Sabtu, 29 Agustus 2015

Security of Tenure dalam Hak atas Perumahan yang Layak

PERUMAHAN layak bukan hanya kebutuhan pokok seseorang dan keluarganya, namun juga merupakan salah satu hak manusia yang paling dasar. Sayangnya, hal tersebut selalu diabaikan oleh negara dan aparat pemerintahan. Sepuluh tahun lalu, melalui UU No. 11/2005, Republik Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Berdasarkan UU tersebut, Indonesia harus mematuhi seluruh ketentuan standar internasional hak asasi manusia serta berkewajiban menghormati, melindungi, dan mewujudkan secara bertahap (progresif) hak-setiap orang atas perumahan yang layak (right to adequate housing) dan dilarang melakukan penggusuran paksa (forced eviction) dengan alasan apa pun. Artinya, perwujudan hak atas perumahan yang layak juga bisa diklaim kepada negara.

Minggu lalu berlangsung pembongkaran paksa terhadap rumah dan hunian warga Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Lebih dari 560 KK akan dipindahkan ke rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), Jatinegara Barat. Berdasarkan Perda No.1/2012 tentang Normalisasi Sungai Ciliwung dan Perda No.1/2014 tentang RDRT dengan rencana sodetan serta perubahan peruntukan lahan di sepanjang “delta” lekukan “U”, total 3.809 KK warga Kampung Pulo akan dipindahkan dan kehilangan rumah atau hunian seluas 8,571 hektar.

Pada hari pertama relokasi, Kamis, 20 Agustus 2015, puluhan warga Kampung Pulo luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit akibat penanganan aparat Satpol PP dengan cara kekerasan. Penggusuran paksa dengan modus kekerasan semacam itu sudah sering terjadi, baik atas nama kepentingan penataan ruang, pembangunan pusat perbelanjaan, maupun normalisasi Sungai Ciliwung seperti di kawasan padat Kampung Pulo tersebut ataupun pengambilalihan tanah di kawasan remote area atau perdesaan untuk berbagai “kepentingan pembangunan”, seperti kawasan industri atau perkebunan, reklamasi pantai, dan sebagainya.

Dampak bagi warga yang digusur sangat luas. Mereka bukan hanya kehilangan rumah tinggal dan tempat bermukim yang telah dihuni sekian puluh tahun, namun juga akses pada sumber nafkah dan penghidupan serta akses pendidikan bagi anak-anak mereka. Awal Februari 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan dua blok rusunawa di Pulo Gebang, Cakung dan Cipinang Besar Selatan untuk relokasi warga Kampung Pulo. Namun, sebagian besar dari warga Kampung Pulo menolak. Pemprov DKI Jakarta kemudian menyiapkan dua “menara” rusunawa setinggi 16 lantai dengan kapasitas 567 unit hunian yang dibangun di bekas Kantor Dinas Pekerjaan Umum yang lokasinya lebih dekat dengan permukiman Kampung Pulo.

Pada 4 Agustus 2015, Pemprov DKI Jakarta mengklaim bahwa 10.094 keluarga di RW 001 dan RW 003 Kampung Pulo telah menyetujui skema relokasi yang ditawarkan, yaitu: (i) penggantian lahan bersetifikat dengan unit rusun 1,5 kali luas lahan hunian; (b) unit rusun berstatus hak milik dan boleh disewakan, tetapi tidak boleh dijual ke pihak ketiga. Jika hendak dijual harus kepada Pemprov DKI; (c) lahan yang tidak bersetifikat tidak akan diberikan kompensasi (Kompas, 21 Agustus 2015). Meski sudah disediakan beberapa rusunawa, sebagian besar warga Kampung Pulo tetap menolak skema relokasi. Pemerintah urung memberikan uang kerohiman kepada mereka yang jelas-jelas memiliki sertifikat hak atas tanah. Bahkan, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama bersikukuh melakukan penggusuran sesegera mungkin hingga tenggat waktu 20 Agustus 2015, seraya menuding warga Kampung Pulo bermukim dan menguasai tanah secara tidak sah (ilegal) alias warga liar yang menghuni tanah negara.

Persoalan kompensasi dan skema relokasi tersebut menjadi titik sengketa antara warga Kampung Pulo dan pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui, permukiman dan hunian Kampung Pulo dan kawasan Jatinegara memiliki sejarah yang panjang, setidaknya sejak tahun 1930-an. Status kepemilikan cum penguasaan tanah (land tenure) maupun bangunan mereka sangat beragam. Hingga kini masih banyak warga di Kampung Pulo memegang hak kepemilikan adat seperti girik, petuk pajak bumi, jual-beli di bawah tangan, dan verponding Indonesia yang diakui oleh UU Pokok Agraria No.5/1960. Mereka berupaya mengajukan sertifikasi kepemilikan melalui program Prona dan Larasita, namun selalu mentok karena prosedur yang berbelit-belit dan berbiaya mahal. Bahkan, seperti kebanyakan warga di permukiman kumuh (slum area) lainnya, sebagian besar warga Kampung Pulo sama sekali tidak memiliki dokumen dan bukti kepemilikan tanah.

Jika mesti menggusur dan merelokasi pemukiman/hunian demi keperluan atau dalih apa pun, berdasarkan standar minimum “hak atas perumahan yang layak”, maka langkah pertama dan utama yang harus dilakukan negara (cq pemerintah) adalah memulihkan seluruh hak asasi mereka yang digusur dan memberikan perlindungan (jaminan) hukum atau “security of tenure” atas hunian warga yang direlokasi, terutama kelompok yang paling rentan dan miskin.

Security of tenure terhadap “hak atas perumahan yang layak" tidak mempersyaratkan status kepemilikan lahan/tanah secara perorangan tempat rumah atau pemukiman akan dihuni. Jauh lebih penting dan mendasar adalah jaminan dan kepastian hukum bahwa mereka berhak memperoleh rumah layak huni dan mendiaminya seumur hidup atau kapan pun dikehendaki. Karena itu, pemerintah dan parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah, wajib menyusun berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan skema untuk mewujudkan hak atas perumahan yang layak tersebut.

Karena itu pula dalam seluruh kebijakan dan skema relokasi permukiman warga tidaklah relevan mempersoalkan status kepemilikan tanah yang bersifat perorangan. Implikasinya, seluruh peraturan perundangan-undangan yang tidak bersesuaian dengan standar minimum hak atas perumahan yang layak serta tidak menyediakan security of tenure untuk melindungi hak-hak tersebut harus dirombak.***

Sumber: Prisma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...