Situasi politik Indonesia pada masa itu, saat sosok Sukarno menjadi magnet dan suasana pertarungan ideologi Kanan dan Kiri begitu kental, tersuguh kuat dalam novel Anak Tanah Air. Ardi, sang protagonis, adalah seorang perupa yang semula digambarkan rajin beribadah, sebelum berubah tabiat ketika terlibat dalam organisasi kebudayaan kiri (Lekra). Pergolakan batin dan politik sang protagonis bisa disusuri lewat lembar demi lembar halaman novel ini.
Lewat Anak Tanah Air, terasa betapa Ajip Rosidi bersikukuh dengan pendapatnya bahwa para seniman menjadi Kiri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi daripada pemahaman ideologi Kiri yang mendalam. Dia memandang Lekra sebagai organisasi seniman Kiri yang menyediakan rupa-rupa kemudahan sehingga sukses memikat hati para seniman yang kebanyakan hidup melarat. Dalam pengantar buku Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi (2012), dengan yakin Ajip menyatakan, “Berpalingnya Pram ke arah Kiri tidak dapat dipisahkan dari kesulitan hidup yang dihadapinya pada masa-masa tersebut.” Bagi Ajip, disebabkan oleh kelaparanlah Pram menjadi Kiri, pun Ardi, si perupa, dalam Anak Tanah Air.
Terjadi semata gara-gara masalah “perut”, bukan berasal dari pergulatan pemikiran yang panjang dan mendalam, Ardi pun menjadi seniman Kiri yang mudah menyerah dalam pijakan ideologinya. Belakangan, dia justru merasa terjebak (atau dijebak?) oleh Lekra saat tengah berada di tengah kesulitan hidup sehingga terhanyut. Wajarlah jika kemudian Ardi memutuskan untuk meninggalkan ketersesatannya itu dan berusaha kembali ke jalan yang diyakininya lurus. Adapun tokoh Hasan—merupakan suara Ajip sendiri, menurut Foulcher—adalah pembimbing Ardi dalam proses pertobatan tersebut. “Tuhan telah menyelamatkan kita sekarang,” tulis Hasan dalam suratnya, “dan hanya Dia-lah yang menyelamatkan kita di masa yang akan datang.”
Pada novel lain, pertobatan yang lebih telanjang bisa dibaca dalam Kubah (1995) karya Ahmad Tohari. Hampir serupa Ardi, semula Karman, si tokoh utama yang digambarkan naif, adalah seorang pemuda yang taat beribadah hingga datanglah beberapa orang anggota Kiri. Kepadanya, orang-orang itu menjanjikan pekerjaan yang mapan sehingga Karman terbujuk dan meninggalkan agamanya. Kesalahan ini baru disadari Karman ketika dia dikucilkan di tempat pembuangan: Pulau Buru.
Lepas dari Pulau Buru, hidup Karman tidak berjalan mudah. Kondisi kejiwaannya belum stabil setelah ditinggal kawin istrinya saat dia masih menjalani pembuangan. Karman pun bak berjalan dalam lorong gelap hingga mendadak muncullah seberkas sinar. Sinar itu menjelma sosok Haji Bakir, yang kelak memercayai Karman untuk membuat kubah masjid di kampungnya.
Kubah dalam novel karya Tohari memang bisa bermakna puncak masjid, namun sebenarnya lebih mengacu pada alegori pertobatan itu sendiri. Dengan membuat kubah, Karman seolah sedang berada dalam sebuah tahap perjalanan spiritual kembali kepada Tuhan. Bagi Karman, kubah itu semacam totem atas pertobatannya. Tuhan yang telah terusir dari hatinya sejak menjadi anggota organisasi komunis diharapkan bisa hadir kembali lewat persembahan totem itu.
Kesalahan Menjadi Kiri
Ada satu pesan yang sama benderangnya, yang tersisip baik dalam novel karya Ajip Rosidi maupun Ahmad Tohari, yaitu bahwa menjadi Kiri (komunis) adalah kekeliruan; sebuah kesilapan. Setelah Orde Baru runtuh, sebetulnya sejarah telah bergerak lebih maju. Penelitian-penelitan baru tentang Peristiwa 1965 menjadi lebih terbuka sehingga memberikan alternatif pandangan yang berbeda tentang kejadian ini dari versi sejarah resmi. Tapi, apakah hal tersebut terjadi pula dalam karya sastra?Ada baiknya melihat dua novel terkini yang dianggap menonjol oleh sebagian kritikus, yaitu Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Pulang karya Leila S. Chudori, untuk melihat pandangan penulis sastra Indonesia yang lebih muda atas Peristiwa 1965. Latar kedua novel ini mirip, yakni pergolakan politik pada tahun 1965 yang berimbas hingga generasi masa kini. Selintas, kedua novel tersebut seolah tampil berbeda dari novel sejenis karya para pendahulunya. Tokoh-tokoh di dalamnya bukan lagi orang-orang yang taat beragama, melainkan manusia-manusia berpandangan hidup liberal. Namun, ada sesuatu yang tetap menggodam di balik semua “kebaruan” tersebut: aroma pertobatan itu ternyata belum pupus.
Tentu saja, pertobatan dalam Amba atau Pulang bukan lagi usaha untuk kembali ke ajaran agama. Wacana yang hendak diargumentasikan ialah seorang menjadi Kiri lebih dari sekadar sebuah kebetulan—untuk tak menyebut karena kebodohan. Mereka adalah manusia-manusia lemah yang mudah terseret arus ideologi Kiri yang kala itu begitu deras. Mereka menjadi Kiri karena terpaksa, ikut-ikutan. Jika dalam novel Ajip dan Tohari hal tersebut lebih diakibatkan oleh persoalan “perut” maka dalam novel Laksmi dan Leila lebih karena mengikuti “mode” atau “tren” yang sedang marak saat itu.
Serupa anak muda yang terjebak dalam tren tertentu di masa mudanya, tokoh-tokoh dalam Amba dan Pulang pun baru mulai menyadari kesilapan mereka jelang masa tua. Serupa kesadaran para mantan anggota geng motor, mereka sadar telah mengikuti tren yang salah. Terbuang ke Pulau Buru atau Paris hanyalah akibat dari keinginan sok gagah-gagahan menjadi Kiri. Serupa yang terjadi pada era Ajip dan Tohari, kedua penulis perempuan tersebut masih terikat pada keyakinan bahwa menjadi Kiri adalah suatu kesalahan yang harus ditebus, wajib disesali. Novel semacam ini memang terasa manis luarnya karena bak sebentuk empati kepada orang-orang Kiri yang mengharu-biru, tapi tanpa disadari justru serupa telunjuk hakim yang diarahkan kepada orang-orang yang memilih menjadi Kiri untuk tetap berada di dalam lingkaran para pendosa.***
Anindita S. Thayf, tinggal di Yogyakarta.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di koran Sindo Jabar, 28 Desember 2015
Sumber: Tikus Merah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar