Jalan berliku Dahlan Iskan: dari jurnalis, konglomerat media, hingga tersangka pidana korupsi.
Sabtu, 6 Juni lalu, Dahlan Iskan menjadi tersangka dalam kasus korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Melalui kolom rutin yang ia ampu di halaman depan Jawa Pos edisi 8 Juni 2015, Dahlan menyatakan bahwa ia tidak akan menggunakan Jawa Pos Group yang pernah ia pimpin sebagai corong untuk membela dirinya. Sebelum masuk ke dalam pemerintahan baik sebagai direktur PLN maupun menteri, Dahlan memang pernah menjadi wartawan yang kemudian merintis bisnis media. Jawa Pos adalah batu pertama yang ia letakkan dalam membangun kerajaan bisnis media di bawah nama Jawa Post News Network, jaringan berita terbesar di Indonesia.
Menurut catatan David T. Hill, kerajaan ini bermula pada tahun 1982, ketika pemerintah Orde Baru membredel majalah Tempo untuk pertama kalinya karena pemberitaan seputar kampanye Pemilu. Tak menunggu lama Grafiti Pers, perusahaan yang berdiri di belakang Tempo, membeli Jawa Pos, harian kecil di Surabaya yang sudah di ambang kebangkrutan. Eric Samola, salah satu pemodal utama Grafiti Pers yang kala itu juga menjabat sebagai bendahara Golkar, menunjuk Dahlan untuk memimpin Jawa Pos. jadilah Dahlan beralih jabatan, dari kepala biro Tempo Surabaya, menjadi pimpinan surat kabar kecil yang oplahnya hanya sepersepuluh persen dari tiras Surabaya Post, harian terbesar di Surabaya. Oleh Eric Samola, Dahlan dimodali 45 juta.
Harian Jawa Pos berdiri pada 1 Juli 1949. Awalnya ia adalah surat kabar yang dimiliki keluarga The Cung Sen. Pada 1950an, surat kabar yang terbit setiap pagi ini laris dibaca masyarakat Surabaya. Namun masa-masa keemasan itu semakin menurun, dan menghantam titik nadir pada dekade awal 1980an, dengan oplah yang hanya sekitar 6.800 eksemplar dan 2.400 pelanggan. Sisanya adalah jatah institusi-institusi pemerintahan.
Arahman Ali, dalam tulisan “Dari Jurnalis ke Raja Media”, mencatat bahwa setelah 5 tahun pertama di bawah kepemimpinan Dahlan, oplah Jawa Pos naik luar biasa hingga mencapai 126 ribu eksemplar. Yang semakin mencengangkan ada di lima tahun kedua; ia mampu membawa Jawa Pos menembus oplah 300 ribu eksemplar dengan omset hingga Rp 38,6 Milyar.
Dahlan kemudian melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain dengan membeli saham atau mengakuisisi media lokal yang sekarat. Beberapa contoh media daerah yang diambil alih misalnya Manuntung, Cahaya Siang, Akcaya, Mercusuar, Suara Maluku, Manado Post, Riau Pos, Batam Post, Independent, Palangkaraya Post, juga Semarak. Tahun 1987, Jawa Pos membentuk Jawa Pos News Network, sebuah jaringan berita yang memasok berita ke puluhan media cetak yang dimilikinya tadi. Berdasarkan riset Yanuar Nugroho pada 2012, jaringan JPNN sudah memiliki 21 stasiun televisi lokal dan 133 media cetak di berbagai daerah di Indonesia.
Selain kisah keberhasilan membangun imperium media, Dahlan Iskan juga punya reputasi buruk mengenai bisnis media yang ia rintis ini. Dalam konflik Ambon di tahun 1999, Jawa Pos memiliki dua anak media yang berada di masing-masing pihak yang sedang berkonflik.
Pada awalnya, sebagaimana ditulis Eriyanto dalam Media dan Konflik Ambon, Jawa Pos hanya memiliki Suara Maluku. Namun seiring perkembangan konflik yang disiram motif agama tersebut, koran tersebut dituduh terlalu memihak kelompok Kristen. Manajemen Jawa Pos saat itu memiliki tiga pilihan. Pertama, merestui pembentukan media baru yang lebih menyuarakan suara komunitas Islam. Kedua tidak merestui adanya media baru. Ketiga, membekukan Suara Maluku dan tidak merestui media baru sampai situasi benar-benar aman. Jawa Pos pada akhirnya mengambil pilihan pertama.
Terbitlah Ambon Express yang dikelola oleh komunitas Islam. Dua media anak Jawa Pos ini kemudian menjadi corong masing-masing kelompok yang berkonflik di Ambon saat itu. Suara Maluku terbit dengan 12 halaman dan Ambon Express dengan 8 halaman. Kedua koran ini hanya meliput peristiwa di Ambon, dan mengandalkan pasokan berita JPNN untuk isu nasional maupun internasional.
Dahlan sendiri mengelak bahwa pembentukan media baru di bawah Jawa Pos itu didasari motivasi agama. Bahkan, seperti dikutip dari liputan Max Wangkar yang berjudul “Jawa Pos adalah dahlan Iskan”, ketika konflik kedua belah pihak meruncing, Dahlan mengaku hilang kontak dengan kedua media tersebut. Ia mengatakan, “Saya tidak bisa menghentikan mereka. Tapi kalau pemerintah mau, sebenarnya gampang. Ledakkan dan hancurkan saja percetakan mereka. Tapi jangan saya yang melakukannya. Saya tidak mampu.”
Tahun 1998, ketika ramai kampanye politik menjelang pemilu 1998, Dahlan pernah menerbitkan empat media yang menjadi corong partai politik. Secara pengelolaan, manajemen dipegang oleh Jawa Pos tapi pengisian konten oleh partai politik yang bersangkutan. Keempatnya yaitu Harian Abadi yang dikelola Partai Bulan Bintang, Duta Masyarakat dikelola Partai Kebangkitan Bangsa, Demokrat yang dikelola Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Amanat untuk Partai Amanat Nasional. (REMOTIVI/Wisnu Prasetya Utomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar