Sebuah amatan terhadap tayangan Kakek-Kakek Narsis di Trans TV
Sebagai tayangan talkshow, unjuk-wicara, atau apa pun sebutannya, Kakek-Kakek Narsis di Trans TV tampak menjajal resep ala Empat Mata, Bukan Empat Mata, The Beauty and Aziz (ketiganya di Trans 7), juga Show Imah (Trans TV), Triangel (ANTV), atau Buaya Show (Indosiar): topik atau tema dibincangkan seringan mungkin, dan host atau pemandu acara atau pemandu-wicara dijauhkan dari kesan cendekia atau cerdas.
Dengan pemberian dan pemerian karakterisasi tertentu pemandu-wicara, ini jadi semacam justifikasi–bahkan legitimasi–untuk menjadikan segenap perbincangan jadi serba ringan, serba tak serius-serius banget, serba permukaan, bahkan sah serba (ter)mentah(kan).
Suatu edisi dalam Bukan Empat Mata, misalnya, dengan narasumber cendekia dari University of Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, Andrew N. Weintraub, penulis buku Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music, nyaris tak ada informasi yang dieksplorasi sekaitan dengan buku atau proses kreatif riset dan penulisan buku tersebut. Argumentasinya, harap mahfum, dengan karakter pemandu-wicara Tukul Arwana yang polos, naif, miskin kosakata pemikiran, yakin berbahasa Inggris sekalipun dalam logat Jawa-Semarangan, dan kikuk “omong besar dan berat” namun tetap berusaha berdialog, publik atau pemirsa diharapkan sampai pada metakomunikasi, sehingga simpulan terjauh Tukul Arwana ya sebatas: “Jika orang asing saja begitu peduli dangdut, kenapa bangsa sendiri menganggapnya sebagai musik pinggiran dan comberan?”
Sama sekali tak tergali kemungkinan alasan Weintraub menjadi peneliti dangdut–apakah benar-benar cinta dengan segenap passion-nya atau lebih sekadar memenuhi persyaratan akademik yang mewajibkan objek penelitiannya di luar negerinya, misalnya.
Tak usah jauh-jauh, bahkan penggalian perihal sosok tamu yang menjadi narasumber pun tak pernah terkuak hingga tuntas, betapa pun itu juga sebatas yang serba permukaan. Hal ini dapat dilihat pada kehadiran bintang tamu sebagai pengantar pizza (diperankan Tata Sivek) dalam tayangan Kakek-Kakek Narsis (KKN) episode “Musician” (27 Januari 2012) yang sama sekali tak jelas untuk apa. Boro-boro digali informasi mengenai diri atau pendapatnya, boleh dikata satu pertanyaan pun tak dilayangkan untuknya. Jadinya, Tata Sivek layaknya pajangan belaka dalam bingkai televisi.
Karakterisasi pemandu-wicara jadi terasa penting, bukan saja agar tetap terjaga nuansa dan atmosfer ringannya, melainkan juga menghibur–antara lain dengan memicu tawa. Begitulah yang terjadi pada karakter Soimah, pemandu-wicara Show Imah, yang dicandra sebagai orang kaya baru: tinggal di apartemen mewah, parfum dan menu makanannya serba dari luar negeri, karpet bisa diganti berkola-kali dalam sehari, namun jika udara terasa gerah, Soimah menyejukkan diri dengan menggunakan kipas bambu manual.
Karakterisasi trio kakek narsistik dalam KKN sepertinya menjanjikan hal yang sama. Dengan kenarsistikan para kakek ini setidaknya bisa difantasikan betapa genit dan ganjennya mereka. Atau–karena narsistik mereka, yakni terlampau memperhatikan dan mencintai diri mereka sendiri secara berlebihan–mereka tak bakal mudah tertarik pada lain orang, yang sesama jenis kelamin maupun yang berbeda.
Pada akhirnya, karakterisasi tinggallah teori. Dan dalam hal KKN, pengertian “narsistik” tinggallah sebagai semacam nama rubrik mata tayangan belaka. Karakter atau pencandraan narsistik, narsisme, narsis(!), silakan segera ditanggalkan, karena realitas menunjukkan bahwa para kakek–dimainkan Indra Birowo, Omesh, dan Ronal Suryapraja–ternyata begitu genit pada para bintang tamu perempuan yang menunjukkan keseksian dan kesensualan lewat pakaiannya.
Ronal senantiasa menanyakan nomor PIN BlackBerry para bintang tamu, dan Omesh senantiasa merapatkan diri dan curi-curi kesempatan untuk melingkarkan tangannya ke para tamu perempuan yang duduk di sampingnya. Hanya Indra yang tak tampak agresif. Namun, ekspresi wajah mereka sama sekali tak menampakkan lebih mencintai diri sendiri saat ada para perempuan yang datang bertamu, baik sengaja bertamu maupun tak sengaja; satu hal yang tak begitu penting dicari logikanya dalam unjuk wicara ini.
Dari sisi karakterisasi pemandu-wicara yang dimaklumatkan dalam nama rubrik, KKN sudah gawal sejak awal. Dalam hal celetukan para pemandu wicara atas penampilan tamu yang seksi dan sensual, trio kakek gaèk itu sama dan sebangun dengan Tukul Arwana: bermain asosiasi yang serba konotatif. Tukul Arwana senantiasa menceletukkan kata dalam bahasa Jawa “gawé tombo ngantuk” yang berarti: “untuk obat (agar tidak) mengantuk”, yang jika dipertegas konotasi asosiatifnya menjadi: “bisa bikin bangun”! Sementara, tanpa harus menceletukkan kata apa pun, ekspresi masing-masing kakek itu mengarah ke jurusan yang sama.
Atau jika tamunya masih tampak kurang seksi, para kakek inilah yang menggiring tamunya untuk melepas jaket atau blazer atau syal atau apapun yang menghalangi kebeningan pundak, lengan, dada, dan punggung para tamu. Tak semata sekali hal macam begini terjadi. Salah satu yang sempat tercatat adalah episode “Curhat” (4 Januari 2012). Dalam episode ini, Kakek Ronal setengah bergumam mengatakan bahwa gelagat cuaca sepertinya mau hujan. Tanda-tandanya: udara terasa gerah. Nah, daripada gerah, panas, sumuk, para kakek menyarankan pada dua tamunya, masing-masing Tetta Mayasari dan Cinta Dewi, agar melepas baju luarnya. Logikanya, para kakek itu juga melepaskan jaket, sweater, dan syal yang serba lengkap itu. Ternyata, para kakek itu sama sekali tak melepaskan pernak-pernik pakaian mereka, tanpa alasan yang jelas, misalnya tubuh renta itu rentan terhadap udara dingin, atau apa….
Di sinilah kunci jualan itu, yakni stereotip perempuan: tak begitu dibutuhkan kecerdasannya. Jika pun mereka diminta menjawab pertanyaan, pertanyaannya seputar dunia yang dibayangkan para kreatornya atas perempuan: parfum, aroma, buku harian atau diary, curahan hati alias curhat, dan sebangsanya. Ronal bahkan senantiasa bertanya: “Apa aktivitas sehari-harimu, selain cantik?”
Ini bukan semata merancukan kata sifat dengan kata kerja, namun para kakek ini menganggap bahwa mengurus kecantikan merupakan aktivitas yang sedemikian utama bagi perempuan, dan hanya itu. Sementara selebihnya, “selain”nya, cumalah sampingan.
Tentulah agak berlebihan jika saya membandingkan celetukan Tukul Arwana dalam Bukan Empat Mata, serta permainan asosiasi dalam KKN, dengan unjuk wicara Tonight Show with Jay Leno (tayangan National Broadcasting Company [NBC] sejak 25 Mei 1992). Dalam tayangan ini, pemandu wicara Jay Leno tidak begitu peduli pada pakaian seminim apa pun yang dikenakan tamunya, karena yang lebih dibutuhkan untuk diungkap, didengar, dan dimasyarakatkan dalam acara tersebut adalah perspektif masing-masing tamunya, bukan celetukan-celetukan “gawé tombo ngantuk” dan sebangsanya itu.
Dalam KKN episode “Sex Education” (3 Januari 2012), adegan awal bahkan sudah diniatkan menggiring ke atmosfer asosiatif seks dan seksualitas itu. Kakek Indra dan Kakek Omesh sama-sama membaca buku yang dikesankan sebagai album penuh foto erotis–untuk tak terlalu mudah dan gampangan menggunakan kata porno. Lalu, Kakek Ronal dan Nanny (alias inang atawa pengasuh dalam rumahtangga) Lena (dimainkan Magdalena) muncul dari balik pintu sebuah kamar tidur. Digambarkan bahwa mereka baru usai “bermain” di atas kasur hingga “tiga ronde”. Ronal “kalah” melulu, sekalipun dia pintar “mencangkul” Lena, yang selalu berada di atas.
Jika kemudian dikelarkan bahwa “main” antara Ronal dan Lena itu tak lebih dari sekadar main kartu, posisi Lena senantiasa “di atas” yang berarti menang terus, “mencangkul” Lena digamblangkan sebagai ambil kartu milik Lena, dan seterusnya, namun bagaimana menjelaskan makna “kasur” yang sungguh denotatif itu?
Dalam episode “Dancer” (18 Januari 2012) konotasi nan asosiatif itu juga dimainkan para kakek itu, misalnya dengan kalimat “Tinggal pijit, langsung goyang”, sekalipun “goyang” dalam kalimat ini tak lebih sebagai gerakan tari. Begitu pula saat Nanny Lena bilang butuh “sex”. Trio kakek langsung penuh gelora-asmaragama merapat ke Lena. Padahal, yang dimaksud bukanlah “sex”, melainkan “sax…” atau saxophone (saksofon), alias salah satu piranti musik tiup. Juga ketika Nanny Lena berujar, “Saya mau telepon seks…,” trio kakek itu berpikir ngeres, yang orientasinya pada seks dalam makna sempit, yakni hubungan perkelaminan. Nanny Lena segera mematahkan piktor alias pikiran kotor itu, dengan menjelaskan bahwa dia butuh menelepon ahli seksologi alias seksolog.
Jadi, jika mata tayangan ini dikategorikan sebagaimana tertulis dalam stempel awal siaran, “Tayangan ini Khusus Dewasa!”, pertanyaannya adalah: manakah yang dianggap dewasa? Topiknya ataukah pola perbincangannya? Dalam hal topik, misalnya, “Curhat”, “Musician”, “Dancer”, juga lainnya, tak ada kait mengait dengan tingkat usia dan derajat kedewasaan itu. Dengan demikian, sesungguhnya, pikiran serba ngeres penuh nèpsong para kakek itulah yang masuk kategori 17 atau 18 atau 21 tahun ke atas.
Sedikit membandingkan dengan Full House (American Broadcasting Company [ABC], dari 22 September 1987 sampai 23 Mei 1995–TVRI pernah menyiarkannya juga pada 1980-an akhir), film seri ini rata-rata ditayangkan pada pukul 18.00, namun begitu topiknya menyangkut seksualitas yang agak teknis, episode tersebut ditayangkan setengah jam lebih lambat. Jabarannya, penayangan pada jam malam lebih karena konten atau topiknya, bukan karena pola pembawaannya yang senantiasa diserempet-serempetkan ke sensualitas dan seksualitas yang lebih sebagai sensasi ketimbang esensi.
Dengan demikian, kalau mau disimpulkan, KKN di-”jam-malam”-kan lebih karena pola perbincangannya (bukan esensinya) yang cenderung melecehkan sosok-sosok perempuan. Karena, secara garis besar, pertanyaan yang disodorkan pada para perempuan tak pernah dikaitan dengan kemungkinan kecemerlangan isi kepalanya, seakan perempuan tak memiliki pendapat, sehingga tak perlu dimintai pendapat.
Sementara, secara lebih khusus dan rinci, percakapan dengan para perempuan yang menjadi bintang tamu selalu diserempetkan pada konotasi-asosiatif seks dan sens itu, seakan posisi dan peran perempuan tak lebih dan tak kurang sebagai semata objek seksualitas (dalam makna luas) belaka, yakni semata sebagai tubuh, dan bukan isi kepala.
Jika pun para perempuan itu berpendapat, itu sebatas pada tema dan topik cèkèrèmès atau cècèrèmè, alias tak penting-penting amat. Lebih lagi, perempuan ditempatkan dalam wilayah domestik. Ini yang dengan jelas dinyatakan Nanny Lena pada Wendy Cagur (salah seorang bintang tamu ) saat menyatakan agar Nanny Lena bekerja di luar rumah: “Lho, laki-laki kan yang harus cari nafkah.”
*Keterangan Acara diambil pada tayangan Kakek-Kakek Narsis Edisi 27 Desember 2011, 3 Januari 2012 dan 4 Januari 2012.
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar