Keep you doped with religion and sex and TV
And you think you're so clever and classless and free
But you're still peasants as far as I can see
A working class hero is something to be
(Working Class Hero, John Lennon)
Tiga tahun belakangan ini, setiap kali terjadi aksi buruh besar-besaran yang berskala nasional, saya akan membuka Google lalu mengetik “sampah demo buruh” pada kolom pencarian. Hasilnya tak pernah mengecewakan. Laman hasil pencarian Google biasanya penuh oleh berita tentang sampah yang ditinggalkan demonstran buruh. Para wartawan dari depan Gedung Sate hingga depan Istana Negara sibuk mengamati tumpukan sampah, tuntutan para buruh pun seakan tenggelam dalam tumpukan sampah-sampah itu.
Berita tentang menumpuknya sampah yang ditinggalkan para buruh ini kemudian memicu sikap antipati terhadap aksi buruh. “Kelakuan begini mau minta gaji tinggi..” begitu bunyi salah satu komentar pada berita tentang sampah yang ditinggalkan para buruh di Gelora Bung Karno. Selain berita tentang sampah, tema rutin lain yang selalu diberitakan selepas aksi buruh adalah kemacetan lalu lintas dan kerugian perusahaan akibat aksi. Aksi buruh akhirnya terkesan merugikan semua kalangan kecuali para buruh peserta aksi itu sendiri.
Kini rutinitas berita yang memancing antipati terhadap buruh tampaknya tengah memasuki babak baru. Detik.com mengunggah berita bernada sinis dengan judul "Upah Rp 2,4 Juta /Bulan, Buruh: Nggak Bisa Liburan Ke Bali". Berita ini mengabarkan tentang tuntutan kenaikan upah yang dinyatakan Sekeretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dalam konferensi pers. Nada sinis berita ini dapat dilihat dari pemilihan judul yang menyederhanakan tujuan tuntutan para buruh, seolah-olah para buruh meminta upahnya dinaikkan hanya agar bisa berwisata ke Bali.
Sebelumnya, berita-berita bernada sinis terhadap buruh biasanya muncul setelah aksi-aksi buruh yang besar-besaran dengan skala nasional. Berita tentang sampah sisa aksi buruh biasanya ramai-ramai terbit pada 2 Mei, sehari setelah aksi Hari Buruh. Berita tentang buruh bermotor mentereng juga diunggah setelah buruh beberapa hari melancarkan mogok nasional pada akhir Oktober 2013 lalu. Sedang berita tentang buruh yang tak bisa liburan ke Bali muncul begitu saja ketika para buruh tak melancarkan aksi besar-besaran. Seperti berita-berita sinis sebelumnya, berita ini pun disambut komentar pembaca yang antipati terhadap tuntutan buruh. Komentar-komentar bernada antipati pun semakin bersemangat dengan, misalnya, menyarankan perusahaan untuk memecat buruh yang banyak menuntut.
Berita bernada sinis terhadap buruh telah menjadi rutinitas media dan kini rutinitas itu bukan hanya terjadi selepas aksi buruh. Ini menandakan awak media semakin terbiasa menulis sikap politik buruh secara sinis. Rutinitas ini membuat upaya para buruh dalam memperjuangkan nasibnya semakin berat. Dalam beberapa kasus, para buruh pun mulai “membalas” berita-berita sinis di media. Ketika mogok nasional pada Oktober-November 2013 lalu, Forum Buruh DKI bahkan memboikot TV One dan Warta Kota lantaran pemberitaan dua media tersebut dianggap tak berimbang. Pemboikotan dilakukan dengan menyisir dan mengusir wartawan dua media terkait dari lokasi aksi.
Ketidakakuran wartawan dengan buruh ini tentu tak diinginkan oleh gerakan buruh. Dalam berbagai isu, buruh masih mengharapkan atau bahkan bergantung pada media massa untuk menyebarluaskan aksi dan pernyataan mereka. Salah seorang aktivis buruh Purwakarta pernah mengeluhkan sulitnya mengundang wartawan untuk meliput isu-isu buruh. Saat itu aktivis tersebut sedang mengurus kasus represi polisi terhadap mogok buruh Indofood pada Juli lalu. Ia dan kawan-kawannya mengundang wartawan untuk konferensi pers, namun tak satu pun datang. “Kalau pun datang, belum tentu berita yang mereka tulis berimbang,” ujarnya ketus. Barangkali ia juga sudah terbiasa melihat pemberitaan isu perburuhan yang cenderung memojokkan buruh.
Lalu apa yang membuat berbagai media massa begitu getol menerbitkan berita sinis sehingga masyarakat menjadi antipati terhadap sikap politik buruh?
Menurut Shoemaker dan Reese (1996), terdapat beberapa level pengaruh yang menentukan isi berita suatu media. Secara berturut tingkatan tersebut dibagi sebagai berikut: pengaruh individu pekerja media, pengaruh rutinitas media, pengaruh organisasi media, pengaruh eksternal media, dan pengaruh ideologi media.
Pengaruh individu pekerja media dapat ditelusuri dari latar belakang dan karakteristik individu wartawan sebagai pekerja suatu media. Dimensi-dimensi yang turut membentuk latar belakang seorang wartawan antara lain adalah jenis kelamin, etnis, orientasi seksual, pendidikan, dan apakah ia berasal dari kaum kebanyakan atau kaum elit. Kecuali dimensi-dimensi bawaan lahir seperti jenis kelamin, dimensi-dimensi yang membentuk latar belakang seseorang pun sebenarnya terbentuk oleh keadaan sosial yang melingkupinya. Wartawan dilingkupi oleh keadaan sosial dengan corak produksi kapitalis. Corak produksi inilah yang membagi-bagi kelas pekerja dalam kategori-kategori hierarkis: terampil, semi-terampil, dan tak terampil. Wartawan yang meliput di kantor-kantor pemerintah dengan ijazah sarjana dianggap sebagai pekerja terampil. Sedangkan para buruh di pabrik-pabrik perakitan otomotif atau garmen yang tak pernah mengenyam bangku kuliah dianggap semi-terampil atau tak terampil.
Seorang wartawan yang juga bagian dari kelas pekerja kemudian lebih menghayati posisinya sebagai pekerja berketerampilan atau kelas menengah. Ia merasa menjadi bagian dari kelas di dalam kelas. Meskipun hidup dari menukar tenaganya dengan upah seperti buruh pabrik di Bekasi atau Tangerang, banyak wartawan merasa tak berkepentingan dengan kenaikan tingkat upah. Padahal upah wartawan Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia Tenggara. Rata-rata wartawan Jakarta diupah Rp. 3-4 juta per bulan. Namun masih ada juga wartawan yang diupah di bawah upah minimum provinsi. Hal ini karena pengeluaran perusahaan-perusahaan media di Indonesia untuk gaji wartawan masih tergolong rendah dibanding di negara-negara lain. Rasio pengeluaran upah wartawan di perusahaan media sebesar Jawa Pos pun hanya 8% dari seluruh pendapatan perusahaan, sementara sekelas Tempo Media Group pun hanya 12,39%. Bandingkan dengan Star Publication di Malaysia yang mencapai 18,3%, Singapore Press Holding di Singapura yang mencapai 29,3%, dan Fairfax Media di Australia yang mencapai 37,12%.
Tingkat upah yang rendah menunjukkan bahwa kebanggaan wartawan-wartawan Indonesia pada statusnya sebagai pekerja terampil hanyalah kebanggaan semu. Rutinnya berita-berita yang sinis terhadap sikap politik buruh sebenanrya mencermikan para wartawan yang belum selesai berurusan dengan ilusi hierarki keterampilan dan kebanggaan semunya. Ilusi hierarki keterampilan dan kebanggaan semu itu membuat para wartawan tak rela upahnya yang pas-pasan tersaingi oleh upah para buruh yang kastanya lebih rendah dalam hierarki keterampilan. Bukan hanya teratomisasi dari kelas pekerja, para wartawan penulis berita sinis akhirnya harus melawan perjuangan kelasnya sendiri.
Tragisnya, seorang wartawan mungkin bekerja untuk majikan yang sama dengan para buruh yang aksinya ia tulis dengan nada sinis. Konglomerasi memungkinkan hal semacam ini subur terjadi. Detik.com dan Carrefour misalnya. Detik.com masih mengupah wartawannya di bawah jumlah upah layak wartawan, sementara Carrefour memiliki sederet permasalahan perburuhan. Kedua perusahaan ini berada di bawah kepemilikan majikan yang sama, yaitu Chairul Tanjung. Majikan yang tak memberi upah cukup bagi wartawan dan buruhnya untuk berlibur ke Bali. []
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar