Kamis, 15 Oktober 2015

Surat untuk P

Mojokuto, 1 September 1955

Di luar sana senyap, tak lagi gaduh seperti seharian tadi. Satu dua oto masih melintas dengan jeda yang kian panjang. Ini malam kedua di Mojokuto, setelah 53 hari kemarin tersekap di ruang lain, terpencil di tepi hutan Wanagalih.

Apakah aku harus mengatakan bahwa ini adalah saat yang menyenangkan, di mana aku telah kembali ke Mojokuto, ke tanah yang telah menjadi mimpi kebanyakan orang?

Hidup itu, katanya, meminjam puisi Amir Hamzah, seperti bertukar tangkap dengan lepas. Kita mendapatkan sesuatu dengan meninggalkan banyak hal lainnya; mengambil dengan melepaskan.

Barangkali inilah bentuk keseimbangan. Alam senantiasa mengatur dengan menciptakan keseimbangan-keseimbangan yang kadang sulit dimengerti.

Aku bisa kembali menikmati tanah impian, menatap kabut di puncak Kelud, dengan meninggalkan kenikmatan disapa anak-anak manis sekolah rakyat Wanagalih yang aku terima tiap pagi. Aku bisa kembali berjalan-jalan sepanjang trotoar di alun-alun kota dengan meninggalkan hamparan kebun kacang dan tembakau sebuah tempat di bagian timur Wanagalih. Aku mendapatkan lagi kelezatan makan pecel dan wedang jahe di tepi jalan raya, dengan meninggalkan kelezatan pecel kelapa berbungkus daun jati dan kesegaran air kelapa muda yang sering aku nikmati sembari lesehan di tepi pematang di kampung sana. Aku bisa kembali menikmati dendang radio bututku, dengan meninggalkan suara ketukan pintu dari anak-anak kecil yang minta didongengi.

Jadi, apakah aku harus mengatakan ini adalah saat yang menyenangkan? Atau sebaliknya, apakah aku justru harus mengatakan ini adalah saat yang tak menyenangkan?

Kehidupan ini seperti bertukar tangkap dengan lepas, dan demikianlah adanya. Pertukaran dan pemilihan, itulah hidup. Sepertinya, aku termasuk orang yang bisa menerima kenyataan semacam itu. Aku patut bersedih atas semua hal yang pernah aku terima, sebaliknya aku harus bersyukur atas setiap ganti yang aku dapatkan.

Aku sedih, karena tak lagi bisa mendengar celoteh polos dan senyum seorang gadis remaja yang manis di sana; tapi aku bersyukur karena bisa kembali mendengar suara merdu dan menatap senyum lain yang lebih manis dari seseorang yang dimiripi gadis itu, di sini… Ah, aku membayangkanmu tersipu membaca bagian ini.

Jadi, apakah aku harus bersedih atau bergembira? Aku jadi menemukan bahwa hidup sebenarnya tak sesederhana hanya sedih dan gembira, karena apa yang sedang aku rasakan (dan demikian juga sebelumnya) melampaui semua definisi tadi, melampaui pembauran keduanya. Ini adalah hal yang sulit untuk didefinisikan. Mungkin, demikianlah hidup.

...

Saat aku menuliskan semua ini kamu mungkin telah lama lelap, bersembunyi di balik selimutmu yang lembut. Barangkali kamu juga sedang bermimpi, dan bersyukurlah karena kita masih sempat bermimpi, padahal tidak pernah merencanakannya. Di tengah kepungan rutinitas dan kontrol waktu, mimpi adalah kejutan yang berharga.

Aku senang jika kamu bermimpi, dan masih sempat mencoba mengarang-ngarang “mimpi”. Aku doakan, semoga malam ini kamu mimpi indah, dan semua mimpi yang kamu karang dalam bilik bisa berujud, esok pagi. Tak ada yang lebih menyenangkan, selain mendapatkan apa yang kita impikan.

Tapi, apakah benar setiap orang menginginkan setiap mimpinya terwujud?

Ada kalanya kebanyakan kita berpikir sesuatu itu terasa lebih indah ketika dia masih berada di alam yang mengambang. Sebab, kenyataan seringkali berjarak jauh dengan angan yang pernah kita bangun. Sehingga, mimpi selalu terasa lebih baik dari apa yang mewujud, dan karenanya tak setiap orang berani mewujudkan impiannya. Tapi benarkah kenyataan selalu kalah baik ketimbang mimpi? Atau, benarkah mimpi selalu lebih indah ketimbang kenyataan?

Pernahkah kamu mendengar cerita apel merah?

“Aku mimpi makan apel. Warnanya merah marun. Manis menggigit. Aku sudah merasakan kelezatannya meski baru kutatap. Begitu segarnya, sampai aku tak tega mengupas apel itu. Aku takut, tiap goresan pisau yang kukenakan akan mencederai warnanya. Tiap sentuhan udara akan mengubah segar dagingnya. Kenapa kelezatan apel hanya bisa hadir lewat goresan pisau? Bisakah kita menikmati tanpa harus mengupas, menguliti. Kutatap apel itu. Ia masih merah marun. Saat ingin kupegang, aku terbangun.”

Barangkali memang benar, mimpi lebih indah ketimbang kenyataan. Tapi, apakah dengan begitu kita berhak mencampakkan kenyataan, menolaknya, atau meminggirkannya sembari membuang muka?!

Kelezatan apel hanya bisa dirasakan lewat pelepasan semua atribut kecantikan dalam warna. Aku menyebutnya: bertukar mata dengan lidah. Dengan begitu kita bisa merasakan kelezatan sebuah apel dengan utuh, tak hanya sepotong-sepotong, tak sekadar merah marunnya warna.

Tapi, hanya sedikit orang yang berani membayangkan apel merah, dan lebih sedikit lagi yang berani menyentuh dan mengupasnya. Barangkali, ini pula sebab kenapa beberapa orang memilih hidup tanpa pasangan, atau menghindari untuk membangun sebuah hubungan yang mendalam. Mereka adalah orang-orang yang diliputi ketakutan bahwa kenyataannya apel itu tak semerah yang mereka bayangkan. Mereka ingin tetap menikmati keindahan bersitatap dari jauh dan tak mau kehilangan semua keindahan estetik itu. Mereka tak ingin menemukan kenyataan apel itu tak semerah yang mereka bayangkan, atau mereka tak ingin keindahan yang menyatu dalam “warna” itu pupus ketika disentuh, atau mereka tak ingin ketemu kenyataan bahwa apel itu sesungguhnya tak bisa mereka miliki... Jika sudah demikian, mereka akan bertahan dalam dunia yang mengambang: mimpi si apel merah...

Kalau menceritakan kembali sirah apel merah, aku jadi suka ingat seseorang yang kalau tersipu pipinya pasti memerah. Merah yang lain, karena tak bersemu padam, melainkan merah berbinar. Hanya sedikit orang yang memiliki keistimewaan semacam itu.

Perasaan itu seperti sastra: tak jelas batas antara fakta dengan fiksi. Di balik unsur puitiknya, terdapat banyak potret nyata. Di balik kelajakan dan spontanitasnya, menyembul segurat mimpi yang dibangun panjang sekali. Mana batas antara fakta dan fiksi tak jelas benar. Semuanya baur dan bercampur, antara nalar dengan imajinasi.

Sedang apa kamu saat ini? Barangkali kamu sudah sampai di dunia yang sangat jauh, dunia sastra-perasaan, dimana fakta dan fiksi saling membaur dan berbenturan. Nikmati saja. Semoga ceritanya menyenangkan.

Oya, aku menerima pesanmu, bahwa dalam pemilihan umum tanggal 29 September nanti kamu telah memutuskan akan mendukung partai yang kupilih. Aku senang bukan karena pilihanmu sama denganku. Aku senang, karena problematisasimu atas persoalan-persoalan politik di negeri kita tak sama dengan kebanyakan orang. Kamu tahu, kebanyakan kita lebih merisaukan soal-soal permukaan, yang gampang dilihat di atas ranjang, dan enggan menyelinap agak lebih mendalam. Sebab, persoalan yang sesungguhnya selalu tersembunyi di balik selimut, di bawah ranjang, dan bahkan tersuruk di dapur. Aku senang karena kamu sangat jernih mengenai soal itu. Dan aku mengatakan begitu, bukan karena pilihanmu sama denganku.

Aih, kenapa kita jadi melibatkan politik dalam percakapan? Yang jelas, aku sudah membawakanmu bibit jambu. Kamu bisa menanamnya di halaman rumahmu yang teduh. Lusa, kutunggu kamu di pojokan jalan itu.


M

Sumber: Surat-Surat Puisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...