Undang-undang apakah yang kalian praktekkan?
Tuan jaksa jawab tuan jaksa
Undang-undang mana bikinan siapa
Yang mengijinkan pejabat negara
Menganiaya rakyat
Dan menginjak hak-haknya
Tuan jaksa jawab tuan jaksa
Undang-undang mana bikinan siapa
Yang memberi hak pada pejabat negara
Meremehkan nyawa
(Wiji Thukul, Ibunda)
Tuan jaksa jawab tuan jaksa
Undang-undang mana bikinan siapa
Yang mengijinkan pejabat negara
Menganiaya rakyat
Dan menginjak hak-haknya
Tuan jaksa jawab tuan jaksa
Undang-undang mana bikinan siapa
Yang memberi hak pada pejabat negara
Meremehkan nyawa
(Wiji Thukul, Ibunda)
HAMPIR lebih tujuh tahun saya kuliah di Fakultas Hukum. Diajarkan di sana seluruh isi peraturan dan maksudnya. Buku hukum dan undang-undang jadi bacaan wajib. Hingga di tiap ujian banyak pasal harus dihapal. Dosen dengan meyakinkan selalu bicara soal aturan dan bagaimana menafsirkanya. Tentu ada janji bahwa fakultas hukum bisa antarkan keberhasilan. Mimpi jadi pengacara berdasi hingga hakim bertoga. Kami semua dibuai mimpi dengan bayaran. Pengacara dapat uang konsultasi dengan hitungan menit. Hakim dapat banyak tunjangan. Lalu Jaksa digaji lumayan. Singkatnya, profesi hukum bakal memberi upah yang menggiurkan. Terlebih semasa saya kuliah banyak pengacara sukses memberi materi. Berdasi lalu pakai jas dengan parfum semerbak. Belakangan banyak dosen di kampus saya berhasil jadi pejabat tinggi. Pejabat mengalahkan pengacara. Lebih sering muncul di TV dan banyak diwawancarai koran. Muka para pejabat itu banyak dipasang di baliho depan kampus. Agak mual melihatnya, tapi apa daya itulah strategi pemasaran yang masuk akal. Seolah tumbuh kepercayaan kalau kuliah di sini niscaya kamu bisa seperti mereka: jadi pejabat tinggi.
Kini saya meninggalkan tempat itu. Baik Fakultasnya maupun Pusat Studi HAM nya. Tapi fakultas hukum kian meningkat popularitasnya. Mahasiswa antri untuk mendaftar. Dosen hukum juga makin banyak memiliki profesi sampingan. Ada yang jadi staf ahli, jadi pejabat hingga saksi ahli. Ibarat pasar maka fakultas hukum kini menemukan pangsa potensial. Anak pengacara, hakim, jaksa hingga pekerja ikut kuliah di sana. Fakultas hukum sejajar posisinya dengan fakultas kedokteran, ekonomi dan teknik. Saya kadang kagum masih saja ada anak yang kuliah di situ. Bahkan lebih takjub lagi masih pula ada dosen yang mengajar di sana. Metode pengajaran yang amat membosankan. Metode yang telah membuat hukum menjadi ilmu klinis. Di mana kemampuan litigasi yang lebih diandalkan. Bersilat dan berdebat dengan patokan pada pasal. Pergulatan yang membuat hukum jadi seperti sekarang. Hukum yang kerapkali jadi hamba bagi kepentingan di luar keadilan. Hukum yang telah jadi teror bagi siapa saja yang berani menentangnya. Tentu situasi suram ini bukan sebuah sulapan. Keadaan ini bermula dari apa yang terjadi dalam pendidikan hukum. Pendidikan yang pernah saya sentuh dan alami bertahun-tahun. Pendidikan yang selama ini berjalan dengan keyakinan buta atas pasal dan aturan. Pendidikan yang sebenarnya masih merupakan warisan sistem kolonial.[1]
Jika Anda tanya anak hukum semester awal buku yang dibacanya adalah pengantar ilmu hukum. Buku yang dari covernya sudah tak ada imaginasi. Buku yang berisi muatan adagium ‘semua orang sama di hadapan hukum’. Kredo yang ampuh dan menyihir. Hingga semua mahasiswa hukum hapal. Kelak saat mereka memegang profesi hukum apapun maka kredo itu akan dikatakannya berulang-ulang. Seolah itu kebenaran yang serupa dengan bumi itu bulat. Padahal adagium ini ahistoris. Batal bukan saja karena tak mencerminkan kenyataan, melainkan juga penuh dengan manipulasi. Siapa yang pernah berurusan dengan hukum dan aparatnya akan mengerti kalau pernyataan itu sesat. Persisnya, semua orang itu tak sama di hadapan hukum. Kelas sosial lebih menentukan bagaimana orang berurusan dengan hukum. Walau sama-sama kedudukan sebagai tersangka tapi Budi Gunawan dengan Bambang Widjojanto beda perlakuan. Beda perlakuan terjadi dalam banyak kasus hukum. Maka tak habis pikir saya mengapa dalil itu masih terus saja diajarkan. Bukti sederhana betapa pendidikan hukum dapat terjerumus dalam kebohongan.
Tapi manipulasi jadi perlu karena pendidikan hukum melatih anak untuk mengemban profesi hukum. Kata profesi dan profesional kian digalakkan. Profesi membuat hukum jadi seperangkat aturan yang bisa digunakan untuk kepentingan apa saja. Buah karya profesi adalah sikap untuk memperlakukan pengetahuan hukum sebagai urutan prosedur dan mekanisme. Disebut prosedur karena hukum punya tahapan yang detail dan rinci. Dinamai mekanisme karena semua perangkat dijalankan harus sesuai ketentuan. Ijtihad dan inovasi bukan hal yang mudah di fakultas hukum. Kalau tak percaya baca saja buku hukum yang kaidah-kaidahnya ditentukan dengan tingkat kesahihan yang seakan tak dapat diganggu gugat. Dalam istilah lebih sederhana, ilmu hukum jadi lebih positivistik.[2] Di situ tak ada kisah apalagi cerita imaginatif. Seperti kredo asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence). Memberi jaminan pada seseorang untuk tetap dianggap bersih sebelum diputuskan bersalah oleh pengadilan.[3] Pada setiap perkara apapun dalil ini berlaku. Efeknya menakjubkan: para pengacara koruptor dan penjahat kemanusiaan piawai mengatakanya. Seakan klien mereka tak punya kekeliruan sama sekali. Meski bukti logis ditemukan tapi kebenarannya diletakkan di tangan putusan hakim. Maka dalam belantara hukum di Indonesia hakim berposisi seperti dewa.
Maka itu sebab banyak mahasiswa hukum ingin jadi hakim. Di samping punya gaji dan tunjangan juga pengaruhnya penting. Terlebih untuk menjadi hakim tak ada sekolah khusus. Kalau Anda lulus jadi sarjana maka ikut test dan kalau beruntung lolos. Memang kemudian ada pendidikan hakim yang diselenggarakan oleh lembaga. Tapi dasar landasannya tetap pendidikan sarjana hukum. Ditilik dari syarat-syarat rekruitmen hakim dan jaksa kita menyaksikan rentetan ketentuan normatif yang sulit untuk jadi dasar evaluasi atau seleksi mencari orang-orang yang istimewa.[4] Dasar rekruitmen sama seperti pegawai lain. Di samping itu dengan mendasarkan diri pada lulusan sarjana hukum semata kita berhadapan dengan alur yang pendidikan calon hakim yang singkat dan sederhana. Dasar seleksinya adalah pendidikan S1 fakultas hukum. Pendidikan yang, lagi-lagi, tak cukup membekali seorang jadi hakim karena memang mandat pendidikan itu hanya memberi pengantar agar mahasiswa cakap dalam menggunakan dan mengenal aturan.
Kepercayaan yang meyakini kalau tiap aturan punya maksud yang baik dan kalau ada kesalahan berarti itu ulah oknum. Tak paham saya bagaimana anak hukum meng-imani semua peryataan yang termuat dalam kuliah seperti hukum acara perdata, hukum acara pidana hingga hukum perkawinan. Seluruh ketentuan itu jarang dipermasalahkan dan diterima apa adanya. Jika tak percaya bacalah soal ujian anak-anak hukum. Serangkaian pertanyaan yang disandarkan jawaban pada bunyi pasal. Hinggap dalam suasana akademis seperti itulah anak-anak hukum kehilangan pijakan historis. Soal-soal struktural seperti penyerobotan tanah, pemogokan buruh hingga kejahatan kriminal diterangkan dalam lensa undang-undang. Mungkin itu sebabnya mahasiswa hukum kurang ‘fasih’ bertanya dan lebih suka untuk ‘memberi’ jawaban dan penjelasan. Jauh lebih fasih lagi mereka memperdebatkan aturan. Memang agak sulit dipercaya fakultas hukum lama kelamaan terlepas dari ilmu sosial dan terus menjauh dari metodologi ilmu sosial. Ilmu hukum jadi ilmu terapan litigasi yang berusaha menyerupai ilmu sains.
Kian tinggi mereka menempuh pendidikan hukum maka aroma aturan jadi perisai debat. Itu makanya dalam banyak kasus hukum sulit bagi orang awam untuk menentukan mana yang pura-pura jadi bandit dan mana bandit beneran. Terjadilah situasi yang saya lebih suka menyebutnya sebagai ‘kehilangan’ imaginasi. Referensi bacaan kuliah tak pernah meyentuh dunia novel, puisi apalagi film. Perkara kemanusiaan ditatap dengan cara dingin. Persoalan keadilan ditimbang hanya melalui prosedur. Terlebih kalau dosennya penyuka kitab undang-undang. Tiap kejadian apapun diterangkan dalam terang pasal. Kaum fundamentalis undang-undang sama bahayanya dengan kaum fasis. Mereka selalu merasa paling benar dan paling mengerti. Profesi hukum berada di atas keyakinan itu. Sehingga tiap orang dapat dengan mudah dikenai tuduhan yang mungkin membuat mereka terkejut. Belakangan kita menyaksikan sejumlah petani, nenek tua hingga seorang kakek diseret karena tuduhan kriminal. Malah seorang sastrawan harus ditangkap oleh polisi gara-gara berkomentar pedas. Polisi, jaksa hingga hakim meyakini kalau tindakan mereka sesuai prosedur. Kepercayaan diri yang naif itu subur karena memang dirakit sejak mereka kuliah.
Maka mahasiswa fakultas hukum besar dalam suasana pembelajaran yang dangkal. Tak ada mata kuliah yang membawa mereka terjun ke lapangan. Menyaksikan ketidak-adilan dan merasakan bagaimana kesewenang-wenangan berjalan. Minimnya sentuhan dengan realitas itulah yang menciptakan para mahasiswa hukum seperti boneka. Digiring untuk menghapal pasal lalu menyesuiakan semua kejadian dengan bunyi pasal. Keterbatasan mereka itu dipupuk dengan banyaknya tumpahan materi prosedural dalam kuliah hukum. Kini ada pendidikan vokasi, yakni pendidikan yang melatih ketrampilan hukum: membuat berita acara, menyusun berkas hingga menyiapkan pledoi. Kini untuk meraih posisi pengacara musti melewati jalur pendidikan semacam itu. Vokasi membuat hukum jadi sebuah kemahiran yang diciptakan lewat pengetahuan yang teknis dan terinci. Kedangkalan ini ditambah lagi dengan metode pembelajaran yang kurang menghidupkan inspirasi. Langka sekali tokoh-tokoh hukum jadi sumber topik untuk pembelajaran. Maka jangan terkejut jika mahasiswa hukum kurang mengenal siapa itu Yap Thian Hiem, Fidel Castro hingga Nelson Mandela. Sosok yang punya latar belakang pendidikan hukum dan tumbuh dengan cita-cita kemanusiaan agung.
Tapi mungkin karena itu pendidikan hukum lebih banyak diminati. Di samping kejelasan profesi juga tak ada polemik. Hanya butuh kepatuhan untuk mengikuti semua materi kuliah. Tingkat kepatuhan yang disandarkan pada bagaimana mampu menghidupkan aturan dalam bentuk hafalan, sanggup menjelaskan kejadian hukum dalam logika undang-undang serta bisa memberi jawaban hukum pada semua soal sosial. Maka anak hukum agak sulit untuk memberi jawaban mengapa banyaknya fakultas hukum sejajar dengan tingginya kejahatan hukum. Kalau tak percaya datangilah pengadilan dan saksikan bagaimana pengadilan di jalankan. Sedikit sekali perdebatan hukum yang bermutu dan sukar untuk bisa mengikutinya. Acara yang dulu menarik seperti Jakarta Lawyer Club adalah suguhan jujur bagaimana hukum itu dibincangkan. Semua orang bisa ada dalam acara itu dan hingga akhir acara kita tak tahu sebenarnya soal apa yang dibincangkan dan dipecahkan melalui mekanisme apa. Pendidikan hukum lama kelamaan membawa ambiguitas.
Ambiguitas terjadi karena pendidikan hukum menghilangkan realitas sosial bersama kompleksitasnya. Sosiologi hukum sebenarnya jadi mata kuliah penawar. Tapi jumlah sks yang kecil dan tak diajarkan dengan mahir membuat materi ini kurang diminati. Bahkan di beberapa kampus sudah lenyap mata kuliah ini. Padahal realitas itu terbit bukan sekadar untuk dijelaskan dan dihubungkan dengan aturan. Realitas itu sebaiknya tampil bersama kontradiksi sosialnya. Situasi sosial seperti apa yang membuat seorang nenek memilih untuk diadili ketimbang diberi pengampunan. Dampak sosial seperti apa yang terjadi seandainya hakim merasa diri paling benar dan berlindung di bawah kredo independensi. Tak adanya penjelasan sosial yang baik dan menyegarkan telah membawa pendidikan hukum dalam jeratan bahaya. Mahasiswa hukum memercayai bahwa apa yang dipelajari itu benar dan semua gejala sosial yang menyangsikannya harus ditaklukkan. Hukum lama-kelaaman jadi senjata pembunuh yang sasaranya apapun dan apa saja. Sesungguhnya kriminalisasi muncul dalam suasana konyol seperti ini. Undang-undang berubah posisi seperti wahyu yang siapapun melanggar atau dianggap telah melanggar dapat diadili dengan mekanisme yang ada.
Jika kita membuka mata kuliah yang diberikan mahasiswa dari semester I hingga VIII, terasa aroma pendidikan legalistik yang diutamakan. Beberapa mata kuliah pilihan digunakan sebagai bekal ketrampilan praktis dalam berhadapan dengan institusi pasar. Bahkan menggelikan karena semua cermin kehidupan selalu dipayungi oleh hukum. Mata kuliah hukum ruang angkasa hingga hukum adat diklasifikasi dengan sebutan mata kuliah pilihan. Mirip sebuah menu di restoran di mana mata kuliah dijajakan untuk bisa disantap oleh mahasiswa. Seakan pendidikan hukum memang dinobatkan sebagai medan untuk mentasbihkan seseorang untuk bisa ‘menghakimi’ segala gejala sosial dan ‘membela’ apa saja yang dipermasalahkan. Warisan utamanya bukan sebuah peristiwa hukum melainkan kredo dan keputusan hakim. Mana putusan hakim tak bisa diadili oleh pisau analisis sosial sehingga ditetapkan sebagai kebenaran. Mana Anda bisa meninjau dari perspektif kelas ketika seorang hakim menjatuhi putusan pada seorang yang mencuri papan kayu miliknya sendiri. Semua kegiatan hukum hanya bisa dijelaskan oleh aturan bukan analisis selain itu. Maka konyol sekali kalau kita mengajak berdebat mahasiswa hukum tentang keadilan karena mereka tak dilatih untuk memperdebatkan nilai itu kecuali oleh penjelasan aturan.
Maka pendidikan hukum lama-kelamaan menjauhkan diri dari jalur pemikiran kritis. Saksikan saja bagaimana persoalan hukum yang ada telah membuat kita prihatin dan seakan tak percaya. Seorang dipenjara hanya karena menendang papan yang bertuliskan ‘disini ada pembangunan hotel’, atau seorang diusut hanya karena mengeluh di Facebook atas perlakuan yang menimpa suaminya yang kena PHK. Tapi lebih tak percaya lagi ketika ada anak muda tanpa pekerjaan berarti mendapat pinjaman uang miliiaran rupiah. Bapaknya seorang pejabat punya rekening fantastis dan menganggap itu semua kekayaan halal. Pada soal seperti ini, hukum berdiam diri dan jika ada yang mau mengusut para pengacara dengan terampil memberi alibi. Maka lama-kelamaan hukum seperti sebuah kutukan. Kehadiranya dihindari dan kalau seorang terseret di dalamnya maka cara apa saja digunakan untuk meloloskan diri. Pendidikan hukum tumbuh dengan keyakinan kosong seperti ini. Ibarat ilmu, buah pendidikan hukum hari ini membuat kita merasa kuatir dan cemas. Para sarjana hukum yang berhasil diwisuda ini tak banyak punya gugatan dan sedikit yang meyakini bahwa ilmunya sebenarnya berada dalam bahaya.
Maka waktunya pendidikan hukum dibawa ke luar dari kampus. Mengajari anak-anak berhitung itu baik tapi yang jauh lebih baik mengajari pada mereka apa yang patut diperhitungkan dalam hidup ini. Itu makanya pendidikan hukum sebaiknya bukan berkaca dari buku melainkan dari peristiwa keadilan. Kisah perjuangan buruh, protes para petani Rembang, kriminalisasi pada petani Kulon Progo hingga advokasi yang dilakukan para petani Kebumen adalah bab pembuka pada pelajaran pengantar ilmu hukum. Mahasiswa hukum sebaiknya mulai percaya bahwa ‘semua orang tak sama kedudukanya di hadapan hukum’. Kepercayaan itu yang membuat perjalanan memahami hukum adalah perjuangan emansipasi: dari posisi yang tak seimbang menjadi posisi sama. Fakta-fakta hukum yang menyakitkan itu harus ditampikan untuk menimbulkan kesangsian sekaligus perlawanan. Di sisi yang lain perlunya anak-anak fakultas hukum meyentuh kehidupan penjara. Biarkan mereka tahu bagaimana sanksi itu kadang tak pernah mempan ketika ketentuan atasnya banyak disalah-gunakan. Muara hukum bukan pada hukuman melainkan bagaimana memposisikan nilai keadilan. Nilai-nilai yang sialnya tak pernah diperdebatkan dan tak ada pengantar kuliah untuk memahami itu.
Ringkasnya pendidikan hukum tak bisa dijalankan seperti sekarang. Mengubah aparat dengan cara pengawasan tak pernah bisa berhasil kalau muaranya memang bermasalah. Komisi Yudisial yang mengawasi hakim, komisi kejaksaan hingga Kompolnas terbukti kurang mampu meyentuh jantung soal. Soalnya hari ini ada di pendidikan hukum. Makin kita tak merombak pendidikan hukum maka kita diam-diam akan memproduksi para algojo yang bisa berbuat kejam dengan keyakinan palsu pada aturan. Karena para algojo itulah yang sedang dipersiapkan untuk belajar bagaimana mengasah pisau aturan sehingga bisa kejam pada siapa saja, meruncingkan aturan sehingga siapa saja tak bisa memperdebatkan dan membuat medan pembunuhan jadi tampak halal dan sesuai prosedur. Lebih gawat lagi kalau pendidikan hukum tak mampu melatih mahasiswa memahami mana dusta yang berselubung pasal dan mana keadilan yang bertameng keberanian. Saya merasa kuatir, malu dan cemas kalau para dosen di fakultas hukum masih percaya bahwa ilmu yang diajarkanya itu berguna dan bermanfaat. Mereka harusnya segera sadar bahwa pengetahuan yang mereka ajarkan itu sebenarnya telah membawa malapetaka dan korban. Pengetahuan hukum yang mereka sampaikan itu sebenarnya telah mengantarkan jutaan korban yang tak bersalah dan memberi perlindungan jutaan orang bersalah hingga tak diadili. Para pekerja hukum yang berkhianat itu mereka yang ajari dan pengetahuan yang mereka dapat itulah yang mereka warisi. Kini waktunya mereka bangun dan memulihkan ingatan bahwa segala sesuatu harus dirombak ulang. Kalau tidak mereka sebenarnya sedang jadi panitia persiapan hari kiamat. Hari dimana harapan telah habis. Seorang sastrawan pernah berkata: harapan bisa habis ketika apa yang adil dan tak adil hanya dipecahkan melalui dusta dan peperangan.
Hari-hari ini kita memasuki masa-masa gelap dimana dusta dan dalih beredar dimana-mana. Dan pendidikan hukum yang mengantarkan itu semua!***
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta & Aktivis Social Movement Institute
————–
[1] Tradisi pendidikan hukum untuk penegakan hukum di Indonesia berakar dari tradisi penyelenggaraan tata hukum dan pendidikan hukum Negeri Belanda, yang pada giliranya berakar pada sistem hukum yang terbilang kerabat hukum Romano-Germanic (yang pada abad 18 menjadi hukum legislative-positif berformat nasional. Jadi hukum yang dibangun memang ditujukan pada tegaknya kekuasaan kolonial, dimana bercirikan ototarian dan sentralistis. Lih Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, 2002
[2] Dalam ilmu sosial modern yang kelak digunakan oleh ilmu hukum secara membabi buta, ilmu hukum diorientasikan untuk lebih empiris-objektif, deduktif-nomologis dan instrumental-bebas nilai. Seolah menggunakan prosedur metodologis ilmu alam untuk memperlakukan pasal sehingga pengetahuan hukum menjadi makin teknis. Saya mengutip kaidah positivisme merujuk karya F Budi Hardiman: Melampaui Positivisme dan Modernitas, Kanisius, 2003
[3] Asaz ini dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 8 ayat 1 dan Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[4] Kalau tak percaya bacalah syarat-syarat menjadi hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang dituangkan dalam pasal 14 (ayat 1) UU No 49 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang no 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Hal yang sama juga mengenai rekruitmen Jaksa yang dituangkan dalam UU No 16 tahun 2004 tentang UU Kejaksaan pasal 9 ayat (1) jo ayat (2) UU Kejaksaan
Sumber: Indoprogress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar