Pers memiliki peran signifikan dalam melegitimasi dan mendefinisikan Orde Baru. Riset Francois Raillon membuktikannya.
Bulan September dan Oktober kerap disebut sebagai bulan kelahiran Orde Baru di Indonesia. Akhir september, pada 1965, pembunuhan terhadap jenderal-jenderal Angkatan Darat menjadi kelokan tajam yang mengubah secara drastis perjalanan republik. Peristiwa pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu segera disusul rentetan pembunuhan massal terhadap ratusan ribu bahkan jutaan orang yang dianggap sebagai anggota PKI atau simpatisan komunis. Momen-momen itu menjadi karpet merah bagi datangnya rezim Orde Baru.
Banyak kajian yang mengupas tentang bagaimana proses kelahiran rezim baru ini bermula. Mulai dari sistem ekonomi politik yang dibangun sampai proses konsolidasi kekuasaan jenderal-jenderal militer penyokong Soeharto. Yang sedikit dibahas, adalah mengenai peran pers, termasuk pers mahasiswa, dalam menyokong konsolidasi rezim di saat-saat krusial dalam proses perumusan ideologi dan visi pembangunan Orde Baru. Padahal, sebagai rezim yang salah satunya menggunakan bahasa sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, pers adalah medium yang cukup vital.
Pada konteks tersebut, buku Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia karya Francois Raillon ini menarik untuk didiskusikan. Buku yang terbit di Indonesia tahun 1985 ini pada mulanya berasal dari disertasi Raillon dengan judul Les Etudiants Indonesiens et L'Ordre Nouveau. Isinya tentang Mahasiswa Indonesia, media yang dikelola oleh aktivis-aktivis mahasiswa dan memiliki peran penting dalam fase awal pembentukan Orde Baru. Mahasiswa Indonesia tidak bisa dipungkiri adalah juru bicara utama angkatan 1966.
Ia muncul dalam situasi politik yang menumbuhkembangkan dua jenis penerbitan pers: pers militer dan pers aktivis angkatan 1966 seperti misalnya Angkatan 66, Angkatan Baru (diterbitkan Himpunan Mahasiswa Islam), dan Harian Kami, yang terbit berbarengan di bulan Juni 1966. Perlu dipahami bahwa dalam sejarah pers Indonesia, dua jenis penerbitan pers tersebut muncul usai pembabatan koran-koran kiri di tahun 1965. Tribuana Said (1988) mencatat sejak 1 Oktober 1965 sekurangnya 36 media kiri diberedel dan 272 wartawan dipecat dari keanggotan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Raillon membagi buku ini menjadi dua bagian. Bagian pertama, Raillon memotret asal-usul Mahasiswa Indonesia. Sementara di bagian kedua, ia banyak membahas substansi bagaimana koran ini “berpartisipasi aktif” dalam membentuk dan mendefinisikan ideologi pembangunan Orde Baru.
Pada 19 Juni 1966, dua hari sebelum presiden Soekarno menyampaikan pidato Nawaksara di Sidang Umum MPRS, Mahasiswa Indonesia terbit di Bandung. Dalam periode ini, berkisah tentang salah satu koran atau pers yang tumbuh di awal masa Orde Baru.
Terbit dengan format tabloid (30 x 45 cm) dan tebal 8 halaman, koran ini memiliki motto “Pembina Insan Pancasila”. Inisiatif pendiriannya datang dari Rahman Tolleng, mahasiswa di Universitas Padjajaran dan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Ia menjadi pemimpin redaksi pertama.
Meski menggunakan nama Mahasiswa Indonesia, koran ini tidaklah terbit terbatas di kampus. Para pengelolanya memutuskan untuk keluar dari “ghetto universitas” (halaman 33). Meski pada awalnya dikelola mahasiswa, artikel-artikelnya melintasi batas kampus dan bicara berbagai hal mengenai isu-isu nasional khususnya politik dan ekonomi. Eksemplarnya didistribusikan melalui berbagai kios dan agen koran di Bandung.
Dengan digawangi banyak aktivis KAMI, pandangan-pandangan organisasi tersebut yang anti-komunis dan anti-Soekarno banyak mewarnai artikel-artikel yang dibuat. Kehadirannya juga disambut hangat kalangan militer. Salah satunya AH Nasution yang mengatakan bahwa sebuah koran avant garde Angkatan ‘66 yang dibuat oleh mahasiswa dan berjuang di pihak tentara dan rakyat telah muncul, koran yang akan “berjuang dengan berani dan tanpa pamrih” (halaman 38).
Raillon menjelaskan ada dua fase penting dalam perkembangan Mahasiswa Indonesia yang berkelindan dengan proses konsolidasi kekuasaan Orde Baru. Fase awal membentang dalam kurun 1966-1971, ketika koran ini menjadi juru bicara gerakan mahasiswa 1966 yang menginginkan perubahan ekonomi politik secara radikal. Ia melakukan kritik keras kepada rezim Soekarno, namun perlahan-lahan memberikan dukungan tanpa syarat kepada Soeharto dan rezim yang sedang dibangun.
Fase selanjutnya berkisar pada 1972-1974, ketika Mahasiswa Indonesia telah mengalami proses regenerasi kepengurusan dan melihat bahwa ada jarak antara idealisme yang mereka bangun dengan politik riil yang ada. Hubungan mesra yang dibangun dengan pemerintah sejak Orde Baru berakhir dengan pecahnya kongsi setelah semakin terang-benderang menunjukkan ketidakcocokan dengan rezim. Meski sudah terlambat, bandul sikap politik berbalik drastis yang kemudian membawa Mahasiswa Indonesia diberedel untuk selamanya.
Pada bagian kedua, dengan menyusuri 400-an edisi Mahasiswa Indonesia, Raillon melihat bagaimana koran tersebut membantu menyusun pondasi teoretis sebuah orde yang baru saja terbentuk, Orde Baru. Dalam artikel “Encyclopedia Politik: Orde Lama dan Orde Baru” yang terbit di edisi 16 bulan Oktober 1966, Mahasiswa Indonesia memulai kerja-kerja ideologisnya dengan menarik garis batas yang tegas antara orde politik yang baru dengan yang baru saja (di)lengser(kan) (halaman 123). Seperti tertulis dalam artikel tersebut:
Perlu dicatat bahwa Hitler juga mempergunakan Die Neue Orde untuk mengundang dukungan rakyatnya tetapi kemudian ternyata orde yang dibangunnya tiada lain daripada fasisme. Orde Baru kita tentu bukan Orde Baru-nya Hitler, tetapi suatu orde yang seharusnya bertentangan diametral dengan Orde Lama.
Upaya menarik batas tersebut mula-mula dilakukan melalui “ruwatan” membuang sial dengan melekatkan segala hal yang negatif sebagai warisan Orde Lama. Rezim lama dianggap telah membawa kegagalan di berbagai bidang sehingga menyebabkan kehancuran ekonomi. Personalisasi Orde Lama tentu sang Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Maka upaya desoekarnoisasi menjadi mutlak untuk dilakukan.
Mahasiswa Indonesia sampai perlu secara khusus mengeluarkan serial tulisan bertajuk “Desoekarnoisasi: Mengakhiri Kultus Individu” di sepanjang nomor 35-40 selama Februari-Maret 1967. Rentang waktu tersebut adalah periode kritis sebelum akhirnya kekuasaan Soekarno dicabut MPRS. Proyek desoekarnoisasi ini dianggap penting karena, meski secara politik Soekarno tidak lagi berkuasa, pengaruhnya bagi rakyat Indonesia masih begitu besar. Proyek ini menjadi upaya untuk merongrong dan menghilangkan pengaruh tersebut.
Mahasiswa Indonesia menyerang mitos-mitos tentang Soekarno baik mitos personal (Soekarno keturunan Raja, kelahiran di keluarga, penggunaan nama Karna, dsb) maupun mitos resmi, seperti Soekarno sebagai proklamator dan pahlawan kemerdekaan. Tujuan utama serangan-serangan personal tersebut adalah agar “Soekarno diadili dan dihukum oleh Mahmilub dan badan-badan peradilan lainnya” (hal. 146). Kerja-kerja desoekarnoisasi ini selesai begitu MPRS mencabut mandat Bung Karno, meski kemudian Mahasiswa Indonesia masih sering melakukan kritik terhadapnya.
Sembari mengambil jarak dengan rezim lama, Mahasiswa Indonesia secara aktif ikut merumuskan ideologi pembangunan dan modernisasi ala Orde Baru. Proses ini dilakukan dengan menyediakan ruang lapang bagi diskusi intelektual dalam kolom-kolom Mahasiswa Indonesia yang menjadi “makanan pikiran dan pengarahan aksi melalui usaha teorisasi” (halaman 164). Sumber-sumber dari Barat (utamanya Amerika) dijadikan sebagai referensi utama untuk dipelajari.
Beberapa intelektual juga jurnalis yang sering diberi tempat untuk menyumbangkan ide-idenya, misalnya Dawam Rahardjo,Wiratmo Soekito, Goenawan Mohammad, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan sebagainya. Perdebatan tidak hanya melulu di wilayah sistem politik tetapi juga diskusi tentang sistem ekonomi yang ideal untuk Indonesia, sampai strategi mengenyahkan mentalitas feudal yang menjadi salah satu hambatan menuju kemajuan Indonesia.
Dalam buku setebal 361 halaman ini, Raillon menggabungkan pendekatan historis dan analisis teks dalam kajian media. Itu membuatnya menarik dibaca karena tidak hanya mendeskripsikan bagaimana isi artikel-artikel Mahasiswa Indonesia, tetapi lebih dari itu, mampu memotret dinamika internal relasi kuasa antara pers dan pemerintah. Dalam hal ini adalah pasang surut hubungan Mahasiswa Indonesia dan Orde Baru yang berujung perpecahan dalam apa yang disebut sebagai partnership antara militer dan (pers) mahasiswa. []
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar