemilu 2014 yang lalu. Contoh ‘Jurnalisme kaum kepentingan’ dalam bentuk paling kasar kita temui pada media seperti Obor Rakyat, yang jelas-jelas dibuat untuk menjatuhkan lawan politik. Hingga kini tidak jelas siapa orang atau kelompok yang membiayai media penebar fitnah dan kebencian ini.

Praktik lain ‘jurnalisme kaum kepentingan’ dapat kita saksikan dalam stasiun televisi yang pemiliknya terafiliasi dengan partai politik. Televisi-televisi partisan tersebut, yang wajahnya terutama diwakili oleh kinerja ruang redaksi Metro TV dan TV One, berlomba memoles Jokowi dan Prabowo menjadi yang terbaik di mata publik.

Sayangnya, televisi-televisi non-partisan pun tak mampu menjadi advokat publik dan terjebak menjadi ‘jurnalisme pernyataan’. Praktik peliputan televisi pada pemilu lalu, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Remotivi, terbawa arus menjadi corong propaganda karena tak memiliki agenda. Hal ini bisa diidentifikasi dari minimnya isu publik yang diangkat berita televisi. Kebanyakan berita televisi bersifat seremonial, mengikuti agenda-agenda politik yang telah ditentukan elit.

Contoh-contoh di atas memberi kita gambaran bahwa kategorisasi jurnalisme yang ditawarkan Blur relevan bagi konteks kita hari ini. Namun, bisakah kita menemukan contoh ‘jurnalisme pengukuhan’ di Indonesia? tepat di sinilah persoalan konteks mengemuka.

‘Jurnalisme kaum pengukuhan’ menemukan konteksnya dalam polarisasi politik Amerika Serikat yang demikian kentara antara kaum konservatif dan kaum liberal, dan mengejawantah dalam bentuk jurnalisme CNN (media liberal) dan Fox (media konservatif). Sinergi CNN dan pandangan partai demokrat, diikat oleh kesamaan ideologis. Sehingga ‘koalisi’ antar keduanya bukan koalisi semu yang sementara. Begitu juga dengan hubungan partai Republik dengan Fox.

Hal yang berbeda terjadi di tanah air. Kita tidak menemukan jenis ‘jurnalisme pengukuhan’ sebagaimana didefiniskan oleh Kovach dan Rosentiel. Fakta empiris menunjukkan bahwa sikap politik media amat ditentukan oleh kepentingan politik pemiliknya, dan politik dalam pengertian ini adalah politik praktis yang hampir tidak punya relasi sama sekali dengan ideologi politik. Hal ini misalnya bisa dibaca dari gerak pemberitaan media pada pemilu 2014 yang seiring sejalan dengan koalisi politik pemiliknya.

Sebelum koalisi politik antara pemilik TV One, Aburizal Bakrie dengan Prabowo Subianto, pemberitaan TV One pada pemilu presiden 2014, terindikasi bias Aburizal Bakrie (pemiliknya), calon presiden dari Golkar. Setelah terjadinya kesepakatan koalisi antara Golkar dengan Gerindra, pemberitaan TV One berubah mendukung Prabowo.

Lebih dari persoalan kategorisasi yang tidak kontekstual, secara umum bangunan kategorisasi jurnalisme yang dibuat Kovach tidak lepas dari masalah. Pemisahan “jurnalisme kaum kepentingan” dengan “Jurnalisme pengukuhan” yang berangkat dari pengandain bahwa persoalan ekonomi bisa dilepaskan sepenuhnya dari politik memunculkan kerancuan tersendiri. Sebab, adakah motif ekonomi yang juga tidak politik secara sekaligus? Jika kita mempercaya media seperti CNN dan FOX ikut menentukan lahirnya kebijakan publik, mendorong lahirnya regulasi, dan menaikan politisi konservatif atau liberal ke parlemen, maka itu berarti “jurnalisme pengukuhan” memiliki fungsi politisnya sendiri. Persoalan ini menyiratkan batas samar “jurnalisme pengukuhan” dan “jurnalisme kepentingan” yang dibangun Kovach.

Lepas dari soal konteks dan kategori yang tidak sepenuhnya jernih, kerangka yang diberikan oleh Blur penting untuk membantu publik membentengi diri dari pseudo-jurnalisme. Delapan dari sembilan bab yang ada di buku ini didedikasikan untuk mengajak pembaca memahami konsep-konsep seperti sumber, narasumber, elemen berita, metode kerja wartawaan, dan banyak lainnya. Pengetahuan tersebut adalah senjata berharga bagi publik memilah mana berita, mana gosip, mana prasangka, dan mana pesan politik.

Penjaga Pintu Plus

Solusi lain yang ditawarkan buku ini adalah bahwa media konvensional harus berbenah. Ide utama Kovach dan Rosentiel yang dituangkan pada bab bertajuk “Apa yang Kita Butuhkan dari Jurnalisme Era Baru?” terangkum lewat kutipan berikut:

"Ide pentingnya adalah: pers ke depan akan memperoleh integritas berdasarkan jenis konten yang disampaikan dan kualitas pekerjaan, bukan dari fungsi ekslusifnya sebagai penyedia informasi tunggal atau perantara antara sumber berita dan publik" (hal 183).

Peran pers sebagai ‘penjaga pintu’ kini tidak lagi cukup dimengerti sebagai saluran informasi satu-satunya yang absah bagi publik. Teknologi telah meruntuhkan keuntungan yang dulu dimiliki pers. Untuk tetap relevan sebagai kanal informasi publik, wartawan dan ruang redaksi perlu berbenah. Era baru menuntut kemampuan dan keahlian yang baru.

Untuk menulis berita mengenai politik dan pemilu, wartawan harus berangkat lebih dari sekedar informasi dasar yang kemungkinan semua orang telah banyak tahu. Berita harus menjadi apa yang disebut oleh Kovach dan Rosentiel sebagai ‘penuntun akal’; menuntun publik memahami apa yang terjadi dibalik perilaku aktor-aktor politik. Dan itu artinya wartawan perlu lebih dari sekadar pengumpul informasi, ia perlu juga memahami konteks dari berita yang ditulisnya.

Tidak hanya wartawan, ruang redaksi pun perlu berbenah. Media perlu mengakomodasi audiens. Jurnalisme tidak bisa lagi menjadi penuturan satu arah. Kelengkapan baru perlu disiapkan. Antara lain adalah dengan bekerja bersama publik. Kovach dan Rosentiel memberi contoh eksperimen menarik yang dilakukan media-media Amerika dalam menyiasati kebutuhan publik akan informasi. Minnesota Public Radio dibantu oleh Public Insight Journalism membuat database pendengar dan kontributor di seluruh Amerika. Mereka dikelompokkan berdasar profesi, lokasi, agama, etnisitas, umur, dll.

"Database ini diaktifkan untuk berita tertentu oleh tim analis dan reporter, yang memilih orang dijaringan mereka yang memiliki peluang terbesar untuk membantu. Reporter lantas bekerja dengan orang yang terpilih itu untuk memproduksi laporan" (hal 195).

Keterlibatan publik semacam ini memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, database ini menjadi sumberdaya yang berharga untuk mengkoleksi informasi. Dengan bantuan publik yang dekat dengan peristiwa, kerja wartawan berpotensi lebih cepat dan akurat. Kedua, model ini berguna untuk mendeteksi informasi apa yang dinilai penting atau tidak oleh publik.

Eksperimen yang berbeda namun dengan tujuan sama—pelibatan publik—dilakukan oleh tayangan “CBS News” yang melibatkan publik dalam rapat redaksi pagi mereka. Dengan cara ini, CBS mendapat sudut pandang publik mengenai informasi yang dibutuhkan.

"Saya selalu berpikir bahwa, jika kita terlalu takut berbicara dengan pembaca dan takut mendengar apa yang mereka katakan, tak peduli bagaimana penyampaiannya, kita pun menjadi picik dan arogan. Jika takut pada audiens kita, kita tak akan sukses" (Favre, dalam Kovach, 2012: 197).

Barangkali, yang mau dikatakan oleh Kovach dan Rosentiel adalah bahwa, agar tetap relevan di tengah arus banjir informasi, media tak bisa menjadi ‘penjaga pintu’ sendirian. Kini ia harus berjaga bersama publik.

Sekilas ide di atas terlihat ideal bagi perubahan yang hendak dicapai. Namun, Solusi Kovach bukan tak menyisakan pertanyaan. Ada lubang paradigmatik yang cukup besar dari solusi yang ditawarankannya. Keseluruhan bangunan argumentasi buku ini mengabaikan logika ekonomi-politik media. Wartawan diandaikan sebagai agen yang otonom di hadapan korporasi media. Kovach menyodorkan apa yang harus diubah wartawan tanpa menyodorkan kondisi ideal untuk perubahan terjadi (iklim media yang mendukung).

Kovach membayangkan wartawan sebagai ksatria berpedang yang siap membela kebenaran tanpa terpengaruh logika ekonomi media yang menempatkan informasi sebagai komoditas dan wartawan semata sebagai pekerja informasi. Karena itulah, solusi Kovach terletak pada pembenahan moral dan etika wartawan, minus solusi yang bersifat struktural; semisal serikat pekerja media yang bisa membentengi wartawan dari syahwat ekonomi-politik pemilik media.

Pada konteks Indonesia, urgensi serikat pekerja wartawan mengemuka dihadapan kasus pemecatan yang menimpa Raymond Rondonuwo (RCTI) dan Luviana (Metro TV) akibat pilihan politisnya yang bersebrangan dengan pemilik media.

Pengabaian atas solusi struktural semacam ini mengungkap bias paradigma liberal dalam argumentasi Kovach dan Rosentiel. Bagi keduanya, cukup dengan publik yang cerdas diramu dengan wartawan yang beretika, demokrasi akan jalan dengan semestinya.

Lepas dari bias paradigmatik yang diidapnya, buku ini penting dibaca sebagai kawan berdialog dalam upaya menjawab pertanyaan yang didorong oleh banjir informasi akibat perubahan moda produksi media, semisal, apa arti menjadi wartawan? Apa yang harus diharapkan publik dari media? Dan mungkinkah kita bisa mengetahui kebenaran yang dimediasi oleh perusahaan pers? []

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...