SEKITAR setahun silam, pemred saya, Coen Pontoh, pernah menulis: perubahan politik di Amerika Latin melahirkan teori dependensia, India melahirkan teori poskolonial, sementara Indonesia melahirkan teori konspirasi.
Jauh sebelum Obama dituduh sebagai Muslim komunis dan Jokowi difitnah “antek Syiah-Cina-Komunis” di media sosial, jika Anda main-main ke toko buku besar seperti Gramedia dan Gunung Agung, Anda akan mendapati kebenaran dari pernyataan di atas. Beberapa kali saya menemukan novel Da Vinci Code masuk di rak ‘Politik’, bahkan ‘Ilmu Sosial.’ Satu hal yang menurut saya waktu itu salah kaprah, keblinger, bahkan kurang beradab, sampai akhirnya saya ingat bahwa beberapa tahun sebelumnya, sebuah toko buku lain pernah memuat Dajjal Akan Muncul Dari Segitiga Bermuda di rak sejenis—dan, jangan lupa, Golden Ways-nya Mario Teguh di rak filsafat.
Tentu yang jadi persoalan bukanlah sekadar buku-buku ini laris, meskipun salah tempat; yang jadi soal adalah banyak orang lupa bahwa Da Vinci Code adalah fiksi dan Dajjal Akan Muncul Dari Segitiga Bermuda adalah mimpi siang bolong Muhammad Isa Dawud, seorang pengarang yang sempat melejit di era ’90-an awal dengan buku Dialog Dengan Jin Muslim.
Pertanyaan: apa Anda akan percaya dengan pengarang yang di bulan Januari serius membahas ciri-ciri Jin Muslim/Jin Kafir, sementara pada bulan September membicarakan perlunya mewaspadai anasir-anasir Yahudi dalam politik Swedia? Barangkali Anda tidak akan percaya sampai buku-buku ini dipajang di rak best seller.
Tentu Muhammad Isa Dawud tidak sendirian—tidak pula orisinil, semenjak toko buku yang sama juga menjual karya-karya local genius bertema sejenis ‘Siasat Cina menguasai Indonesia’ atau terjemahan indonesia dari Protocol of Zion tentang bagaimana Yahudi menjadi dalang segala macam kemalangan duniawi dengan mencukongi komunis dan bankir sekaligus.
Bagaimana fiksi-fiksi konspirasi ini menjelaskan peran suatu kelompok sebagai dalang? Ya cukup beberkan saja dokumen-dokumen palsu. Pokoknya tulis saja mereka kuat, kaya, ada di mana-mana dan meracuni anak muda. Pokoknya tuduh saja mereka asing, a-nasionalis, tidak patriotik. Pokoknya, sebut saja mereka telah menyusup ke seluruh sendi kehidupan bangsa, menguasai birokrasi, pemerintahan, dan media. Sasaran pembaca dan pendengar cerita-cerita ngawur ini mudah ditebak: rakyat kebanyakan yang miskin akses informasi atau sekadar sulit membedakan mana opini dan mana berita; mana rumor dan mana kebenaran; mana informasi pokok, mana berita sensasional.
Narasi dari bualan-bualan ini pun sebelas-duabelas: di balik kemalangan suatu bangsa, umat, jemaat, atau komunitas, terdapat suatu kelompok asing yang ongkang-ongkang kaki tak bekerja, menghisap jerih payah orang banyak yang sedang mereka hancurkan pelan-pelan itu. Toh, kendati pesannya populis dan seolah berpihak pada kaum jelata, seringkali yang menciptakan dongeng bahwa orang miskin diperkosa oleh elit asing adalah adalah elit pribumi yang justru selama ini memperkosa kaum miskin. Maka, alih-alih mengatakan bahwa teori konspirasi adalah senjata orang kalah, kenyataannya ia adalah senjata faksi-faksi elit yang terancam.
Oleh sebab itu pula, sejatinya teori dalang Yahudi/Amerika/Cina/Komunis bukanlah monopoli kader PKS berbini muda yang ketahuan korupsi. Sebagian besar teori konspirasi lahir dari elemen-elemen kemapanan yang terdesak, kemudian dipropagandakan seluas-luasnya dengan bahasa populis untuk meraih dukungan massa kelas bawah. Ningrat-ningrat yang sejengkal lagi terjungkal oleh Revolusi Prancis mengarang-ngarang cerita tentang Freemason, bahwa di balik revolusi yang digerakkan kaum Jacobin adalah jejaring global yang berniat mengubur agama Kristen. Lebih dari seratus tahun kemudian, polisi rahasia Tsar dan Gereja Ortodoks Rusia mengarang-bebas dokumen palsu Protocol of Zion untuk mendiskreditkan orang-orang komunis—ironisnya bertahun-tahun kemudian, Stalin sendiri gandrung menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan menuduh mereka antek Yahudi dan agen kapitalis internasional.
Usual suspect-nya jelas adalah orang Yahudi, komunitas diaspora, atau aneka ragam minoritas. Di Indonesia, yang tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel dan jumlah orang Yahudinya tidak signifikan sehingga tak punya pengaruh politik meski tetap dicurigai, tersangkanya adalah warga Tionghoa. Di sejumlah negara Afrika sebelah timur, yang jadi korban adalah India perantau. Perlu juga diingat: di Amerika Utara dan Eropa Barat, khususnya semenjak 11 September, salah satu fiksi politik yang laku keras adalah gosip Islamisasi masyarakat kulit putih, yang didalangi oleh imigran Muslim asal Timur Tengah.
Jadi, jika para ulama mengatakan bahwa kemiskinan dekat dengan kekufuran, maka keberadaan teori konspirasi membuktikan bahwa kemiskinan bertetangga dengan rasisme. Yahudi, Cina, India, Kurdi, juga warga keturunan Arab di Amerika dan Eropa, adalah etnis pelanglang buana yang kenyang dituduh macam-macam. Susah mengakses tanah, dipersulit untuk bikin usaha atau sekadar masuk kampus, warga minoritas ini adalah sasaran palak pemerintah setempat—namun karena dianggap kaya dan ahli dagang, diberikan porsi bisnis yang besar dengan syarat: tidak boleh berpolitik dan dilarang mengekspresikan budayanya. Kabar buruknya lagi: tiap kali muncul gonjang-ganjing politik, loyalitas warga minoritas ini pun langsung dipertanyakan, jika tidak dituding sebagai biang kerok. Itu buat warga diaspora yang kaya. Buat imigran yang miskin kondisinya jauh lebih susah: setelah dituduh mengambil jatah pekerjaan dari tangan pribumi, pengusiran, penganiayaan, bahkan pembunuhan menjadi makanan sehari-hari.
Di beberapa tempat hingga hari ini, Protokol Zion diperjualbelikan secara bebas dan dipercaya sebagai satu-satunya penjelas mengapa dunia makin amburadul dan kiamat semakin dekat. Di Palestina, Hamas bahkan memasukkan Protokol Zion dalam AD/ART-nya, sebagai salah satu alasan mengapa organisasi tersebut didirikan, yakni untuk membendung ekspansi kekuasaan Zionis, yang menurut kepercayaan Hamas, adalah asal-muasal kesialan bangsa Palestina. Di Indonesia, propaganda rasis anti-Tionghoa adalah adaptasi lokal dari antisemitisme yang terkandung dalam Protokol Zion. Siapapun yang puber di tahun 1998 pastinya ingat bagaimana Suharto terbata-bata menjelaskan di televisi bahwa kejatuhannya adalah prestasi aliansi haram Yahudi-Cina. Dan belakangan ini, tiap kali pemerintah bikin blunder kebijakan, kata “mafia” jamak disebut tanpa perlu repot-repot menjelaskan siapa dan bagaimana mafia yang dimaksud bekerja. Jadi, setelah ramai ‘hantu zionis’, ‘hantu separatis’, ‘hantu komunis’, ‘hantu Cina’, ‘hantu liberal’, ‘hantu kasebul’ ‘hantu Wahabi’, ‘hantu Syiah’, kini muncul ‘hantu mafia.’
Akhirnya memang sangat mudah mengalamatkan segala macam bencana sosial pada satu aktor, satu jejaring kekuasaan yang dipercaya eksis sepanjang masa, ketimbang mengakui rumitnya struktur ekonomi, politik, kebudayan yang timpang dan menyusahkan hidup orang banyak. Namun, hal ini pula yang sebenarnya membuat teori konspirasi semacam pujian terselubung terhadap siapapun yang dianggap musuh, dan di sisi lain, mempertontonkan kompleks rendah diri pengarangnya atau pengimannya.
Demikian, dalam kedunguanlah hari-hari ini orang lebih gampang bersatu.***
Sumber: Indoprogress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar