Catatan 25 September 2010
Dengan nada bangga Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri menunjukkan kehebatan polisi dalam memberantas terorisme. Sebanyak 44 teroris, kata dia, telah ditembak mati dalam 10 tahun terakhir.Pernyataan itu mengundang pertanyaan mendasar yang jarang diajukan oleh media massa. Sebuah skandal penegakan hukum yang kita pandang sambil lalu saja. Atau kita justru bangga mendengarnya.
Pernyataan Kapolri ini perlu dikoreksi: yang ditembak mati itu bukan teroris, tapi tersangka teroris, atau orang-orang yang diklaim polisi sebagai teroris.
Meneliti beberapa detail penggerebegan oleh Densus 88, kita bisa melihat ada kesengajaan membunuh tersangka teroris, bukannya menangkap mereka hidup-hidup. Coba lihat rincian penggerebegan di Malang, Temanggung, Bandung, dan tempat-tempat lainnya.
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto punya pendapat yang lebih bernas tentang hal ini. Jika pelaku teror ditangkap hidup-hidup kita bisa mengungkap informasi dari pelaku yang bisa digunakan untuk mengejar pelaku lain.
“Penting untuk mengungkapkan yang lebih besar, dan juga memudahkan untuk mengungkap siapa biangnya dan siapa yang membiayai,” katanya.
Pernyataan itu benar kalau mereka teroris, tapi lebih benar lagi dalam konteks bahwa mereka yang disangka belum tentu bersalah. Dalam sistem hukum yang benar, pengadilanlah yang memutuskan.
Polisi bahkan tidak nampak mencoba teknik yang paling sederhana: Bukankah banyak rumah yang diduga dihuni tersangka teroris bisa diisolasi untuk memangkas logistik mereka sehingga mereka kelaparan dan menyerah atau keluar dari persembunyian?
Pembantaian 44 tersangka teroris itu bisa disebut extra-judicial killing, atau membunuh tanpa terlebih dahulu mengadili tersangka. Para tersangka itu belum tentu bersalah. Bagaimana kita bisa tahu Azahari bersalah, juga Noordin Top atau Dulmatin, kecuali hanya mendengar klaim dari polisi?
Extra-judicial killing teroris atau tindakan main hakim sendiri ini mirip dengan pembantaian preman atau orang yang dianggap preman pada era Soeharto. Juga, dalam skala massif, pembantaian terhadap orang-orang PKI atau yang dituduh komunis pada awal Orde Baru.
Tindakan main hakim sendiri oleh aparat ditiru oleh masyarakat awam. Dan kekacauan adalah hasilnya.
Tak hanya kepada teroris, kita juga sering mendengar kematian tersangka oleh polisi dalam kasus-kasus kriminal kecil lain: seperti maling motor, atau helm, ketidaksengajaan menabrak polisi, dan pencuri kecil-kecilan. (Sayangnya, jarang ada, atau tidak pernah ada sama sekali, tersangka koruptor kakap yang dibunuh dalam penggerebegan atau mati dalam tahanan).
Extra-judicial killing, atau tindakan melawan hukum yang dilegalkan dan bahkan dilakukan oleh aparat negara, memiliki dampak mengerikan: rendahnya kredibilitas hukum, dan lunturnya kepercayaan masyarakat pada hukum. Dan kita bisa lihat eksesnya dalam kehidupan sehari-hari ketika tindakan main hakim sendiri nampak sangat menonjol.
Massa memukuli dan menganiaya tersangka pencuri motor. Bahkan membakar hidup-hidup tersangka pencopet di terminal.
Atau seperti yang terjadi di Buol, Sulawesi Tengah, belum lama ini. Polisi diduga melakukan tindak main hakim sendiri dengan membunuh seorang tukang ojek dalam tahanan. Ribuan orang membalas main hakim sendiri dengan menyerbu markas polisi. Tujuh orang tewas di tangan polisi dalam peristiwa itu.
Kasus Buol bukan yang pertama dan bukan yang terakhir.
Extra-judicial killing punya dampak serius. Tapi, jarang ada media/wartawan yang mempertanyakan. Kita masih ingat, para reporter justru bertepuk tangan ketika Kapolri mengumumkan polisi telah menembak mati tersangka teroris.
Publik atau bahkan pengamat jarang mempertanyakan karena sudah bertahun-tahun kita dicuci otak oleh polisi lewat media tentang “war on terror”, ketika mempertanyakan klaim dan metode polisi dianggap bersimpati kepada teroris.
Ingat pernyataan George Bush di awal “war on terror”? Either you are with us or against us?
Kita semua telah disihir untuk menerima pembantaian sebagai kebenaran hukum, dengan ekses yang makin mengerikan di masa depan.
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar