Pada tahun 2014, Serikat Perusahaan Pers (dahulu Serikat Penerbit Suratkabar – SPS) menerbitkan sebuah buku kecil berjudul Umur Koran Masih 100 tahun. Buku kecil ini berisikan wawancara dengan sejumlah tokoh surat kabar nasional dan lokal tentang masa depan media cetak dan hampir semua mengucapkan optimisme yang sama menghadapi situasi pada dekade kedua abad ke-21.
Saya tak tahu bagaimana perasaan penyusun dan mereka yang pernah diwawancarai untuk buku itu jika melihat fenomena persuratkabaran hari ini. Akhir tahun lalu sejumlah media cetak tutup, sejumlah majalah gulung tikar, bahkan beberapa terbitan media online pun tutup. Apakah optimisme tersebut masih sebesar 1-2 tahun lalu?
Peringatan Hari Pers Nasional 2016 kemarin di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, mengajak banyak pihak yang terlibat dalam industri media cetak harus berpikir keras bagaimana membuat dirinya tetap bertahan. Pelbagai seminar pernah dibuat sebelumnya membahas topik ini.
Meski begitu, saya tak mau ikut meratapi pelbagai media cetak yang berguguran. Yang lebih penting adalah apakah era media digital seperti saat ini membuat esensi jurnalisme tetap terpelihara? Esensi jurnalisme di sini maksudnya adalah mengangkat hal yang penting untuk diketahui masyarakat, menjadi lembaga kontrol sosial bagi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat itu sendiri.
Koran mungkin bisa berubah rupa, mungkin ada yang tetap mempertahankan format yang lama, mungkin nantinya ada inovasi baru dalam bentuk atau perwajahan surat kabar. Namun apa pun itu, jurnalisme sebagai kata benda dan kata kerja harus tetap ada di dalamnya. Bagaimanapun juga jurnalisme adalah hal penting yang dibutuhkan manusia: untuk mengetahui lingkungan sekitarnya berdasarkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya. Tanpa situasi ini, ada ketidakseimbangan dalam hidup manusia. Ia ibarat berjalan tanpa pedoman yang jelas.
Kegiatan jurnalisme adalah hal yang esensial dalam hidup manusia. Lihat saja kegiatan ini sudah bertahan lebih dari 400 tahun, dengan segala evolusi yang melekat pada dirinya. Surat kabar awal di Hindia Belanda, Bataviasche Nouvelles, tak lebih dari surat kabar dagang yang isinya iklan-iklan tentang barang yang dibawa oleh kapal-kapal dagang asal Belanda.
Unsur informasi baru muncul dalam dekade berikutnya. Itu pun awalnya hanya untuk mereka yang bisa baca tulis. Jangan lupa sebagian besar penduduk pribumi kala itu tak bisa baca tulis, dan mereka yang masuk sekolah pun masih dalam hitungan jari. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah awal fajar menyingsing surat kabar ketika jumlah mereka yang terpelajar semakin banyak. Politik Etis Belanda membuat lebih banyak orang Hindia bisa menuntut ilmu hingga ke negeri Belanda.
Faktor yang tak diperhitungkan oleh pemerintah kolonial adalah bahwa pendidikan yang mereka berikan kepada kelompok Hindia membuat mereka menjadi cerdas, kritis, dan mampu mengartikulasikan kehendak untuk merdeka. Tak salah jika almarhum Ben Anderson kemudian mengaitkan kemunculan nasionalisme di kalangan pemuda Hindia (atau Indonesia) akibat kapitalisme media cetak yang menyebar ke mana-mana.
Uraian dalam surat kabar kala itu terbang ke pelbagai penjuru Nusantara dan menggemakan suara “Merdeka”, dan muncullah founding fathers Indonesia yang seluruhnya adalah para penulis dan pengelola surat kabar. Di sinilah kita menemukan fenomena “pers perjuangan” ketika pers menjadi sarana menggemakan keinginan menentukan nasib sendiri.
Ketika masa revolusi berlangsung, sejumlah surat kabar Indonesia awal kemerdekaan pun terus menggemakan Indonesia Merdeka, sementara pasukan Sekutu dan Belanda hendak mengambil kembali wilayah jajahan mereka dari tangan kolonial Jepang. Dengan peralatan seadanya, kertas sedapatnya, percetakan sederhana, koran-koran di sejumlah daerah muncul dan melawan pasukan Sekutu.
Para wartawan ini tak melawan dengan bambu runcing atau senapan pampasan perang, tetapi dengan pena yang tajam. Mereka menorehkan keyakinan kepada para penduduk Indonesia bahwa mereka berhak merdeka dan harus mempertahankan kemerdekaan itu. Demikianlah etos sebagai pers politik, pers perjuangan terus merasuk dalam dunia pers hingga ke akhir 1970-an dan pertengahan 1980-an
Ketika industri menjadi kata baru untuk disandingkan bersama dengan “pers”, maka kita melihat fenomena ekspansi sejumlah grup media di Indonesia. Walau secara bisnis berkembang, ketakutan mereka pada pemerintah tetap besar. Ketika televisi swasta mulai muncul, surat kabar juga harus menyesuaikan dirinya. Ia jadi lebih memanjakan visual, menampilkan foto yang lebih atraktif, menampilkan infografis, dan lain-lain.
Inovasi memang kata yang melekat dengan industri pers. Dan ketika media online pun bermunculan, pers mencoba mengikuti perkembangan ini, dan ternyata dunia digital memberikan dampak perubahan yang tak terbayangkan sebelumnya. Sejumlah media cetak bertumbangan dan media digital belum dapat menggantikan sepenuhnya peran media cetak sebelumnya.
Bagaimanapun setiap zaman akan menunjukkan bagaimana penyesuaian dalam diri pers terjadi. Formatnya bisa berubah-ubah, medium bisa berganti-ganti, namun esensi jurnalisme harus tetap ada di situ. Oleh karena itu, ini tantangan terbuka: sanggupkah media digital yang muncul belakangan ini menghasilkan kualitas jurnalistik yang tak kalah dengan media cetak lainnya? Sanggupkah mereka menghasilkan jurnalisme investigasi yang berdampak besar untuk publik dan perubahan kebijakan?
Jika tantangan ini bisa dijawab oleh media-media baru tadi, mungkin koran-koran bisa mati dengan tenang.
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar