Ada dua tesis yang biasa kita pakai untuk mengkritik televisi kita dewasa ini. (1) Televisi memberikan gambaran yang keliru tentang realitas dan kita melihat gambaran tersebut sebagai yang lebih nyata ketimbang kenyataan itu sendiri. Hal ini ditumpu oleh (2) dunia pertelevisian, sebagai dunia industrial, bergerak sepenuhnya untuk memproduksi laba, dan dengan demikian akan terus terombang-ambing dalam mekanisme pasar.
Untuk memudahkan, kita sebut tesis pertama sebagai kritik ideologi, dan tesis kedua sebagai kritik ekonomi-politik. Kedua tesis ini punya banyak turunan. Dalam kritik ideologi kita bisa melihat televisi sebagai kelanjutan rasa minder bangsa bekas-jajahan di hadapan kebudayaan penjajah, sebagai perpanjangan ideologi patriarkal untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah daripada laki-laki, atau sebagai media penghibur serta reproduksi tenaga buruh agar tetap bisa bahagia dan melupakan penindasan kapitalisme, dan seterusnya, dan seterusnya.
Dalam kritik ekonomi-politik, kita bisa melihatnya sebagai penghisapan kapital atas tenaga kerja, sebagai perampokan ruang publik berupa frekuensi yang digunakan sebagai medium penyiaran televisi, lemahnya negara dalam memberikan perlindungan publik serta mengatur industri, atau ruang bebas pakai bagi perusahaan-perusahaan untuk mempromosikan produk-produknya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk memformulasikan cara baca baru atas televisi. Model basis-superstruktur yang tercermin dalam analisis kedua tesis tersebut, menurut hemat saya, adalah alat yang paling produktif untuk menggambarkan dinamika industri pertelevisian secara makro. Tulisan ini pun tidak berniat untuk membetulkan pembacaan yang “keliru” atas televisi. Roy Thaniago dan Fajri Siregar pernah melakukan kritik atas sesat logika umum yang direpresentasikan oleh Pandji dengan ciamik (baca “Menguji Logika Pandji” dan “Bias Kelas dan Literasi Media”). Tulisan ini bersumber pada permasalahan teoretis dan praksis: apabila kita punya seperangkat pengetahuan tentang suatu realitas, kenapa kita tidak mampu mengubah realitas tersebut?
Pertanyaan ini bisa dijawab dari aras strategi-taktik, yakni dengan melakukan otokritik atas metode gerakan dalam mengorganisasi perlawanan terhadap hegemoni industri, atau dari aras paradigmatik, yakni dengan mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar yang melandasi gerakan itu sendiri. Tulisan ini akan masuk lewat aras paradigmatik dengan mengembangkan kembali kedua tesis kritik atas televisi.
Publik Sebagai Warga Negara
“Frekuensi adalah milik publik”, demikian bunyi maxim yang melandasi gerakan melawan hegemoni industri televisi. Maxim ini bertumpu pada dua postulat. Pertama, frekuensi yang dipakai untuk menyiarkan tayangan televisi adalah gelombang elektromagnetik yang beredar bebas di udara. Kedua, publik adalah entitas politik pertama yang darinyalah pengaturan masyarakat dimungkinkan dan ditujukan. Pernyataan “frekuensi adalah milik publik” berarti afirmasi terhadap publik sebagai subjek politik yang darinya pengaturan frekuensi dimungkinkan dan untuk kepentingannya pengaturan tersebut ditujukan.Pemahaman publik sebagai subjek politik ini adalah usaha untuk mengimbangi cara pandang televisi yang mereduksi penonton sebagai konsumen. Konsumen bicara soal selera, apakah tayangan tertentu sesuai dengan preferensi pribadi yang berasal dari posisi individu dalam lingkup kultural, sosial, dan ekonomi. Konsekuensi praksis paling radikal dari posisi ini serupa dengan seorang konsumen yang berada di swalayan: apabila ia tidak menyukai suatu produk, ia tidak akan membelinya. Apabila penonton tidak menyukai tayangan atau stasiun televisi tertentu, ia tidak menontonnya—atau, paling jauh, membuat petisi online untuk menghentikan tayangan-tayangan yang tidak sesuai dengan selera individu-individu tersebut tanpa pernah membuat suatu gerakan riil untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam dunia penyiaran.
Secara epistemologis, posisi ini bermasalah karena selera konsumen adalah relatif dan tidak objektif, dan, lantaran metodenya yang fenomenologis—yakni hanya bertumpu pada penampakan tayangan yang berkorespondensi langsung dengan selera—ia gagal melihat struktur yang bekerja di balik dan melandasi tayangan itu sendiri. Dengan demikian, pengetahuan yang mampu diproduksi oleh posisi ini hanyalah nyanyian “bintang kecil di langit yang biru”, tanpa tahu bahwa bintang itu besarnya berkali-kali lipat dari bumi, dan warna biru langit hanyalah permainan cahaya—langit tidak punya warna.
Dengan menempatkan publik sebagai subjek politik, kita tidak lagi bicara mengenai individu-individu yang digerakkan oleh selera, melainkan sebagai subjek kolektif yang memiliki hak-hak sebagai warga negara untuk mendapatkan tayangan yang sehat, mendidik, dan relevan bagi kehidupannya. Menempatkan publik sebagai subjek politik mengandaikan posisi epistemologis yang jelas, yakni afirmasi terhadap dinamika ekonomi-politik sebagai mekanisme yang melandasi dunia pertelevisian kita. Dari posisi epistemologis ini kita mendapatkan pengetahuan tentang struktur umum tentang relasi-relasi sosial yang memungkinkan dan mempengaruhi tayangan televisi yang kita saksikan sehari-hari. Konsekuensi praksisnya, kita jadi punya strategi umum untuk melakukan perubahan. Hanya dengan memiliki pengetahuan objektif tentang kondisi material suatu keadaanlah kita mampu mengubah keadaan tersebut.
Namun demikian, maxim ini bukanlah senjata maha kuasa. Setidaknya terdapat tiga problem mendasar yang menjadi celah kosong pengetahuan kita. Pertama, kita tidak memiliki suatu tujuan konkret yang dengannya segala pencapaian gerakan bisa diukur. Kedua, publik sebagai subjek bukanlah entitas yang tunggal. Ketiga, publik adalah subjek yang menyejarah; ia dibentuk oleh berbagai macam faktor—dan televisi salah satunya.
Mari kita bahas problem-problem tersebut satu persatu.
Pertama
Kalimat “frekuensi adalah milik publik” biasanya diikuti dengan simpulan, “oleh karenanya, publik berhak untuk mendapatkan informasi yang benar dan berimbang, tayangan mendidik, jernih tanpa bias, ramah gender, serta relevan bagi kehidupan bermasyarakat.” Formulasi ini telah menjadi tonggak normatif yang siap ditelan oleh setiap mahasiswa yang sedang belajar menjadi aktivis media. Namun, sebagaimana patokan normatif pada umumnya, kita kerap kali tidak tahu persis dengan apa yang kita katakan. Seperti apakah tayangan yang mendidik? Pendidikan macam apakah yang mesti disediakan oleh televisi? Seperti apakah tayangan yang tidak bias gender? Apa saja isu yang relevan bagi publik?Barangkali satu-satunya pertanyaan yang dengan rigor terus dijawab oleh pemerhati media adalah pertanyaan mengenai dunia jurnalisme. Kita punya Kode Etik Jurnalisme sebagai pedoman praktik jurnalistik, Dewan Pers sebagai regulator, serta Aliansi Jurnalis Independen sebagai organisasi profesi jurnalis non-pemerintah. Dengan amunisi yang terhitung lumayan itu pun, jurnalisme televisi kita masih banyak bopengnya.
Hanya dengan menjawab pertanyaan di ataslah kita punya arah serta patokan dalam bergerak. Tulisan ini tidak berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, melainkan menunjukkan pintu masuk untuk menjawabnya.
Kedua
Siapa yang kita maksud sebagai “publik” ketika kita bilang “frekuensi adalah milik publik”? Pertanyaan ini mesti kita jawab terlebih dahulu apabila kita ingin masuk dalam problem yang tertera pada poin 1). Apabila kita meyakini bahwa setiap aspek dalam penyiaran harus mengabdi pada publik, maka kita mesti mendefinisikan aspek-aspek normatif tersebut di atas dengan menggunakan perspektif publik. Perspektif publik ini, pada gilirannya, hanya bisa kita gunakan apabila kita mengenal siapa itu publik.Publik bukan suatu entitas yang pejal dan monolitik. Ia adalah entitas kolektif spesifik yang diikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas. Rambu-rambu lalu lintas adalah rambu publik. Ia bukan rambu-rambu untuk semua orang; ia ada hanya untuk memberi arahan bagi publik pengguna jalan. Rambu-rambu lalu lintas tidak berlaku untuk orang yang sedang bermain sepak bola atau makan di warung Padang. Begitupun toilet umum. Ia adalah solusi bagi publik yang ingin buang air besar/kecil, namun bukan untuk orang-orang yang kehausan atau merana ditinggal pacar.
Problem bagi pengaturan publik atas televisi adalah ini: hampir seluruh rakyat Indonesia adalah publik televisi, dan mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda dari televisi. Kita bisa menemukan televisi di dalam hampir setiap bangunan yang berdiri di Indonesia—bahkan di rumah orang-orang yang mengaku tidak menonton televisi. Pada pihak lain, terdapat sepuluh televisi swasta yang bersiaran secara nasional, dan semuanya membawa suara yang spesifik: Pulau Jawa, Muslim, laki-laki, dan apolitis (untuk sifat terakhir ini akan terjelaskan pada poin berikutnya). Banyak kepentingan publik yang kurang atau bahkan tidak mendapat tempat sama sekali dalam televisi.
Sementara industri televisi memiliki Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) yang menjadi benteng konsolidasi industri dalam menentukan isi tayangan maupun daya tawar terhadap negara dan publik, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dijagokan sebagai benteng pertahanan publik masih harus menempuh ribuan tahun cahaya untuk mampu membatasi gerak industri—apalagi menjadi representasi otoritas publik dalam menentukan konten tayangan.
Lebih lanjut lagi, kita juga perlu memberi batasan-batasan yang jelas terhadap publik itu sendiri. Surya Paloh dalam sebuah wawancara di Aiman dan... (Kompas TV, 24 Januari 2014) menyatakan bahwa ia adalah “bagian dari publik... publik ya kita. Ruang publik ya kita bersama. ... saya minta, boleh nggak saya kampanye di situ (Metro TV). Saya mau menjalankan pikiran, konsepsi, gagasan, perubahan restorasi Indonesia yang dibawa partai NasDem ini.” Atau Hizbut Tahrir Indonesia yang membeli spot TVRI untuk menayangkan muktamar khilafah HTI yang dengan terang menolak konstitusi negara dan demokrasi—namun, ironisnya, menggunakan argumen kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh Undang-undang.
Di sinilah paradoks dalam menempatkan publik sebagai subjek politik televisi. Baik HTI maupun Surya Paloh dengan NasDem-nya adalah gerakan politik yang diorganisasi oleh publik, tapi kita melihatnya sebagai sesuatu yang bermasalah. Tentu kita bisa bilang bahwa tindakan yang dilakukan oleh Surya Paloh (begitu juga Aburizal Bakrie-Golkar dan Harry Tanoe-Hanura) melanggar peraturan Komisi Pemilihan Umum mengenai kampanye partai politik. Kita juga bisa bilang bahwa televisi adalah ruang publik yang bebas kepentingan politik.
Now, here’s the twist: kita tidak akan berteriak kalau yang muncul adalah Suara Ibu Peduli (SIP), aksi Kamisan, atau Migrant Care. Kemunculan kelompok pertama kita definisikan sebagai pemanfaatan frekuensi publik untuk kepentingan politik, sementara kelompok kedua kerap dilabeli sebagai gerakan masyarakat yang tergugah “moral”nya. Kelompok pertama adalah politik praktis yang kotor dan kelompok kedua adalah gerakan rakyat yang berlandaskan hati nurani. Sebagian dari kita lebih memilih rakyat yang memiliki hati nurani ketimbang Hati Nurani Rakyat—dan mungkin pilihan itu adalah pilihan yang baik.
Namun demikian, ada kekeliruan fatal dalam cara pandang ini dan media—televisi juga termasuk di dalamnya—punya andil besar di dalamnya.
Ketiga
Dengan semakin dekatnya pemilihan umum bulan April 2014 mendatang, berbagai kalangan masyarakat cemas. Apa pasal? Grafik partisipasi rakyat dalam Pemilu turun secara teratur dimulai dari tahun 1999 (92,74% dari pemilih yang terdaftar), 2004 (84,07%), dan 2009 (71%). Dalam survey yang dilakukan LIPI atas 1.799 responden dari 31 provinsi pada akhir November 2013 kemarin, terdapat 60% peserta yang menyatakan kurang atau tidak tertarik sama sekali terhadap politik, dan hanya 37% yang mengaku tertarik. Sementara itu, terdapat 40,7 juta pemilih muda atau 21,8% dari total 186,6 juta pemilih yang akan terlibat dalam Pemilu tahun ini, dan 20,8 juta di antaranya adalah pemilih pemula.Dengan segera, kita bisa menarik beberapa kesimpulan dari rendahnya tingkat partisipasi publik terhadap Pemilu ini: rakyat sudah tidak peduli terhadap politik, pemahaman rakyat tentang politik rendah, dan Indonesia sedang mengalami krisis politik yang mendasar. Kita pun punya sederet obat mujarab bagi problem ini: kampanye, pendidikan kewarganegaraan, Undang-undang yang melarang golput, kampanye, dan kampanye lebih banyak lagi. Rakyat sebenarnya membutuhkan politik, tapi rakyat tidak tahu apa yang sebenarnya ia butuhkan, oleh karena itu rakyat harus diberitahu apa yang sebenarnya ia butuhkan.
Kita lantas menunjuk Orde Baru sebagai biang keladi situasi ini: sikap apolitis rakyat adalah warisan Orde Baru yang merepresi aspirasi politik rakyat untuk melanggengkan hegemoninya selama 32 tahun. Rakyat menilai politik sebagai sesuatu yang “kotor”, “penuh dengan intrik”, dan “pencitraan semata”.
Biasanya kita akan menunjuk sisa-sisa Orde Baru yang masih bercokol dalam instansi-instansi pemerintahan kita—dengan jumlah yang tidak sedikit—sebagai benalu yang merongrong laju reformasi. Dalam survei-survei yang digalang berbagai lembaga, hanya satu partai yang bukan hasil diaspora Golongan Karya (Golkar): Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Empat partai sisanya adalah kendaraan politik Golkar atau kader “alumnus” Golkar; yakni Gerakan Indonesia Raya (mengusung Prabowo Subiyanto), Nasional Demokrat (dengan Surya Paloh), dan Hati Nurani Rakyat (dengan Wiranto). Golkar sendiri masuk dalam lima besar itu dengan mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai presiden. Tiga partai di antaranya didukung penuh oleh perusahaan penyiaran televisi: Nasdem oleh Metro TV (milik Surya Paloh), Hanura oleh MNC Grup (milik Hary Tanoesudibyo), dan Golkar oleh TV One dan ANTV (milik Aburizal Bakrie). Dengan wajah politik semacam ini, bukankah wajar apabila kita berpikir kalau reformasi tak ubahnya Orde Baru yang beralih rupa dengan bulu domba—sementara firasat kita berteriak: pengusaha dan tentara itu serigala?
Problem mendasar dari pemahaman politik seperti ini bukan bahwa banyak elit politik kita yang brengsek—meskipun mesti diakui, mereka memang brengsek dan itu masalah besar—melainkan bahwa kita memaknai politik sebagai mainan elit; kita melihat politik sebagai sesuatu yang menubuh dalam institusi-institusi formal negara, dalam partai-partai, dalam perwakilan-perwakilan. Politik yang disuguhkan televisi serta media massa pada umumnya adalah skandal pejabat dan artis yang terjerat kasus korupsi, masalah-masalah internal dalam partai berkuasa, presiden yang mutung karena dibully oleh stasiun televisi milik lawan politiknya, tersangka penjahat kemanusiaan dengan mudah lari dari tanggung jawab karena punya jiwa patriotik dan semangat nasionalisme, pengusaha brengsek yang menghancurkan seluruh sektor ekonomi di beberapa desa Sidoarjo dengan berak lumpur lalu bilang ia mau membangkitkan usaha kecil. Sementara Orde Baru mengekang media untuk tidak bicara politik, media reformasi penuh dengan intrik politik. Penampakannya tentu sama sekali berbeda, namun asumsinya sama: rakyat atau massa atau publik tidak turut andil di dalamnya.
Sementara itu, gerakan publik selalu ditimbang sebagai aksi ricuh, amuk massa, unjuk rasa yang menyebabkan kemacetan, atau bentrok aparat dengan demonstran. Kita selalu digiring untuk melihat gerakan publik sebagai sesuatu yang penuh kekerasan, kasar, dan banal. Seorang nasionalis karbitan akan melihatnya sebagai “memecah belah kesatuan bangsa”, pengikut setia Mario Teguh akan dengan bijak menghakiminya sebagai “orang-orang tidak tahu bersyukur”, atau “orang miskin yang malas membangun usaha sendiri”, #kelasmenengahngehek akan mengeluh karena, “Demo kok di hari kerja, bikin macet saja—kenapa nggak pas hari libur!?” atau yang paling teruk, seorang skeptis-nihilis yang berkata, “Alah, ngapain demo. Memang dunia dari dulu kayak begini kok; nggak ada alternatif”. Pejabat negara, anggota DPR, aparat kepolisian, presiden, perwakilan pengusaha, atau penjaga warung kopi pun sering kepergok memberi komentar demikian: “isu (silahkan isi dengan isu yang menyangkut kepentingan publik di sini) jangan dipolitisir!” Masalahnya, segala macam isu yang menyangkut kepentingan publik adalah politis; ia menyangkut pengaturan masyarakat dan politik, per definisi, adalah pengaturan masyarakat.
Publik, dengan demikian, ditempatkan dalam politik dengan kerangka perwakilan; DPR adalah sebuah dewan yang mewakili kepentingan politik publik, Kemenkominfo mewakili kepentingan publik dalam menggunakan medium komunikasi dan memperoleh informasi, KPI mewakili publik dalam pengawasan konten media, dan seterusnya. Peran publik hanya memilih perwakilan, dan hanya melakukannya sekali dalam jangka waktu 5 tahun sekali; baik itu presiden, anggota legislatif, kepala tingkat provinsi, kabupaten, ataupun RT/RW. Tindakan politis publik yang dengan penuh difasilitasi negara adalah penyerahan hak politis publik pada perwakilannya.
Tentu akan sangat sulit untuk menerapkan sebuah pengaturan masyarakat dalam skala besar dengan tanpa melibatkan skema perwakilan sama sekali. Sistem perwakilan, hingga titik tertentu, masih diperlukan. Problem dari sistem perwakilan kita hari ini terletak pada anonimitasnya. Telah kita diskusikan di atas bahwa publik selalu bisa dinamai. Sistem perwakilan kita melihat publik sebagai suatu kerumunan yang carut marut dan ada di sana begitu saja. Kita selalu dengar: “semua orang punya andil, satu orang satu suara”. Andil dalam hal apa, dan bagaimana bisa satu suara itu mengakomodasi seluruh kepentingannya dalam berbagai aspek kehidupan politik?
Sebagai apakah publik ketika publik memberikan suara pada seorang wakil? Sebagai rakyat? Sebagai warganegara? Sistem perwakilan mereduksi seluruh kepentingan publik dalam istilah “suara rakyat”, dan publik menggunakannya untuk memilih satu wakil yang akan mewakili semua kepentingannya; dari pengaturan jalan raya, pengaturan hubungan industrial, pengaturan penyiaran, dan seterusnya. Publik memilih wakil di DPR untuk mewakili publik dalam memilih wakil publik yang mengurusi kepentingan publik yang lebih riil dalam kementrian dan komisi negara. Dengan demikian, apakah benar publik diwakili? Kita bisa membalikkan tuduhan yang telah disebut di muka: “rakyat membutuhkan politik, tapi bukan politik macam ini.”
Televisi kita adalah hasil bentukan dari sistem politik perwakilan ini sekaligus menjadi anjing penjaga yang memustahilkan publik untuk keluar dari kerangka pikir tersebut. Dengan demikian, konsekuensi logis dari menempatkan publik sebagai subjek politik dalam hubungannya dengan dunia pertelevisian adalah memberikan publik kemampuan untuk mendefinisikan televisi, dan bukan sebaliknya. Tentu kita masih butuh sistem perwakilan; industri televisi tetap mewakili publik dalam memproduksi tayangan, memilih jenis tayangan, atau mengurus pengorganisasian kerja. Namun seluruh paradigma yang melatari seluruh proses produksi tayangan tersebut ditujukan untuk publik. Skema seperti ini tentu akan membunuh paradigma perwakilan yang selama ini dipakai televisi. Publik adalah kehadiran (presentation) yang diwakilkan (representation), dan industri televisi memiliki kekuasaan karena ada kehadiran yang membuatnya bisa mewakili sesuatu—dan kekuasaan itu semu, ia bergantung pada publik yang memberinya kekuasaan pada mulanya.
Apabila kekuasaan adalah senjata, maka tugas kita adalah memberikan senapan kepada industri televisi, untuk menembaki kepala mereka sendiri. []
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar