Semoga selesainya bulan Ramadhan tidak diartikan sebagai terbukanya keran bagi televisi untuk menyiarkan kebodohan, kekerasan, dan keterbelakangan adab.
Maafkan atas kelancangan tulisan ini, yang bertanya di penghujung Ramadhan, di tengah persiapan kita menyiapkan pesta bagi hari kemenangan: apakah tuntutan agar televisi menjadi baik selama Ramadhan bisa tetap kita gemakan pada sebelas bulan lainnya?
Pasalnya, tiap Ramadhan, televisi mendadak mendapat perhatian lebih. Ia kemudian dicurigai, diwanti-wanti, dan dikeluhkan. Selama sebulan dalam setahun, televisi bak memanen kritik atas dirinya. Namun tulisan ini bukan untuk menambah daftar kritik itu—yang memang masih kurang banyak dan keras!—melainkan ingin mengkritik kritik terhadap televisi selama Ramadhan. Bukan ingin membela kelakuan industri televisi—termasuk pemilik dan pekerjanya, yang memang sudah sepantasnya menerima keluhan dan penyesalan dari masyarakat yang waras atas apa yang mereka tampilkan di layar kaca—tapi tulisan ini ingin mendiskusikan bahwa kritik kepada televisi yang terfokus dan serius hanya pada saat Ramadhan sebetulnya sedang mengembangkan cara berpikir yang keliru, yang malahan mendorong iklim investasi yang ramah bagi wajah bopeng televisi.
Kita tahu, selain sebagai sebuah momentum keagamaan, Ramadhan adalah juga sebuah momentum budaya dan politik. Sebagai momentum yang demikian, Ramadhan lalu menjadi arena bagi banyak pihak untuk menyatakan diri dan posisi. Maka penguasaan ruang, upaya pendefinisian, atau pengenaan atribut penanda kehadiran telah menjadi modus tahunan bagi siapa pun yang berkepentingan merebut kuasa dan simpati lewat Ramadhan.
Tidak hanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang memang oleh publik diberikan tugas mengawasi dunia penyiaran, lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengimbau televisi agar menghormati Ramadhan dengan tidak menampilkan isi siaran yang tidak baik. Keduanya bahkan memiliki program khusus untuk mengawasi tingkah televisi semasa Ramadhan, yang membuat KPI mengeluarkan teguran dan sanksi yang lebih banyak dari biasanya, dan MUI yang secara terbuka melaporkan hasil pemantauannya. Dan seperti tak mau ketinggalan, Ramadhan Pohan dari Komisi I DPR RI yang membawahi urusan penyiaran, baru-baru ini juga ikut mengkritisi televisi, tepatnya soal busana yang terbuka dalam tayangan Ala Chef (Trans TV).
Dalam pelbagai pemberitaan, MUI berpendapat bahwa stasiun televisi hendaknya menyiarkan tayangan yang cerdas dan mendidik, terlebih saat Ramadhan. KPI juga melakukan hal serupa, yakni meminta kepada lembaga penyiaran untuk memperketat sensor internal agar tidak ada tayangan yang berpotensi melanggar aturan dan mengganggu kekhusyukan puasa. Sedangkan Pohan, keluhannya atas Ala Chef punya buntut: semakin menyesalkan karena hal itu terjadi pada bulan yang suci.
Dari apa yang dilakukan pihak-pihak tadi, tergambar bahwa logika yang mengoperasikan segala tindakan tersebut adalah keinginan meredam sedalam mungkin semua potensi yang bisa membatalkan atau mengurangi keimanan berpuasa. Dalam logika demikian, kotak satu ini dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyukkan ibadah puasa. Saat Ramadhan, televisi mendadak dimaknai sebagai libido yang mesti dikekang. Di sini terlihat, televisi menjadi sebuah masalah ketika berada dalam bingkai agama, iman, kemudian moral. Musim puasalah yang membuat televisi dihajar kritik. Kritik televisi musiman ini seakan menjadi modus beragama yang diulang setahun sekali.
Tentu sah-sah saja dengan imbauan, harapan, dan cara berpikir demikian. Tapi apa dasar berpikir yang menggerakkan seluruh kerja intensif tersebut pada bulan puasa? Kenapa hanya momentum Ramadhan yang dijadikan alasan untuk membuat program pemantauan tayangan televisi lebih ketat? Apakah kerja KPI hanya dibiayai dari pajak mereka yang berpuasa? Apakah mereka yang tak berpuasa tak pantas dilayani haknya untuk mendapatkan isi siaran televisi yang beradab?
Menjadikan televisi sebagai masalah hanya pada saat Ramadhan juga menggambarkan modus beragama yang anti-realitas. Paradigma demikian melihat puasa sebagai praktek keagamaan yang dijalani dalam ruang yang kedap sosial: tanpa godaan, tanpa tantangan. Laku puasa dibikin untuk tidak hidup dan bergumul bersama dengan kenyataan sehari-hari yang dekat: kejahatan, kedengkian, kemiskinan, kemaksiatan, dan lainnya.
Dengan begitu, apakah kebaikan atau kebijaksanaan pun bersifat musiman? Apakah kita kemudian hanya bisa menjumpai kebajikan yang meruang dan mewaktu; kebajikan yang punya masa aktif dan masa tenggang layaknya pulsa telepon genggam?
Kritik televisi musiman lalu juga mesti berhadapan dengan pertanyaan tentang bagaimana memaknai kemajemukan. Apakah, misalnya, saat Waisak dan Natal mereka yang merayakannya tidak membutuhkan kesyahduan yang sama? Tidakkah Upawasa dan Puasa Pra Paskah--ibadah puasa umat Hindu dan Katolik--adalah juga sebuah masa yang khusyuk, yang membutuhkan ketegasan kita bersama atas perangai televisi yang primitif? Rasanya tidak berlebihan kalau warga negara, siapapun ia, berhak menuntut televisi bekerja sebaik-baiknya bagi kepentingan publik sepanjang tahun. Diulangi: sepanjang tahun.
Penanda kritik musiman paling serius tampak dalam penghakiman moral para selebritas yang mendadak berbusana religi di kala Ramadhan. Mereka, oleh para pengkritik, dianggap hipokrit, karena agama (atau religiositas) hanya dikenakan sebagai aksesoris untuk memperlancar usaha dagangnya. Namun, tidakkah kondisi demikian merupakan hasil dari bentukan atas kritik musiman tersebut, yang memaksa mereka untuk menghormati Ramadhan?
Sebentar lagi Ramadhan usai. Selesainya bulan penuh berkah ini semoga tidak diartikan sebagai terbukanya keran bagi televisi untuk menyiarkan kebodohan, kekerasan, dan keterbelakangan adab. Tentu kita boleh berharap bersama, agar kritik tidak hanya bekerja di dalam bingkai agama dan moral, tapi juga dalam bingkai problem kewarganegaraan. Dengan cara begitu, kritik musiman akan mengalami anomali atau rekayasa genetik, yang kemudian menjadi berbuah sepanjang tahun.
Selamat Idul Fitri! []
Sumber: Removiti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar